TEMPO.CO, Jakarta - Kamis dini hari tanggal 26 November 2020, menjadi momen tak terlupakan bagi Edhy Prabowo. Malam begitu petang saat Edhy dijemput penyidik KPK di Bandara Soekarno-Hatta. Ia baru saja selesai bersafari selama 3 hari bersama istri dan koleganya dari Amerika.
Tak lama setelah sampai di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Edhy memakai rompi oranye yang melapisi kemeja putihnya dan borgol di kedua tangannya. Menteri Kelautan dan Perikanan ini keluar gedung untuk menuju ke Rumah Tahanan KPK yang berada di belakang gedung komisi anti-rasuah tersebut.
Edhy Prabowo resmi ditetapkan sebagai tersangka dugaan suap terkait perizinan ekspor benur lobster pada Rabu malam, 25 November 2020. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nawawi Pomolango menceritakan bahwa perkara yang menjerat Edhy dimulai saat politikus Gerindra itu menerbitkan Surat Keputusan Nomor 53/KEP MEN-KP/2020 tentang Tim Uji Tuntas Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster.
Dalam implementasi aturan ini, Edhy menunjuk dua staf khususnya, yakni Andreau Pribadi Misata dan Safri sebagai Ketua dan Wakil Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas. "Salah satu tugas dari tim ini adalah memeriksa kelengkapan administrasi dokumen yang diajukan oleh calon eksportir benur," ujar Nawawi, Rabu malam, 25 November 2020.
Pada Oktober 2020, Direktur PT Dua Putra Perkasa, Suharjito datang ke kantor KKP di lantai 16 dan bertemu Safri. Dalam pertemuan itu, kata Nawawi, diketahui bahwa ekspor benih lobster hanya dapat dilakukan melalui forwarder atau ekspedisi muatan PT Aero Citra Kargo dengan biaya angkut Rp 1.800 per ekor.