Kematian George Floyd Bentuk Ketidakadilan Rasial di Amerika
Reporter
Non Koresponden
Editor
Eka Yudha Saputra
Selasa, 2 Juni 2020 14:30 WIB
Berita kematian George Floyd beserta dokumentasi video yang viral, telah memancing amarah warga Minneapolis, yang kemudian menyebar ke kota-kota besar Amerika Serikat.
Dikutip dari ABC News, pada 26 Mei protes pertama pecah dengan massa berkumpul di 3rd Precinct (wilayah patroli polisi) di Minneapolis.
Keesokan harinya demonstrasi meluar ke kota lain termasuk Los Angeles dan Memphis. Di Minneapolis, aksi damai berubah ricuh ketika kebakaran dan penjarahan. Polisi membubarkan massa dengan gas air mata dan peluru karet.
Pada 28 Mei Gubernur Minnesota Tim Walts menandatangani perintah eksekutif untuk mengaktifkan pasukan Garda Nasional Minnesota, yang kemudian diikuti gubernur negara bagian lain setelah situasi memanas.
Pada 29 Mei Derek Chauvin yang telah dipecat sebelumnya, ditangkap dan didakwa atas dugaan pembunuhan tingkat dua atas kematian George Floyd. Dakwaan ini mengancam Derek Chauvin dengan hukuman maksimal 35 tahun penjara.
Ketika demonstrasi berubah menjadi demonstrasi nasional, Presiden Donald Trump menulis di Twitter dengan mengancam menembak jika kerusuhan terjadi. Twitter menandai twit Trump karena melanggar pedoman "mengobarkan kekerasan".
Meski berdalih kicauannya untuk menjaga ketertiban, namun Trump dikecam karena semakin memanaskan situasi alih-alih rekonsiliasi dan mendinginkan.
Presiden Donald Trump akhirnya memberikan pernyataan berkomitmen untuk mendukung pengusutan kasus George Floyd hingga tuntas. Namun, kata Trump, penjarahan dan kerusuhan yang terjadi menghalangi proses tersebut.
Trump merekomendasikan gubernur-gubernur negara bagian untuk memobilisasi Garda Nasional untuk meredam kerusuhan aksi protes kematian George Floyd, namun tidak semua setuju untuk melakukannya.
Hasil autopsi