Ketok Palu, Jalan Tengah Kenaikan Upah
Reporter
Riani Sanusi Putri
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Rabu, 23 November 2022 23:11 WIB
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) bersikeras agar formula kenaikan upah mengacu pada PP Nomor 36 tahun 2021. Ketua Umum Apindo Hariyadi B Sukamdani mengatakan aturan itu mengamanatkan data yang digunakan dalam penetapan UMP dan UMK harus berdasarkan dari data yang transparan
Hariyadi mengatakan beleid tersebut telah disempurnakan melalui Undang-undang (UU) 11 tahun 2020 juncto PP 36 tahun 2021, di mana data yang digunakan untuk menetapkan upah harus bersumber dari instansi yang berwenang. Hal itu, kata dia, terbukti dari penerapannya selama dua tahun terakhir.
Karena itu, ia menilai penetapan upah minimum di pada 2022 berdasarkan PP 36 tahun 2021 telah berlangsung telah memperhatikan disparitas upah antar daerah, tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi di wilayah yang bersangkutan.
Aspek lain yang ia soroti adalah penetapan upah yang harus didahului oleh survey tripatrit, yakni antara pengusaha, serikat pekerja atau buruh, dan pemerintah. Menurut Hariyadi, jika bukan PP 36 tahun 2021 yang dijadikan basis perhitungan UMP, pelaku industri padat karya seperti tekstil, garmen, hingga alas kaki diprediksi bakal gulung tikar. Sebab, mereka tak lagi mampu memenuhi ketentuan legal formal karena tak mampu membayar kenaikan upah tersebut.
Demikian juga dengan para pelaku usaha UMKM yang terpaksa menjalankan usaha secara informal, menurut dia, bakal sulit mendapatkan dukungan program program pemerintah dan akses pasar yang terbatas. Pencari kerja pun disebutkan akan kesulitan karena butuh waktu tunggu lebih lama untuk mendapatkan pekerjaan formal yang layak. Hal ini karena lapangan kerja akibat sistem pengupahan yang tidak kompetitif.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Arsjad Rasjid menyarankan pemerintah merumuskan kebijakan upah minimum sesuai dengan kondisi industri saat ini. Menurut dia, kebijakan itu perlu lebih terukur, sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan karakter tiap sektor.
“Kebijakan upah minimum seyogyanya disertai dengan pemberian insentif yang ditargetkan pada industri tertentu dan tepat sasaran sesuai dengan kondisi sektoral,” kata Arsjad dalam keterangan tertulis, Selasa, 22 November 2022.
Kebijakan perihal upah minimum pun, kata dia, harus adil dan tidak memberatkan pelaku usaha serta tidak merugikan tenaga kerja. Sebab, kata Arsjad, keduanya merupakan siklus pertumbuhan ekonomi yang tidak dapat dipisahkan.
Bercermin pada pertumbuhan ekonomi triwulan III 2022, Arsjad melanjutkan, secara kumulatif pertumbuhan industri tekstil dan pakaian jadi mengalami pertumbuhan hingga 11,38 persen dibandingkan industri makanan dan minuman yang hanya tumbuh 3,66 persen. Namun, perlambatan permintaan ekspor hingga 30 sampai 50 persen yang terjadi pada industri pakaian jadi juga menyebabkan sektor garmen akhir-akhir ini melakukan sejumlah pemutusan hubungankerja (PHK).
“Kinerja ekspor tercatat turun 10,99 persen pada September tahun ini menjadi US$ 24,8 miliar dibandingkan pada bulan sebelumnya. Imbasnya, sektor industri padat karya sebagai penopang penyerapan tenaga kerja di Indonesia menjadi lesu darah karena permintaan yang menurun," ujar Arsjad.
Di sisi lain, tantangan ekonomi global yang dipicu konflik geopolitik terus memicu lonjakan inflasi. Pada Oktober 2022, inflasi Indonesia telah mencapai 5,71 persen yang diperkirakan berimbas pada kenaikan harga-harga bahan pokok dan daya beli masyarakat. Dengan tantangan yang sama, Arsjad mengatakan industri dalam negeri akan merasakan dampak yang berbeda-beda.
Selanjutnya: Kenaikan Upah Maksimal 10 Persen Kompensasi Inflasi yang..