TEMPO.CO, Washington – Bursa global jatuh dan ekonom dari perusahaan keuangan kakap yaitu Goldman Sachs Group Inc dan Morgan Stanley menyatakan wabah virus Corona atau COVID-19 telah memicu terjadinya resesi ekonomi global.
Hingga pekan lalu, nilai saham yang terhapus dari pasar saham di Amerika Serikat mencapai setidaknya sekitar US$8 triliun atau sekitar Rp132 ribu triliun.
Apalagi harga minyak dunia juga turun sekitar 50 persen dari sebelumnya sekitar US$60 barel per dolar menjadi sekitar US$30 barel per dolar sejak dua pekan lalu.
Ini mengindikasikan anjloknya minat pembelian minyak bumi sekaligus menandakan turunnya kegiatan ekonomi dan perusahaan secara global, yang berbasis minyak bumi, akibat wabah virus Corona yang terus menyebar.
Jumlah korban terinfeksi virus Corona, yang awalnya menyebar di Kota Wuhan, Cina, pada Desember 2019, sekarang telah mencapai 335 ribu orang pada Senin, 23 Maret 2020. Korban meninggal sebanyak 14.641 orang menurut data yang dilansir Johns Hopkins University. Lebih dari 100 ribu orang berhasil sembuh di sekitar 150 negara.
Eropa terutama Italia menjadi pusat penyebaran baru setelah Cina berhasil mengendalikan infeksi virus Corona secara domestik. Iran menjadi pusat penyebaran virus Corona di kawasan Timur Tengah.
“Para pemain minyak global bersiap mengantisipasi harga minyak turun hingga US$10 per barel,” begitu dilansir situs Oil Price pada Senin, 23 Maret 2020.
Penurunan indikator ekonomi global ini membuat para ekonom sekarang berfokus mengenai seberapa lama resesi ini berlangsung dan seberapa parah efeknya bagi ekonomi dunia.
“Meskipun respon kebijakan yang dibuat pemerintah akan memberikan perlindungan, kerusakan ekonomi akibat wabah COVID-19 dan kondisi keuangan yang tertekan akan menjadi goncangan nyata bagi ekonomi global,” begitu pernyataan dari tim ekonom Morgan Stanley seperti dilansir The Edge Markets dan Aljazeera pada Kamis, 18 Maret 2020.
Tim ini dipimpin oleh ekonom Chetan Ahya, yang memprediksi global resesi mulai terjadi dengan pertumbuhan ekonomi diprediksi hanya 0.9 persen tahun ini.
Sedangkan tim ekonom dari Goldman Sachs, Jan Hatzius, memprediksi pertumbuhan ekonomi global anjlok menjadi 1.25 persen. Prediksi ini mendekati kondisi resesi ekonomi pada 2009 saat terjadi krisis keuangan global.
Saat itu International Monetary Fund atau Lembaga Moneter Internasional memprediksi terjadi kontraksi atau pelemahan pertumbuhan ekonomi 0.8 persen.
Sebagai gambaran, pada awal Januari 2020, IMF masih melansir prediksi pertumbuhan ekonomi global naik menjadi 3.3 persen dari 2.9 persen pada tahun sebelumnya. Angka pertumbuhan 2020 itu lebih rendah 0.1 persen dari proyeksi sebelumnya.
Belakangan, perusahaan jasa keuangan global seperti Morgan Stanley merilis prediksi pertumbuhan ekonomi AS, yang merupakan ekonomi terbesar dunia, bakal turun menjadi minus 2.4 persen pada kwartal pertama 2020 dan anjlok menjadi minus 30.1 persen pada kwartal kedua.
“Karena terjadi gangguan ekonomi lebih besar,” begitu dilansir tim ekonom perusahaan ini pada Senin, 23 Maret 2020 seperti dilansir CNBC.
Sedangkan perusahaan keuangan kakap Goldman Sachs memprediksi pertumbuhan produk domestik bruto AS menjadi minus 6 persen pada kwartal pertama dan minus 24 persen pada kwartal kedua.
Kabar baiknya adalah kedua tim ekonom ini memprediksi bakal ada perbaikan pertumbuhan ekonomi pada semester kedua 2020 ini meskipun kondisi ekonomi dinilai masih akan sulit.
Untuk mengatasi anjloknya pertumbuhan ekonomi ini, analis John Norman dari JPMorgan Chase & Co meminta negara maju mengulangi resep saat terjadi krisis keuangan global 2009 yaitu meluncurkan stimulus pajak senilai 1-2 persen dari total produk domestik bruto.