Berikut ini dua wawancara dengan dua pengamat ekonomi dari lembaga CORE dan Indef.
::: Ini penjelasan Bhima Yudhistira Adhinegara, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance, mengenai kondisi ekonomi global saat ini dalam lewat tanya jawab via Whats App pada Jumat, 20 Maret 2020.
Tanya: Apakah ekonomi global sedang menuju resesi dengan anjloknya harga minyak dan penuruhan indeks pasar saham global?
Bhima: Resesi sudah berjalan meskipun data kuartal I 2020 belum rilis. Anjloknya harga minyak mentah artinya harga komoditas unggulan ekspor, CPO, karet, batubara ikut turun. Ini berpengaruh terhadap daya beli masyarakat. Sementara market panic mengingkatkan investor pada krisis 2008. Saat itu, bank sentral Amerika Serikat The Federal Reserve melakukan quantitative easing (penambahan likuiditas). Beberapa bank sentral negara maju lakukan pemangkasan bunga acuan.
Tanya: Apa yang menjadi indikator utama jika ekonomi dunia saat ini mengalami resesi?
Bhima: Indikator resesi, pertama, inversi kurva imbal hasil US Treasury bills. Inversi kurva biasanya terjadi jelang resesi ekonomi.
Kedua, pertumbuhan PDB China sebagai motor ekonomi terbesar kedua di dunia diperkirakan turun dari kisaran 5,2% menjadi 1,4% di 2020 akibat kontraksi corona virus, factory shutdown, dan terganggunya aktivitas logistik.
Ketiga, pendapatan perusahaan dalam SP500 merosot cukup dalam. Pertumbuhan pendapatan perusahaan di indeks SP500 hanya mencapai 2,3% dalam setahun.
Keempat, indeks PMI manufaktur AS mengalami penurunan tajam hingga dibawah 50. Artinya, PMI dibawah 50 perusahaan cenderung menahan ekspansi dan mengurangi kapasitas produksinya karena permintaan lemah.
Kelima, The Fed lakukan pemangkasan bunga acuan hingga mendekati 0%, dan melakukan Quantitative Easing (QE) sebesar US$700 miliar. Fed lakukan QE disaat kondisi ekonomi AS memburuk seperti 2008.
Tanya: Bank sentral Amerika - The Fed, Bank sentral Eropa – ECB dan Bank sentral Cina – PBOC telah mengumumkan paket stimulus ekonomi untuk mencegah terjadinya resesi ekonomi di negara dan wilayah masing-masing. Mengapa pasar saham masih terus anjlok?
Bhima: Ini masuk dalam kategori psikologis pasar. Kepanikan menjalar dengan cepat dipengaruhi oleh reaksi dikeluarkannya stimulus moneter dan fiskal serentak dibanyak negara. Logika dasarnya, jika bank sentral lakukan stimulus ekonomi artinya kondisi ke depan akan memburuk. Investor kemudian lakukan sell-off termasuk di bursa indonesia.
Tanya: Bagaimana kondisi di dalam negeri? Mengapa rupiah dan pasar saham IHSG di BEI masih terus melemah meskipun ada paket stimulus dari bank sentral besar tadi?
Bhima: Jadi ada beberapa faktor domestik yang perlu diperhatikan selain kepanikan pasar global. Lambatnya penanganan virus corona, kacaunya koordinasi pusat daerah, dan stimulus fiskal yang belum merangkum semua sektor membuat investor pesimis.
Ini kan semua menunggu mau lockdown atau tidak, gubernur DKI bilang opsi lockdown, pemerintah pusat berbeda. Ini membingungkan investor. Wajar mereka nett sells saham terus. Rupiah tanpa adanya extraordinary measures akan tembus 16.500-17.000 dalam waktu dekat. IHSG bottomnya 3.800. Mungkin setelah itu seperti Yunani ada trading halt selama 5 minggu di 2015.
Tanya: Pemerintah juga sudah mengumumkan paket stimulus kebijakan, mengapa dampaknya sepertinya masih kurang untuk pasar saham? Bagaimana dengan kondisi pasokan kebutuhan pokok dan harganya, yg sangat dibutuhkan masyarakat saat ini?
Bhima: Ada beberapa catatan, misalnya pph21 harusnya tidak hanya kesektor industri manufaktur, tapi ke seluruh sektor lainnya. Dibandingkan industri saja dapat 6 bulan bonus pajak, lebih baik merata di sektor lain seperti perdagangan, pariwisata selama 3 bulan misalnya. Yang kena dampak corona kan bukan cuma manufaktur.
Tanya: Bank Sentral Indonesia atau BI menurunkan tingkat suku bunga ke 4.5 persen pada pekan lalu, apakah langkah ini cukup? Buktinya pasar saham masih anjlok terus dan nilai tukar rupiah juga terus melemah?
Bhima: Belum cukup. BI disarankan lebih berani lagi dan ahead the curves. Pemangkasan ideal 50 bps. Kalau hanya 25 bps, bagi pelaku pasar itu hanya ngikut bank sentral lain, tidak ada terobosan.
Tanya: Gubernur BI mengatakan masih terus terjadi capital outflow atau arus modal ke luar Indonesia, mengapa investor asing masih terus keluar menurut Anda?
Bhima: Seperti no.4. Kebijakan penanganan corona bermasalah, sementara fatality rate Indonesia termasuk yang tinggi di ASEAN.
Tanya: Sejumlah analis pasar modal mengatakan indeks IHSG mengalami kejatuhan karena investor asing keluar begitu mengetahui jumlah pasien terinfeksi virus Corona terus bertambah cepat pada pekan lalu. Anda setuju?
Bhima: Betul. banyak yang kaget, sebelumnya denial tidak ada korban positif corona. Ketika diumumkan dan naiknya sangat cepat, market melakukan koreksi sesuai fakta lapangan.
Tanya: BI belum mengumumkan paket Quantitative Easing seperti The Fed, dan ECB. Apa yang harus dilakukan BI selain menurunkan tingkat suku bunga, yg dampaknya ternyata kurang terasa di pasar modal?
Bhima: BI sebenarnya sudah berupaya membeli surat utang pemerintah (SBN) dipasar sekunder. Tapi jumlahnya kecil, tidak cukup memompa likuiditas ke pasar keuangan.
Tanya: Apakah wabah virus Corona ini berdampak signifikan bagi kegiatan ekspor dan impor Indonesia?
Bhima: Sangat signifikan. Misalnya Februari lalu memang surplus, tapi bisa dicek impor semua jenis barang anjlok signifikan dibandingkan Januari. Biasanya 3-5 bulan impor bahan baku anjlok, industri manufaktur akan menurun produksinya. Jadi ini bukan indikator yang baik. Disrupsi rantai pasok bahan baku impor dari berbagai negara, termasuk China memukul industri dalam negeri.