Pil 'Diet' dari Erick Thohir, Agar BUMN Tak Gemuk Lagi
Reporter
Muhammad Hendartyo
Editor
Rahma Tri
Kamis, 5 Desember 2019 16:04 WIB
Dia menilai holding ini lebih baik bermodel konglomerasi, agar masing-masing BUMN berkompetisi. "Misalnya Mandiri-Pertamina-Wijaya Karya versus BNI-PGN-Hutama Karya," ujar Danang.
Danang melihat, selama ini memang tak banyak menteri yang mengutak-atik kegemukan BUMN. Hal itu karena, kata dia, BUMN jadi instrumen untuk memelihara dukungan bagi koalisi pemerintah.
"Jumlah kursi menteri dan duta besar enggak cukup untuk koalisi. Makanya elite politik butuh BUMN, kursi komisaris dan direksi bisa jadi instrumen untuk sharing kekuasaan dan akses ke sumber daya publik," ujar Danang.
Pengamat BUMN dan Kepala Lembaga Manajemen FEB UI, Toto Pranoto juga melihat jumlah anak usaha BUMN terlalu banyak. Ia mengambil contoh dari grup Krakatau Steel saja. "Mereka ada sampai sekitar 60 anak atau cucu perusahaan. Sebagain tidak related kecore business induknya," kata Toto saat dihubungi.
Akibatnya, kata dia, performance anak perusahaan sebagian besar tidak bagus sehingga malah membebani induknya. Untuk kasus Krakatau Steel ini, menurut Toto, langkah restrukturisasi besar yang harus dilakukan adalah perampingan anak usaha. Misalnya, bisnis yang tidak terkait dengan induknya akan didivestasi. "Sebagian hasil divestasi bisa dipakai buat membayar hutang KS yang jatuh tempo," kata Toto.
Erick Thohir sendiri optimistis dengan restrukturisasi dan perampingan BUMN itu, kinerja perseroan akan moncer. Sebab, perusahaan pelat merah itu dapat bekerja lebih fokus, yang akhirnya mendorong kinerja BUMN menjadi lebih baik sehingga terbuka penciptaan lapangan pekerjaan secara berkelanjutan.
"Visi Presiden adalah menciptakan lapangan kerja, jangan nanti BUMN punya anak usaha hanya untuk menggemukkan diri dan diisi oleh kroni-kroni oknum," kata Erick Thohir.
CAESAR AKBAR | HENDARTYO HANGGI | FRANCISCA CHRISTY ROSANA | ANTARA | MAJALAH TEMPO