"KPK menyimpulkan adanya dugaan tindak pidana korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji oleh penyelenggara negara terkait dengan perizinan tambak, usaha dan atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya tahun 2020," kata Nawawi.
Perkara ekspor benih lobster sudah menjadi pantauan sejumlah lembaga negara. Bukan hanya komisi anti-rasuah, Komisi Pengawas Persaingan Usaha alias KPPU dan Ombudsman juga ikut memelototi jalannya kebijakan ini. KPPU menduga ada monopoli yang melibatkan badan usaha, sementara Ombudsman menemukan berbagai temuan dalam tata kelola ekspor benur.
Monopoli layanan kargo ekspor benih bening lobster menjadi benang merah dari perkara yang diusut tiga lembaga tersebut. Skenario monopoli tersebut disebut muncul sejak penyusunan regulasi ekspor komoditas itu pada Desember 2019 hingga Mei 2020. Edhy Prabowo disebut mengetahui siasat segelintir eksportir itu sejak awal.
Sumber Tempo yang mengetahui proses penyusunan aturan tersebut mengatakan, Edhy tak menggubris masukan ihwal petunjuk teknis pelaksanaan ekspor. Pemberi masukan mengingatkan Edhy ihwal aturan yang memungkinkan eksportir memakai jasa kargo apa pun, asalkan dilaporkan kepada pemerintah. “Namun masukan ini tidak didengarkan,” kata dia, Selasa 24 November 2020.
Eksportir seharusnya leluasa memilih layanan kargo ekspor (freight forwarder) yang harganya lebih murah. Faktanya, KKP menyerahkan penentuan kargo tersebut kepada Perkumpulan Pengusaha Lobster Indonesia (Pelobi). Asosiasi baru beranggotakan 40 eksportir ini kemudian memilih PT Aero Citra Kargo (ACK) sebagai penyedia layanan tunggal freight forwarder benih lobster dengan tarif Rp 1.800 per ekor.