Evaluasi Pemilu 2019: KPPS Kelelahan - Ambang Batas Parlemen
Reporter
Tempo.co
Editor
Syailendra Persada
Senin, 22 April 2019 10:43 WIB
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi ( Perludem), Titi Anggraini, mengatakan KPU memang perlu mengevaluasi sistem Pemilu 2019 atau dikenal dengan Pemilu serentak ini. “Salah satunya adalah soal jadwal pemilu serentak,” kata Titi. Ia mengatakan anggota KPPS memang akan sangat terbebani dengan jadwal yang terlalu padat. Walhasil, bukan hanya kelelahan, tapi juga kemungkinan kesalahan input data bisa terjadi.
Baca: Perludem Jelaskan Kabar Capres Harus Menang di Setengah Provinsi
Ia menyarankan KPU dan DPR membagi pemilihan menjadi dua. Pertama, pemilihan presiden berbarengan DPR dan DPD. Kemudian di jadwal terpisah adalah DPRD Provinsi dan DPRD Kota atau kabupaten. Dengan pembagian semacam ini, ia yakin distribusi tenaga KPPS akan lebih maksimal. “Sebab jika menambah jumlah anggota KPPS hanya solusi sementara,” kata dia.
Selain itu, KPU perlu memikirkan teknologi yang bisa digunakan oleh KPPS dalam merekap suara. Sehingga, potensi kisruh soal perhitungan suara bisa diminimalisir. Selain itu, penggunaan teknologi juga bisa menghemat tenaga anggota KPPS agar tak mudah kelelahan.
Menurut Titi, selain persoalan sumber daya, Pemilu 2019 ini juga menyisakan perdebatan soal ambang batas parlemen (parliamentary threshold) dan ambang batas presiden (presidential threshold).
Simak juga: Mengenal Dekat Situs Kawal Pemilu yang Pernah Dihujani C1 Palsu
Berdasarkan aturan Undang-undang Pemilu, partai politik yang bisa lolos ke parlemen DPR mereka yang memperoleh suara sah di atas empat persen. Merujuk pada hasil hitung cepat beberapa lembaga survei, hanya ada sembilan dari 16 partai yang lolos ambang batas. Mereka adalah PDIP, Gerindra, Golkar, PKB, PPP, PKS, Demokrat, NasDem, dan PAN. Sementara partai kecil seperti PSI, Berkarya, bahkan Hanura tidak lolos.
Titi mengatakan sejak awal Perludem menentang ide ambang batas parlemen empat persen. Alasannya, akan ada suara pemilih yang terbuang sia-sia. “Bayangkan mereka yang sudah memilih partai tertentu tapi tak lolos ke parlemen, artinya suara yang mewakili dia tak ada,” kata Titi.
Perludem, kata Titi, pernah mengusulkan agar ambang batas parlemen hanya satu persen. Sehingga suara masyarakat terwakili. Kubu yang tak setuju dengan angka satu persen ini, menurut Titi, khawatir akan terlalu banyak partai di DPR sehingga presiden akan kesulitan menelurkan kebijakan.
Nah, untuk permasalahan ini, Titi mengatakan Perludem mengusulkan agar ada ambang batas pembentukan fraksi di Parlemen. Sehingga, kata dia, partai-partai itu berhimpun di satu fraksi. “Toh kalau merujuk hasil Pemilu 2019 juga sistem fraksi tidak sederhana, akan ada sembilan fraksi,” kata dia. “Sama saja banyak partai.”
Perludem juga mengkritik ambang batas presiden. Di dalam peraturan sekarang, Presiden hanya bisa dicalonkan oleh partai atau gabungan partai yang memiliki 25 persen kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau 20 persen suara sah nasional dalam Pemilu Legislatif. Perhitungannya merujuk pada Pemilu sebelumnya.
Baca: 3 Hari Usai Pemilu, Kementerian Kominfo Temukan 64 Hoax
Titi menuturkan angka 20 atau 25 persen gabungan partai ini sangat menutup peluang ada calon alternatif untuk Pemilu 2024. Alasannya, perolehan suara hanya didominasi oleh partai lama dengan suara besar. “Apalagi rujukannya Pemilu masa lalu, masak kontes Pilpres di 2024 nanti rujukannya apa yang terjadi di Pemilu 2019,” kata dia. “Pasti dimensi dan konteksnya akan sudah berubah.”
SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA) | ROSNIAWANTI (KENDARI) | MUHAMMAD HALWI (JAKARTA) | AHMAD FIKRI (BANDUNG) | IQBAL TAWAKAL (JAKARTA)