Keracunan Massal Siswi di Iran, Rezim Ali Khamenei Kian Tertekan?
Reporter
Daniel A. Fajri
Editor
Dewi Rina Cahyani
Selasa, 7 Maret 2023 11:26 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Gelombang dugaan serangan racun terhadap siswi di puluhan sekolah, memicu protes orang tua di ibu kota Iran,Tehran, dan kota-kota lain pada akhir pekan lalu. Kasus keracunan massal terjadi di tengah ketegangan sosial yang mendesak otoritas pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei, setelah aksi massa yang berlangsung berbulan-bulan sejak kematian seorang wanita muda Mahsa Amini.
Pertemuan orang tua di luar gedung Kementerian Pendidikan di Teheran barat pada Sabtu, 4 Maret 2023, untuk memprotes penyakit tersebut berubah menjadi demonstrasi anti-pemerintah. "Basij, Pengawal, kalian adalah Daesh kami," teriak pengunjuk rasa, menyamakan Pengawal Revolusi dan pasukan keamanan lainnya dengan kelompok Negara Islam, menurut sebuah video yang diverifikasi oleh Reuters.
Protes serupa, menurut video yang tersebar, diadakan di dua daerah lain di Teheran dan kota-kota lain termasuk Isfahan dan Rasht. Posting media sosial dalam beberapa hari terakhir telah menunjukkan foto dan video gadis-gadis yang jatuh sakit, merasa mual atau jantung berdebar-debar. Yang lain mengeluh sakit kepala.
Menteri Kesehatan Iran Bahram Einollahi seperti dikutip media pemerintah pada pekan lalu menyatakan, ratusan anak perempuan Iran di berbagai sekolah telah menderita serangan racun ringan selama beberapa bulan terakhir.
Serangan racun di lebih dari 30 sekolah yang berada di empat kota, dimulai pada November di kota suci Muslim Syiah Qom, Iran. Peristiwa itu, menurut media pemerintah Iran, mendorong beberapa orang tua mengeluarkan anak-anak mereka dari sekolah.
Al Jazeera, merujuk pada laporan kantor berita Tasnim dan Mehr pada Sabtu, 4 Maret 2023, melaporkan insiden terbaru di provinsi Hamedan barat, serta Zanjan dan Azerbaijan Barat di barat laut Iran, Fars di selatan dan provinsi Alborz di utara. Lusinan siswa dipindahkan ke rumah sakit setempat untuk perawatan, menurut laporan itu.
Pada Rabu lalu, media lokal menyebut setidaknya 10 sekolah perempuan menjadi sasaran serangan yang diduga peracunan, mencakup tujuh di kota barat laut Ardabil dan tiga di ibu kota Teheran.
Pekan lalu, Wakil Menteri kesehatan Iran, Younes Panahi, mengatakan serangan itu ditujukan untuk menghentikan pendidikan bagi anak perempuan. Sementara orang tua yang cemas atas peracunan itu, menurut Al Jazeera, menunggu kepastian dan langkah yang diambil otoritas.
Menteri dalam negeri Iran Abdolreza Rahmani Fazli mengatakan pada Sabtu, para penyelidik telah menemukan "sampel mencurigakan" yang sedang dipelajari. “Temuan itu untuk mengidentifikasi penyebab penyakit siswa tersebut, dan hasilnya akan dipublikasikan sesegera mungkin," katanya dalam sebuah pernyataan diturunkan oleh kantor berita resmi IRNA.
<!--more-->
Siapa Bertanggung Jawab?
Untuk pertama kalinya sejak Revolusi Islam pada 1979, siswi-siswi pada beberapa bulan lalu aktif bergabung dalam aksi protes yang dipimpin perempuan setelah kematian Mahsa Amini dalam tahanan polisi moralitas. Beberapa aktivis menuduh penguasa mendalangi peracunan sebagai balas dendam.
Pada 2014, rakyat Iran juga turun ke jalan kota Isfahan setelah gelombang serangan air keras, yang diduga ditujukan untuk meneror perempuan yang melanggar aturan berpakaian Islami yang ketat.
"Sekarang gadis-gadis Iran membayar harga untuk melawan kewajiban jilbab (kerudung) dan telah diracuni oleh lembaga ulama," cuit aktivis Iran terkemuka yang berbasis di New York, Masih Alinejad.
Khawatir akan dorongan baru untuk protes, pihak berwenang meremehkan peracunan tersebut. Penyelidikan yudisial sedang berlangsung, meskipun belum ada rincian temuan yang dirilis.
Di tengah kemarahan publik, pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei mengatakan pada Senin, 6 Maret 2023, bahwa peracunan siswi adalah kejahatan "tak termaafkan" yang harus dihukum mati jika terbukti di sengaja. "Pihak berwenang harus secara serius menindaklanjuti masalah peracunan siswa," katanya seperti dikutip oleh TV pemerintah.
Presiden Iran Ebrahim Raisi pada Jumat, 3 Maret 2023, menyalahkan gelombang keracunan ratusan siswi di seluruh negeri pada musuh Teheran. “Ini adalah proyek keamanan untuk menimbulkan kekacauan di negara dimana musuh berusaha menanamkan rasa takut dan ketidakamanan di antara orang tua dan siswa," katanya saat pidato di Iran selatan.
Kantor hak asasi manusia PBB di Jenewa pada Jumat lalu menyerukan penyelidikan transparan atas dugaan serangan itu. Negara-negara termasuk Jerman dan Amerika Serikat telah menyuarakan keprihatinannya..
"Kemungkinan bahwa gadis-gadis di Iran kemungkinan diracuni hanya karena berusaha mendapatkan pendidikan adalah hal yang memalukan, itu tidak dapat diterima," kata Sekretaris Pers Gedung Putih Karine Jean-Pierre dalam pengarahan media, Senin, 6 Maret 2023.
Washington menyerukan penyelidikan independen untuk menentukan apakah peracunan itu terkait dengan protes, yang akan membuatnya sesuai dengan mandat misi pencarian fakta PBB di Iran. Tehran berulang kali menyalahkan Amerika Serikat di balik protes yang mengguncang negaranya, termasuk gelombang aksi kematian Mahsa Amini.
Pengamat Internasional dari think-tank Atlantic Council Sina Azodi, menyatakan, Iran tidak berada di ambang perubahan rezim paska-protes Mahsa Amini. Namun Gelombang itu telah secara fundamental mengubah hubungan antara negara dan warga sipil.
Dalam konteks aksi secara lebih luas, Azodi meyakini protes terus berlanjut pada 2023, karena pemerintah Iran telah gagal mengatasi akar penyebab protes tersebut. Tuntutan perubahan sosial yang ditanggapi dengan brutalitas, menurut dia, tidak akan memberi solusi berkelanjutan. “Tidak jelas pada titik ini apakah negara memiliki kepentingan untuk menangani keluhan rakyat,” katanya seperti dikutip dari Al Jazeera.
REUTERS | AL JAZEERA
Pilihan Editor: AS Curigai Crane Raksasa Buatan Cina, Beijing: Benar-benar Paranoia