Terakhir, Bhima menilai perlu ada pemberlakuan hambatan non-tarif. Misalnya soal Standar Nasional Indonesia (SNI), sertifikat halal, dan berbagai hambatan lain demi membatasi produk impor di e-commerce.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal juga menekankan pemerintah seharusnya melihat persoalan ini dari dua sisi untuk melindungi UMKM lokal. Pertama dari sisi peningkatan kapasitas UMKM agar bisa lebih kompetitif menghadapi persaingan di dalam maupun luar negeri. Kedua, memberikan jaminan akses pasar kepada pelaku UMKM.
Menurut Faisal, jaminan akses di dalam negeri ini sangat penting. Mengingat jumlah UMKM di Tanah Air sangat banyak, yakni lebih dari 60 juta. Ia mengatakan hampir seluruh UMKM Indonesia berorientasi pada pasar dalam negeri, sehingga apabila ada produk-produk impor dari marketplace yang lebih kompetitif, konsumen beralih ke platform online tersebut.
Ia juga menggarisbawahi pemerintah perlu mendorong lebih kuat soal akses pendanaan serta pendampingan teknis dan manajemen kepada pelaku UMKM. Sebab, Faisal menilai, TikTok memiliki teknologi canggih yang bisa mengancam kondisi UMKM lokal. Pasalnya, TikTok dapat melihat pola pembelian konsumen, sehingga memahami produk apa yang paling disukai pembeli di Indonesia beserta tingkat harganya.
"Nah jadi kalau memang ingin mendorong UMKM sebagai backbone Indonesia, ya aturan tadi tidak cukup. UMKM dalam negeri juga harus lebih kompetitif, ini berarti dari hulu sampai ke hilir," ujar Faisal.
RIANI SANUSI PUTRI | AMY HEPPY
Pilihan Editor: Sepekan Pembukaan Seleksi CPNS: Komplit Tutorial Pendaftaran CPNS dan PPPK di SSCASN