Mencium Seleksi Janggal Anggota KPI
Reporter
Budiarti Utami Putri
Editor
Syailendra Persada
Senin, 29 Juli 2019 08:35 WIB
Selain adanya temuan Ombudsman, proses seleksi juga dikritik oleh sejumlah pegiat penyiaran. Anggota Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP) Muhammad Heychael bahkan melayangkan surat permintaan keterbukaan informasi publik kepada Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi Kominfo dan DPR.
Ada tiga poin yang diminta Heychael. Pertama ialah pemeringkatan hasil 34 calon yang lolos seleksi Pansel. Kedua, Heychael meminta hasil penelusuran rekam jejak dari Komisi Pemberantasan Korupsi; Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan; pemangku kepentingan di bidang penyiaran; dan rekam jejak media sosial. Informasi ketiga yang diminta untuk dibuka adalah hasil notulensi rapat dengar pendapat Komisi I DPR dan Pansel pada 13 Mei dan 19 Juni 2019.
Mantan Direktur Remotivi ini juga mempertanyakan lolosnya tujuh inkumben dalam 34 daftar peserta fit and proper test. “Kami tidak mau jadi rumor bahwa DPR atau Pansel mengistimewakan tujuh inkumben. Supaya tidak jadi rumor harus dibuka supaya pemilihan ini berintegritas,” kata Heychael kepada Tempo, Selasa, 9 Juli 2019.
Keterbukaan informasi juga diminta oleh Ketua Bidang Penyiaran Aliansi Jurnalis Independen Bayu Wardhana. Bayu mendesak dibukanya notulensi rapat Pansel sejak Oktober 2018 hingga selesai masa kerja pada Juni 2019, termasuk notulensi pertemuan Pansel dengan pemangku kepentingan di bidang penyiaran seperti asosiasi industri penyiaran dan Kominfo.
Permintaan keterbukaan informasi itu bukan tanpa sebab. Seorang sumber di lingkungan Pansel mengatakan proses seleksi memang diwarnai sejumlah kejanggalan. Kejanggalan-kejanggalan itu mengemuka ketika pada 16 Maret bocor 27 nama yang disebut lolos seleksi untuk mengikuti fit and proper test di Komisi I DPR. Daftar itu dibantah Kominfo.
Pada 19 Juni, Komisi I DPR mengumumkan 34 nama yang akan diuji kepatutan dan kelayakan. Daftar 34 nama ini berbeda dengan yang sebelumnya beredar. Tujuh nama inkumben masuk dalam lis tersebut. Padahal di bocoran 27 nama, hanya ada satu nama petahana yang tertera, yaitu Ubaidillah.
Sumber Tempo di lingkungan Pansel membenarkan nama yang beredar pada 16 Maret itu. Ia mengatakan 27 nama itu dipilih setelah merampungkan tahapan wawancara pada 4-5 Maret di Hotel Aryaduta, Jakarta. Namun, keputusan diambil sebelum hasil penelusuran rekam jejak dari KPK dan PPATK masuk ke Pansel.
Adalah Komisi I DPR yang kemudian meminta agar ketujuh nama inkumben dimasukkan dalam daftar calon yang akan diuji kepatutan dan kelayakan. Permintaan ini disampaikan dalam rapat dengar pendapat Komisi I dan Pansel pada 13 Mei 2019. Wakil Ketua Komisi I DPR Satya Yudha dan Asril Tanjung mengakui permintaan itu berasal dari mereka.
Alasannya, Peraturan KPI Nomor 1 Tahun 2014 menyebutkan bahwa calon inkumben yang mendaftar otomatis bisa mengikuti fit and proper test. “Kebetulan, hasil dari Pansel ini, pertama di luar keinginan kami. Padahal sudah ada peraturan di KPI, kok tidak dimasukkan, padahal itu inkumben. Kami panggil Pansel,” kata Asril kepada Tempo.
Sumber Tempo mengungkapkan Pansel awalnya tetap menolak mengikuti kemauan DPR. Pansel, kata dia, beralasan sejumlah nama inkumben tak dimasukkan lantaran adanya pengaduan masyarakat ihwal kedekatan mereka dengan industri penyiaran dan adanya catatan PPATK.
Lagipula, PKPI Nomor 1 Tahun 2014 pun sebenarnya mengatur bahwa jumlah calon yang mengikuti uji kelayakan dan kepatutan berjumlah 2 atau 3 kali lipat dari jumlah anggota KPI Pusat yang akan ditetapkan. Artinya, Dewan seharusnya hanya menguji 18 atau maksimal 27 calon.
Namun pada 19 Juni Dewan kembali memanggil Pansel dan Menkominfo untuk rapat dengar pendapat. Dalam rapat ini Komisi I berkukuh bahwa semua calon inkumben harus masuk dalam daftar yang akan mengikuti fit and proper test. “Akhirnya tidak hanya 27, tapi 34 yang di-fit and proper test. Jadi kami menyelamatkan Pansel, sekaligus menegakkan aturan,” kata Asril Tanjung.
Wakil Ketua PPATK Dian Ediana Rae mengatakan data dan informasi dari lembaganya bersifat rahasia dan tak bisa diungkap ke publik. Dian mengatakan seluruh data itu juga telah diserahkan kepada Kominfo beberapa bulan silam. “Seandainya pun ada catatan dari PPATK, hal itu ‘belum tentu’ mengindikasikan adanya perbuatan pidana. Silakan Pansel menggali lebih lanjut untuk memastikan kredibilitas semua calon,” kata Dian lewat pesan singkat kepada Tempo.