Agar Mimpi Dana Jumbo Lembaga Pengelola Investasi Tak Berubah jadi Petaka
Reporter
Caesar Akbar
Editor
Martha Warta Silaban
Rabu, 27 Januari 2021 16:46 WIB
Di sisi lain, proyek yang akan dibiayai LPI nantinya adalah proyek infrastruktur yang memiliki jangka panjang. Sehingga keuntungan dari tersebut pun diprediksi butuh waktu lama. "Ini siapa yang bertanggung jawab? Karena BUMN kita kan sekarang sudah tidak bisa bernafas untuk membangun. Jangan sampai LPI mengalami yang sama," kata Mekeng.
Adapun ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira mengatakan SWF berpeluang dijadikan sebagai kendaraan untuk menerbitkan utang baru dengan jaminan aset negara plus aset BUMN. Hal tersebut tersurat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2020 bahwa lembaga tersebut dapat memberikan dan menerima pinjaman.
"Jika model yang dipilih lebih dominan debt vehicle maka akan ada skenario beban utang pemerintah dan BUMN pindah buku ke LPI ini. Hanya geser aja, investor beli SBN dengan adanya LPI jadi beli surat utangnya LPI," tutur Bhima.
SWF pun, kata Bhima, kurang pas untuk menarik investasi langsung karena berhadapan dengan tantangan utama yang belum bisa diselesaikan, yaitu mengenai return of investment. Pasalnya proyek infrastruktur terkenal dengan keuntungan yang kecil dan risiko tinggi. Sehingga, skema penyertaan modal seperti joint venture dinilai sulit dari sisi daya tarik imbal hasil.
Tantangan lain yang perlu diantisipasi Bhima adalah perkara tata kelola dan risiko moral hazard. Ia mengatakan kasus korupsi dana abadi Malaysia, 1Malaysia Development Berhad mesti menjadi pelajaran penting dalam pengelolaan SWF ke depannya.
Untuk itu, ke depannya, ia meminta pemerintah memperjelas skema penyertaan modal dibanding model pembiayaan utang. Kalau perlu, tutur dia, ada porsi jelas berapa dominasi target equity joint venture dibanding utang.
Hambatan investasi utama seperti pembebasan lahan, birokrasi, insentif perpajakan tetap perlu dibenahi secara paralel. "Kemudian proyek mana yang mau dibiayai lewat joint venture dan ROI-nya juga perlu diperjelas ke publik," tutur dia.
Peneliti Bidang Hukum The Indonesian Institute (TII), Aulia Guzasiah, mengatakan pemerintah perlu berhati-hati betul terhadap realisasi rencana pemberian modal yang dianggarkan untuk menyokong Lembaga Pengelola Investasi, yakni sebesar Rp 75 triliun. Khususnya terkait pemilihan kandidat yang nantinya dipilih untuk menjadi pimpinan lembaga tersebut, dan pengelolaan modal awalnya yang tentunya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
“Jangan dilupa, pejabat Indonesia selalu berada dalam situasi “de javu” saat mengelola anggaran negara yang begitu besar. Terkuaknya sejumlah kasus mega korupsi beberapa tahun belakangan, seperti kasus Bank Century, proyek Hambalang, e-KPT, Jiwasraya, dan terakhir dana bansos, sekiranya telah menjadi “trademark” tersendiri dalam membuktikan preseden buruk itu,” ungkapnya dalam siaran pers yang diterima Tempo, Rabu.
Apalagi jika memperhatikan praktik dari realisasi rencana serupa yang sebelumnya pernah diimplementasikan Malaysia, yakni skandal 1MDB atau 1Malaysia Development Berhad. Untuk itu, sekiranya perlu kalkulasi yang matang dan persiapan yang purna agar rencana ini tidak berbalik menjadi petaka bagi perekonomian dan iklim investasi di Indonesia.
Menurunya pengelolaan modal Lembaga Pengelola Investasi perlu dilakukan setransparan mungkin, dan pemilihan kandidasi direksinya harus seselektif mungkin dalam menghindari konflik kepentingan. "Larangan tidak boleh menjadi pengurus atau anggota partai politik, tentu tidak cukup. Namun, yang bersangkutan juga perlu dipastikan tidak terafiliasi dengan perusahaan-perusahaan yang masuk atau dekat dengan relasi kekuasaan."