Menakar Urgensi Pemerintah Kembali Wacanakan Impor Beras
Reporter
Riri Rahayu
Editor
Grace gandhi
Jumat, 24 Maret 2023 11:19 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Sinyal akan kembali dilakukannya impor beras muncul dari pernyataan Badan Pangan Nasional (Bapanas) dan Kementerian Perdagangan. Dengan alasan jika terjadi kondisi darurat atau emergency, pemerintah kembali mewacanakan akan impor beras di tengah panen raya saat ini. Padahal sebelumnya pemerintah mengatakan akan menghentikan impor beras setelah memasuki panen raya.
Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menilai langkah pemerintah mewacanakan impor beras saat panen raya bukan langkah bijak. Waktunya tidak tepat. Menurut Khudori, semua otoritas kebijakan mestinya saling bahu-membahu mengamankan panen raya dan memastikan petani mendapat harga jual yang baik.
“Setelah periode panen raya berakhir di akhir Mei nanti, barulah Kemendag, Bapanas, dan semua otoritas kementerian/lembaga mesti memastikan Indonesia perlu mengimpor lagi atau tidak,” kata Khudori kepada Tempo, Kamis, 23 Maret 2023.
Namun, Khudori juga memahami wacana Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan alias Zulhas mengimpor beras sebagai langkah antisipasi. Terutama, agar harga beras tak terkendali seperti yang terjadi pada semester dua tahun lalu tidak terjadi lagi. Apalagi, harga beras tak terkendali itu masih berlanjut sampai saat ini. Bahkan, menurut Kementerian Pertanian, harga gabah dan beras pun masih tinggi meski sudah panen raya.
“Ini ganjil. Anomali. Normalnya, saat panen raya, harga beras akan rendah karena terjadi surplus beras, tapi permintaan tetap. Kenaikan permintaan saat Ramadan juga tidak akan signifikan,” kata dia.
Selanjutnya: Khudori juga sepakat jika....
<!--more-->
Khudori juga sepakat jika impor beras bukan sesuatu yang dilarang konstitusi. Sah-sah saja mengimpor beras, sepanjang diperlukan. Namun, yang mesti dipastikan adalah jumlahnya yang terukur dan waktunya tidak meleset.
“Bukan hanya soal surplus. Benar, sejak 2018, merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), kita surplus produksi beras. Tapi volumenya terus turun. Dari 4,7 juta ton pada 2018, menjadi 1,34 juta ton saja pada 2022,” kata Khudori.
Merujuk data BPS, Khudori melanjutkan, pada Februari sudah mulai ada surplus hasil panen. Produksi pada bulan itu apabila dikurangi kebutuhan konsumsi sekitar 2,53 juta ton beras ada surplus 0,32 juta ton. Lalu, Maret diproyeksikan ada surplus 2,84 juta ton dan April ada surplus 1,26 juta ton beras.
Menurut Khudori, surplus pada Februari terhitung masih kecil. Tak heran, menjadi rebutan pelaku usaha, apakah penggilingan padi atau pedagang beras, untuk memastikan pengisian pipa distribusi mereka yang kerontang sejak Oktober tahun lalu.
“Jadi, wajar jika harga masih tinggi, bahkan terus naik. Ketika harga tinggi, mustahil Bulog bisa dapat gabah atau beras,” kata Khudori.
Selanjutnya: Khudori juga mengatakan....
<!--more-->
Khudori juga mengatakan, ketika harga gabah dan harga beras tinggi atau di atas HPP, Bulog tidak perlu masuk ke pasar. Jika Bulog memaksakan diri secara agresif masuk ke pasar dengan berebut barang dengan pelaku lain akan muncul salah urus. Harga gabah dan harga beras akan semakin tinggi.
Hanya saja yang menjadi masalah kalau Bulog tidak dapat barang, maka cadangan beras pemerintah (CBP) yang dikelola Bulog rendah. CBP yang rendah membuat pemerintah tak punya instrumen stabilisasi yang siap digerakan tiap saat untuk mengoreksi kegagalan pasar. Pelaku pasar yang dominan akan mudah mendikte harga di pasar. “Ini tentu harus dicegah. Inilah titik dilema,” kata Khudori.
Khudori berujar, saat ini cadangan beras di Bulog amat rendah. Minggu lalu hanya sekitar 280 ribu ton. Sementara mulai Maret hingga Mei nanti Bulog harus menyalurkan bantuan social atau bansos beras sebanyak 210 ribu ton beras per bulan.
“Dari mana berasnya? Langkah Bapanas dan Kemenko Perekonomian mengumpulkan penggilingan padi agar berkomitmen menyetorkan stok mereka ke Bulog adalah langkah baik. Tapi ini tak banyak membantu,” kata dia.
Impor Beras Bukan Haram, tapi….
Senada dengan Khudori, pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rusli Abdullah, juga mengamini impor beras bukan perkara haram. Biasanya, pemerintah mewacanakan impor beras karena sejumlah faktor. Salah satunya ketika penyerapan beras oleh Bulog yang tidak maksimal.
Selanjutnya: “Dan ini bukan semata-mata salah Bulog...."
<!--more-->
“Dan ini bukan semata-mata salah Bulog karena Bulog hanya operator,” kata Rusli kepada Tempo, Kamis, 23 Maret 2023. “Kenapa tidak maksimal? Biasanya karena banyak faktor, seperti harga beras atau harga gabah yang melebihi harga pembelian pemerintah, kualitas beras di bawah standar, dan rebutan dengan pelaku swasta.”
Pemerintah boleh saja mengimpor beras jika diperlukan. Tepat atau tidak tepatnya langkah pemerintah dalam mengambil kebijakan ini, menurut Rusli, tergantung pada usaha-usaha yang sudah dilakukan pemerintah. Jika penyerapan beras tidak maksimal karena terkendala harga pokok pembelian (HPP) dan kualitas gabah, Bulog mesti diberi fleksibilitas dengan dasar kondisi mendesak untuk menyerap gabah petani. Meksipun, bertolak belakang dengan ketentuan HPP dan standar atau spesifikasi gabah.
“Fleksibilitas ini saya kira bisa menjadikan penyerapan gabah bulog optimal, terutama untuk menyerap surplus produksi beras,” ujar Rusli.
Namun ketika pemerintah pada akhirnya memutuskan melakukan impor, lanjut Rusli, pemerintah mesti berhati-hati dengan memperhatikan parameter-parameter yang terukur. Parameter tersebut, di antaranya prediksi akan gagal panen, stok bulog di bawah angka ideal, impor untuk stabilisasi harga domestik yang tinggi.
“Selain itu, impor juga mestinya tidak dilakukan ketika musim panen padi, seperti bulan Maret sampai Mei, dan bulan Agustus,” kata Rusli.
Selanjutnya: Mendag Zulhas: Berat, tapi....
<!--more-->
Mendag Zulhas: Berat, tapi Tidak Ada Pilihan
Wacana impor beras kembali disampaikan Menteri Perdagangan Zulkilfli Hasan alias Zulhas, ketika rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI pada Rabu, 15 Maret 2023. Zulhas mengatakan, jika diperlukan, pemerintah bisa mengimpor beras lagi sebanyak 500 ribu ton.
“Karena stok Bulog biasanya 1,2 juta (ton), sekarang kalau nggak salah tinggal 300-an (ribu ton),” kata Zulhas, Rabu, 15 Maret 2023.
Zulhas menambahkan, “Walaupun berat, saya sebetulnya tidak setuju impor, tapi tidak ada pilihan. Kemarin diputuskan kembali (impor) 500 ribu ton. Tapi kapan nanti diperlukan, karena sekarang lagi panen raya,” ungkap Zulhas.
Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso mengatakan pemerintah akan lebih dulu melihat perkembangan produksi beras dalam negeri selama panen raya tiga bulan mendatang. Jika dalam periode tersebut hasil produksi panen tidak mencapai target, pemerintah pasti melaksanakan impor beras.
Selanjutnya: “Antisipasi kami ya pasti impor....
<!--more-->
“Antisipasi kami ya pasti impor. Tapi bukan kami hobi impor, ini antisipasi saja. Kami lihat perkembangannya,” ujar Buwas—sapaan akrabnya—saat ditemui awak media di Pasar Kramat Jati, Jakarta Timur pada Jumat, 17 Maret 2023.
Adapun soal besaran impor beras yang disebut Zulhas sebanyak 500 ribu ton, Buwas tak mau berkomentar lebih lanjut. Menurutnya, jumlah tersebut baru hasil perhitungan Kementerian Perdagangan. Sementara total beras impor yang akan diputuskan, kata dia, akan berdasarkan pada perhitungan Badan Pangan Nasional (Bapanas).
"Tapi itu bukti (Kementerian Perdagangan dan Bapanas) sudah mengantisipasi dan memperhitungkan kemungkinan terburuk," ucapnya.
Buwas mengatakan impor beras ditujukan untuk memenuhi total kebutuhan masyarakat agar tidak terganggu. Dia berulang kali mengatakan persoalan impor demi menjaga kestabilan masalah perut yang tidak bisa ditunda.
Pilihan Editor: Ada Trojan Perbankan Versi Baru, Kaspersky Sebut RI Masuk 10 Negara Teratas Terkena Serangan
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini