Gaduh di Kemenkeu, dari 69 Pegawai Berisiko Tinggi hingga Transaksi Mencurigakan Rp 300 T
Reporter
Amelia Rahima Sari
Editor
Martha Warta Silaban
Kamis, 16 Maret 2023 08:33 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Belakangan ini, berita Kementerian Keuangan atau Kemenkeu menjadi sorotan masyarakat. Beberapa diantaranya adalah tentang 69 pegawai yang ditandai berisiko tinggi karena dianggap laporan kekayaan tak jelas, hingga transaksi mencurigakan Rp 300 triliun.
Sejumlah 69 pegawai high risk atau berisiko tinggi itu diketahui dari konferensi pers pada Rabu, 1 Maret 2023 lalu. Pada kesempatan itu, Inspektur Jenderal atau Irjen Kemenkeu Awan Nurmawan Nuh mengatakan berdasarkan Laporan Harta Kekayaan (LHK) 2019 ada 33 pegawai tidak clear, untuk LHK 2020 ada 36 pegawai yang tidak clear, sehingga total ada 69 pegawai yang tidak clear.
"Ini masih dalam proses, jadi belum bisa kita sampaikan. Nanti kalau sudah selesai akan dijelaskan," kata Awan melalui keterangan tertulis pada Tempo, Rabu 15 Maret 2023.
Dari 69 pegawai tersebut, ada 27 pegawai yang menjadi prioritas untuk diperiksa. Hal ini diungkap oleh Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo.
"Dari 69 yang masuk risiko tinggi, ada 55 orang layak klarifikasi. Saat ini kita prioritaskan kurang lebih 27 pegawai," kata Prastowo, sapaannya, dalam rekaman suara yang diterima Tempo pada Senin, 13 Maret 2023.
Prastowo menjelaskan sepuluh pegawai akan dipanggil sampai awal minggu ini. Sementara sisanya akan diselesaikan sepekan ini sampai awal pekan depan. Dia menyebut, dalam dua minggu ini, 27 pegawai Kemenkeu yang menjadi top priority akan diperiksa.
Ditanya apakah 27 pegawai Kemenkeu itu terdiri dari Direktorat Pajak dan Direktorat Bea Cukai, Prastowo tidak menjawab. Namun, dia menyebut para pegawai tersebut diberi kesempatan untuk klarifikasi.
"Itjen Kemenkeu melakukan pemanggilan secara bertahap terhadap para pegawai tersebut, sudah dilakukan pemanggilan untuk klarifikasi. Mereka juga diberi kesempatan untuk melengkapi keterangan/bukti/dokumen dan lain-lain," ujar Prastowo dalam keterangan tertulis terbaru, Rabu.
Selanjutnya: Awal Viral Transaksi Janggal 300 Triliun<!--more-->
Simpang Siur Transaksi Mencurigakan Rp 300 T
Isu transaksi mencurigakan Rp 300 triliun di Kemenkeu mengemuka karena Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan atau Menkopolhukam Mahfud MD. Ia menyebut nilai itu adalah akumulasi sejak 2009 hingga 2023 yang melibatkan 460 orang di Kemenkeu. Laporan itu disebut diperoleh dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan atau PPATK.
Selain itu, nilai Rp 300 triliun itu di luar transaksi Rp 500 miliar dari rekening eks pejabat Ditjen Pajak Rafael Alun Trisambodo.
"Ada 160 laporan lebih sejak itu, tidak ada kemajuan informasi," ujar Mahfud di Kampus Terpadu Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta pada Rabu, 8 Maret 2023.
Usai dikemukakan Mahfud, ini menjadi viral. Ia kemudian menyebut temuan itu bukan berasal dari korupsi, tapi dari dugaan tindak pidana pencucian uang atau TPPU.
"Pencucian uang itu lebih besar dari korupsi, tapi tidak ngambil uang negara," kata Mahfud pada Jumat 10 Maret 2023.
Sementara itu, Kemenkeu sempat mengaku belum mendapat laporan dari PPATK. Hal ini diungkap Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Instagram pribadinya @smindrawati pada Sabtu, 11 Maret 2023.
"Terkait data PPATK Rp 300 triliun transaksi mencurigakan, sampai siang ini saya belum menerima data dari PPATK. Informasi yang disampaikan PPATK ke Menkeu/Kemenkeu TIDAK SAMA DENGAN yang disampaikan kepada Pak Mahfud dan yang disampaikan ke APH," tulis Sri Mulyani.
Seorang sumber anonim Tempo di Kemenkopolhukam menduga bahwa data yang dilaporkan PPATK ke Mahfud berupa lisan. "Bisa jadi gosip," tulisnya melalui keterangan tertulis pada Tempo, Senin 14 Maret 2023.
Sementara itu, laporan tentang transaksi Rp 300 triliun sudah diserahkan PPATK ke Kemenkeu pada Senin, 13 Maret 2023. Sehari kemudian, PPATK akhirnya memberi keterangan pers. Kepala PPATK Ivan Yustiavandana memastikan transaksi mencurigakan Rp 300 triliun di Kemenkeu bukan dari hasil penyalahgunaan atau korupsi pegawai.
Ivan menyebut, transaksi itu adalah laporan atas temuan kasus yang disampaikan PPATK kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Ini terkait peran Kemenkeu sebagai salah satu penyidik TPPU yang diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 2010.
“Sehingga, setiap kasus yang berkaitan dengan kepabeanan, bea cukai dan perpajakan, kami sampaikan hasil analisis atau pemeriksaan ke Kemenkeu,” kata Ivan di Kantor Kemenkeu, Selasa, 14 Maret 2023.
Meski begitu, Ivan tak menampik jika pihaknya menemukan kasus lain menyangkut pegawai Kemenkeu, hanya saja nominalnya tidak sebesar itu. Kasus itu ditangani Kemenkeu dengan berkoordinasi dengan PPATK.
“Sekali lagi kami tegaskan, jangan ada salah persepsi di publik. Bahwa yang kami sampaikan kepada Kementerian Keuangan, bukan tentang penyalahgunaan atau korupsi oleh pegawai di Kementerian Keuangan, tapi lebih kepada kasus yang kami sampaikan ke Kemenkeu,” beber Ivan.
Selanjutnya: Apa kata Pakar Hukum?<!--more-->
Sementara itu, pakar hukum dari Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah Castro menilai seharusnya PPATK tidak menarik kesimpulan bahwa Rp 300 triliun itu dari pidana kepabeanan dan perpajakan.
"Ini aneh dan mencurigakan. PPATK harusnya tidak menarik kesimpulan terlalu dini soal tindak pidana asal (predicate crime) dugaan TPPU Rp 300 triliun itu. Ini kan seperti asap mendahului api," kata Castro melalui keterangan tertulis pada Selasa malam.
Apalagi, lanjut dia, kesimpulan PPATK seolah-olah melokalisir kalau pidana asalnya kepabeanan dan perpajakan. Menurut Castro, PPATK bukan Aparat Penegak Hukum atau APH.
Dia melanjutkan, PPATK hanya menyediakan informasi intelijen untuk kemudian ditindaklanjuti oleh APH. Jadi, menurut Castro, seharusnya kesimpulan itu diumumkan oleh APH, bukan PPATK.
"Ini menguatkan dugaan kalau ada upaya untuk menghindari proses hukum di APH, terutama di KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)," tutur Castro.
Pasalnya, menurut Castro, pidana kepabeanan dan perpajakan bukan kewenangan KPK. Dia pun mencurigai ada skenario besar di balik transaksi mencurigakan Rp 300 triliun itu. "Saya mencurigai ada skenario besar agar dugaan TPPU Rp 300 triliun itu diamputasi, agar tidak diusut lebih jauh oleh KPK," ungkap Castro.
Ia menduga, dengan begitu, tindak pidana perpajakan pada akhirnya ditangani oleh PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) tertentu di lingkungan DJP (Direktorat Jenderal Pajak) yang akan menyidik dugaan tindak pidana perpajakan tersebut.
"Artinya, ini jeruk makan jeruk. Proses penanganan kasus akan kehilangan objektivitasnya. Soal keterlibatan internal Kemenkeu, itu yang harus didalami oleh APH," tutur Castro.
Dia pun berharap KPK seharusnya tetap menyelidiki transaksi mencurigakan Rp 300 triliun itu. Menkopolhukam, kata dia, bertugas mendorong dan memastikan prosesnya tetap di APH.
AMELIA RAHIMA SARI | CAESAR AKBAR | RIRI RAHAYU | ANTARA
Pilihan Editor: Sri Mulyani: Sektor Keuangan Hanya Bisa Berkembang Jika Ada Kepastian Hukum dan Regulasi
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini