Pengusaha Farmasi Ungkap Taktik Bisnis Toko Obat Pasar Pramuka
Reporter
Avit Hidayat
Editor
Elik Susanto
Sabtu, 30 September 2017 11:49 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Kalangan pengusaha besar farmasi tidak terima industrinya dikaitkan dengan pelanggaran aturan penjualan obat di Pasar Pramuka, Jakarta. Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia Dorojatun Sanusi mengatakan di Pasar Pramuka selama ini terjadi jual-beli obat dalam partai besar. Padahal hanya perusahaan besar yang memiliki izin menjual obat secara grosir. “(Mereka itu) tidak masuk di rantai pasokan resmi,” kata Dorojatun, Jumat, 29 September 2017.
Menurut Dorojatun, penjualan obat dalam skala partai oleh apotek rakyat seperti di Pasar Pramuka tak hanya melanggar hukum. Praktik itu pun membuka peluang peredaran obat terlarang seperti paracetamol, caffeine, dan carisoprodol (PCC), yang belakangan ditemukan di beberapa tempat di Indonesia. “Itu sangat merugikan citra perusahaan farmasi resmi,” ucapnya.
Baca: 6 Bulan Menuju Penutupan Toko Obat Pasar Pramuka
Dorojatun menambahkan, perusahaan farmasi tak akan merugi bila apotek rakyat di Pasar Pramuka benar-benar ditutup. Sebab, selama ini mereka memiliki rantai distribusi sendiri. Di Indonesia, kata dia, ada lebih dari 2.000 perusahaan farmasi yang punya jaringan distribusi di pusat dan daerah.
Kepala Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) DKI Jakarta Dewi Prawitasari membeberkan alasan pemerintah menutup toko obat di Pasar Pramuka. Di pasar itu, kata Dewi, tak hanya terjadi penjualan obat secara grosir. Bersama dengan kepolisian, BPOM pun mengendus peredaran obat palsu, obat terlarang, dan obat kedaluwarsa. “Biasanya obat (tak berizin) itu diletakkan pedagang di atap plafon kiosnya,” ujarnya.
Baca juga: Tentang Dumolid, Obat Penenang dan Pasar Pramuka
Menurut Dewi, pedagang obat di Pasar Pramuka biasanya menjual obat tak berizin kepada pelanggan yang telah mereka kenal. Ada dua modus transaksi obat ilegal dan grosir di sana. Pertama, transaksi berlangsung di dalam pasar. Kedua, transaksi berlangsung di tempat parkir, dari satu mobil ke mobil lain. Transaksi itu dilakukan sembunyi-sembunyi untuk menghindari petugas yang kerap melakukan razia.
Dalam beberapa kali razia, menurut Dewi, pedagang di Pasar Pramuka sering tak bisa menunjukkan faktur asal-usul obat. Dewi menduga obat-obat itu berasal dari distributor tidak resmi. Namun sejauh ini BPOM belum bisa membongkar jaringan peredaran obat ilegal tersebut.
Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI Brigadir Jenderal Agung Setya mendukung rencana penutupan apotek rakyat di Pasar Pramuka. Alasannya, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 53 Tahun 2016 telah melarang keberadaan apotek rakyat di seluruh Indonesia. Saat ini, menurut Agung, Bareskrim pun tengah menyelidiki kasus obat ilegal yang membelit pedagang di Pasar Pramuka.
Baca: Pengakuan Pedagang Obat di Pasar Pramuka
Berbeda dengan polisi, Direktur Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia Marius Widjajarta mengkritik rencana penutupan apotek rakyat di Pasar Pramuka. Menurut dia, peredaran obat ilegal terjadi di mana-mana lantaran lemahnya sistem pengawasan. “Kalau ditutup tanpa solusi, pedagang akan pindah ke tempat lain,” kata Marius.
Sekretaris Jenderal Himpunan Pedagang Farmasi Pasar Pramuka Yoyon juga mengatakan penutupan tersebut tak akan mengakhiri peredaran obat ilegal. Dia memastikan langkah penutupan akan menciptakan penganggur. Bila ada pedagang obat yang bersalah, Yoyon mendukung aparat menindak individu tersebut. “Apakah 250 pedagang seperti itu semua? Itu oknum. Tindaklah orang-orang itu,” ujarnya.