Beragam Kekhawatiran Setelah UU KUHP Baru Disahkan

Editor

Amirullah

Minggu, 11 Desember 2022 12:43 WIB

Massa saat menggelar aksi unjuk rasa menolak pengesahan KUHP di depan Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa, 6 Desember 2022. Massa yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil ini memasang tenda untuk berkemah di depan gerbang Gedung DPR RI sebagai bentuk protes terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru saja disahkan. TEMPO / Hilman Fathurrahman W

TEMPO.CO, Jakarta - Dampak dari disahkannya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP oleh DPR RI pada Selasa lalu, langsung dirasakan oleh Mugni Ilma, jurnalis media online asal Nusa Tenggara Barat (NTB). Mugni mengalami intimidasi verbal dan diancam pidana menggunakan KUHP oleh perwira di Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda NTB.

Penyebabnya, Mugni dituduh mencemarkan nama baik karena menulis berita dugaan fee yang mengalir ke personel tim penyidik Ditreskrimsus yang sedang menangani kasus kosmetik ilegal. Padahal menurut Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Mataram, berita yang ditulis Mugni dipastikan sudah memenuhi unsur fakta dan kaidah jurnalistik tentang asas keberimbangan.

"Berita yang ditulis sudah melalui proses verifikasi dan konfirmasi. Secara kaidah maupun kode etik tidak ada yang dilanggar," ujar Ketua AJI Mataram, Muhammad Kasim dalam keterangannya, Ahad, 11 Desember 2022.

Kasim menyebut pemberitaan yang ditulis oleh Mugni telah memenuhi unsur cover both side. Bahkan pada berita kedua, Mugni memuat klarifikasi dan bantahan langsung dari Direktur Reskrimsus Polda NTB, Komisaris Besar Nasrun Pasaribu.

Atas pengancaman ini, AJI Mataram mengecam perbuatan intimidasi dan arogansi perwira yang mengancam memenjarakan jurnalis dengan KUHP yang baru disahkan oleh DPR RI. Padahal, UU tersebut baru berlaku efektif setelah tiga tahun.

Advertising
Advertising

"Kami melihat KUHP ini baru disahkan saja sudah dijadikan alat untuk intimidasi. Tentu ini jadi preseden buruk bagi Polri karena KUHP tersebut belum berlaku efektif," kata dia.

Kekhawatiran KUHP dapat membahayakan kemerdekaan jurnalis sebelumnya juga disampaikan oleh Dewan Pers. Lembaga ini menyebut UU KUHP berpotensi membungkam lantaran UU KUHP dapat menjerat wartawan dan perusahaan pers sebagai pelaku tindak pidana ketika menjalankan tugas jurnalistik.

"Tidak hanya mengancam dan mencederai kemerdekaan pers, namun juga berbahaya bagi demokrasi, kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta pemberantasan korupsi,” kata Arif Zulkifli, Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan Dewan Pers.

Dewan Pers sebagai lembaga independen sebelumnya telah menyusun Daftar Inventaris Masalah (DIM) RKUHP terhadap pasal-pasal krusial yang menjadi ancaman terhadap pers dan wartawan. Dewan Pers juga menyarankan reformulasi 11 cluster dan 17 pasal dalam RKUHP yang berpotensi mengancam kemerdekaan pers, sebagai upaya mencegah kriminalisasi.

Namun, Arif menyebut masukan yang telah diserahkan ke pemerintah dan DPR tidak memperoleh feedback. Padahal, Dewan Pers juga menyampaikan saran agar dilakukan simulasi kasus atas norma yang akan dirumuskan.

Protes Pelaku Dunia Hiburan

Protes terhadap UU KUHP yang baru juga datang dari pelaku dunia hiburan. Pengacara kondang sekaligus pemilik klub malam, Hotman Paris misalnya, memprotes Pasal 424 UU KUHP tentang minumas keras. Menurut dia, aturan tersebut dapat membuat waiters hingga turis asing yang menuangkan miras kepada seseorang terancam masuk penjara.

Pengacara Hotman Paris bersama Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno saat berdiskusi soal KUHP baru di Kopi Johny, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Sabtu, 10 Desember 2022. TEMPO/M Julnis Firmansyah

Hotman menjelaskan dalam KUHP itu disebutkan pihak yang menambahkan minuman keras kepada seseorang hingga orang tersebut mabuk, maka dapat dipidana penjara hingga 1 tahun.

"Jadi orang yang dalam rangka pekerjaan pun masuk penjara, waiters misalnya. Jadi misalnya ada tamu sudah tipsy, lalu dia panggil waiters untuk minta tambah minuman, dia bisa masuk penjara. Di sini juga tidak disebutkan pengertian mabuknya seperti apa," kata Hotman.

Adapun bunyi Pasal 424 yang disoroti oleh Hotman, sebagai berikut:

Pasal 424 KUHP

(1) Setiap Orang yang menjual atau memberi minuman atau bahan yang memabukkan kepada orang yang sedang dalam keadaan mabuk, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II.

(2) Setiap Orang yang menjual atau memberi minuman atau bahan yang memabukkan kepada Anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II.

(3) Setiap Orang yang dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan memaksa seseorang meminum atau memakai bahan yang memabukkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.

(4) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3):

a. mengakibatkan Luka Berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV; atau

b. mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.

(5) Jika pelaku Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) melakukan perbuatan tersebut dalam menjalankan pekerjaannya maka dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 huruf f.

Selain mengancam waiters, Hotman menyebut aturan ini juga membahayakan para turis asing. Menurut pengalamannya, para turis biasanya senang berpesta beramai-ramai hingga mabuk dan saling menuangkan minuman satu sama lain.

"Turis bisa jadi sasaran, kalau ada orang mabok, orang mabok tidak dipidana, tapi kalau temannya yang menambahkan minuman, dia yang masuk penjara 1 Tahun. Ini logika hukumnya di mana?" kata pengacara eksentrik ini.

Side Business Kalapas

Lebih lanjut, Hotman juga menyebut jabatan Kepala Lembaga Permasyarakatan bakal sangat "basah" pasca disahkannya KUHP yang baru.

Penyebabnya, dalam Pasal 98 sampai 102 KUHP yang baru mengatur bahwa hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 tahun, jika setelah masa percobaan selesai dan pelaku berkelakuan baik, maka hukuman mati dapat dianulir.

"Berarti apa? Kalapas yang akan mengeluarkan surat berkelakuan baik bakal jadi tempat yang sangat basah. Siapa yang tidak mau bayar berapapun dari pada ditembak hukuman mati, side business," kata Hotman.

Menurut dia hal ini sangat membahayakan masyarakat. Apa lagi, aturan serupa juga diberlakukan untuk hukuman korupsi.

"Kayak hukuman korupsi kalau sudah 2/3, kalapas mengeluarkan surat berkelakuan baik. Jadi ini sangat membahayakan masyarakat," kata Hotman.

Kelompok Rentan

Sementara itu, Fajri Nursyamsi pengajar dari Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Indonesia mengatakan peta potensi korupsi sudah tercermin dari proses pembentukan KUHP baru dilakukan. Ia mengatakan pembentukan KUHP dimonopoli oleh kelompok tertentu dan minim mengakomodasi aspirasi kelompok rentan, seperti misalnya kelompok disabilitas.

"Ini menunjukkan bahwa seolah-olah KUHP baru hanya dimiliki oleh sekelompok orang, bahkan ada kritik di berbagai pihak bahwa ini seolah hanya milik mereka yang punya background pidana saja. Padahal KUHP hari ini harus banyak melihat prespektif, termasuk kelompok rentan," kata Fajri.

Lebih lanjut, Fajri menjelaskan bahwa rumusan korupsi terdiri dari kondisi yang dimonopoli oleh suatu kelompok, ditambah diskresi yang luas, tetapi minim pertanggungjawaban. Situasi tersebut, kata Fajri, juga terjadi dalam proses pembentukan KUHP baru.

Soal Pasal Korupsi

Direktur Akademi Anti Korupsi yang juga tergabung dalam IM57+ Institute, Budi Agung Nugroho menyoroti penerapan beberapa pasal Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) ke dalam Pasal 622 KUHP dan Pasal 79 KUHP yang baru. Pasal tersebut antara lain Pasal 2 ayat 1, Pasal 3, Pasal 5, dan Pasal 11 UU Tipikor.

Menurut mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini, masuknya Pasal UU Tipikor dalam UU KUHP yang baru tidak serta merta membuat penegakan hukum terhadap korupsi menjadi lebih kuat. Sebab, Budi menyebut beberapa Pasal itu hanya di-copy paste dari UU Tipikor ke UU KUHP.

Bahkan, Budi menyebut pada KUHP terjadi penyederhanaan jenis korupsi. Jika pada UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 tahun 2001 jenis korupsi terbagi menjadi 7 jenis korupsi, yang tersebar pada 32 pasal hanya diabsorb menjadi 2 jenis korupsi yakni korupsi merugikan keuangan negara dan suap.

Lalu untuk Pasal 79 KUHP, Budi menyebut hanya terjadi penyeragaman denda untuk pelaku korupsi. Besarannya mulai dari Rp1.000.000 hingga Rp50 miliar. Besaran pidana denda dapat diubah jika terjadi perubahan nilai uang melalui Peraturan Pemerintah.

"Jadi diabsorsinya pasal-pasal tersebut di KUHP tidak mempengaruhi kondisi penegak hukum di sektor korupsi pada saat ini. Sama saja sebetulnya, tidak ada perubahan," kata Budi.

Padahal, menurut Budi seharusnya saat aturan diabsorsi ke aturan lain, seharusnya ada kemajuan seperti pemberantasan korupsi yang lebih masif. Namun dalam hal ini KUHP hanya melakukan copy paste substansi dari UU Tipikor.

Tidak Inklusif

Sementara itu, aktivis Perempuan Indonesia Antikorupsi, Anita Wahid, menyoroti proses pembahasan KUHP di DPR yang tidak inklusif dan terbilang sangat cepat. Menurut Anita, hal ini membuat produk KUHP baru terkesan ekslusif untuk orang-orang yang berada di wilayah pidana.

"Kelompok lainnya tidak di-address, tidak sama sekali dibahas di KUHP yang baru ini. Kita jadi melihat apakah memang ada kebutuhan tertentu yang kemudian terjawab di KUHP baru, kebutuhan untuk korupsi menjadi lebih mudah misalnya. Apakah ada pasal-pasal yang membuat melakukan tindak korupsi itu menjadikan risikonya kecil, misalnya adalah dengan hukumnya tadi diringankan," kata Anita.

Putri ketiga Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur itu menyebut monopoli intepretasi saat pembahasan aturan yang menyangkut kepentingan orang banyak telah terjadi dalam beberapa tahun terakhir, seperti misalnya saat Omnibus Law hingga Revisi UU KPK. Pola yang digunakan untuk melawan pihak yang kontra dengan revisi aturan itu pun juga cenderung sama, yakni dengan menciptakan sosok "musuh" agar tercipta kubu yang mendukung aturan tersebut.

Seperti dalam Revisi UU KPK, diciptakan isu Taliban agar menjadi pembenaran diadakannya Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang kontroversial. Lalu dalam pengesahan Omnibus Law, pihak-pihak yang menentang pengesahan Undang-Undang sapu jagat itu disebut menyebarkan hoaks.

"Kita perlu berhati-hati dengan monopoli intepretasi ini, siapa yang punya uang besar, dia juga yang bisa membayar influencer untuk melakukan intepretasi dan narasi tertentu agar menjadi dominan di masyarakat, terutama dikaitkan dengan kelompok polarisasi. Sehingga selalu dihadirkan ada musuh yang harus kita lawan. Cara berpikirnya 'dia bisa kita lawan agar UU ini bisa kita bisa sahkan'," tandas Anita.

Baca juga: KUHP Baru Dinilai Bisa Buat Turis Asing Lari, Ini Jawaban Pemerintah

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.

Berita terkait

Gerindra Klaim Suaranya di Papua Tengah Dirampok

4 jam lalu

Gerindra Klaim Suaranya di Papua Tengah Dirampok

Gerindra menggugat di MK, karena perolehan suaranya di DPR RI dapil Papua Tengah menghilang.

Baca Selengkapnya

Peneliti BRIN Bilang Oposisi Tetap Dibutuhkan di Pemerintahan Prabowo-Gibran, Ini Alasannya

8 jam lalu

Peneliti BRIN Bilang Oposisi Tetap Dibutuhkan di Pemerintahan Prabowo-Gibran, Ini Alasannya

PKS belum membuat keputusan resmi akan bergabung dengan pemerintahan Prabowo atau menjadi oposisi.

Baca Selengkapnya

Dewan Pers Minta Kampus Taati Perjanjian Penguatan dan Perlindungan Pers Mahasiswa

2 hari lalu

Dewan Pers Minta Kampus Taati Perjanjian Penguatan dan Perlindungan Pers Mahasiswa

Sengketa jurnalistik pers mahasiswa kini ditangani oleh Dewan Pers. Kampus diminta taati kerja sama penguatan dan perlindungan pers mahasiswa.

Baca Selengkapnya

Perkuat Kredibilitas Media Digital, AMSI dan RSF Luncurkan Journalism Trust Initiative

2 hari lalu

Perkuat Kredibilitas Media Digital, AMSI dan RSF Luncurkan Journalism Trust Initiative

AMSI dan RSF meluncurkan program sertifikasi media bertajuk Journalism Trust Initiative di Indonesia untuk memperkuat kredibilitas media digital.

Baca Selengkapnya

BMTH Harus Beri Manfaat Besar Bagi Masyarakat Bali

3 hari lalu

BMTH Harus Beri Manfaat Besar Bagi Masyarakat Bali

Proyek Bali Maritime Tourism Hub (BMTH) yang sedang dibangun di Pelabuhan Benoa, Bali, harus memberi manfaat yang besar bagi masyarakat Bali.

Baca Selengkapnya

MK Gelar Sidang Perdana Sengketa Pileg pada Senin 29 April 2024, Ini Tahapannya

3 hari lalu

MK Gelar Sidang Perdana Sengketa Pileg pada Senin 29 April 2024, Ini Tahapannya

Bawaslu minta jajarannya menyiapkan alat bukti dan kematangan mental menghadapi sidang sengketa Pileg di MK.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Gibran Ikrar Sumpah Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Oktober 2024, Pahami Isinya

3 hari lalu

Prabowo dan Gibran Ikrar Sumpah Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Oktober 2024, Pahami Isinya

Pasca-putusan MK, pasangan Prabowo-Gibrang resmi ditetapkan KPU sebagai pemenang pemilu. Sumpah jabatan mereka akan diikrarkan pada Oktober 2024.

Baca Selengkapnya

Terkini: Anggota DPR Tolak Penerapan Iuran Pariwisata di Tiket Pesawat, TKN Prabowo-Gibran Sebut Susunan Menteri Tunggu Jokowi dan Partai

4 hari lalu

Terkini: Anggota DPR Tolak Penerapan Iuran Pariwisata di Tiket Pesawat, TKN Prabowo-Gibran Sebut Susunan Menteri Tunggu Jokowi dan Partai

Anggota Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Sigit Sosiantomo mengatakan penetapan tarif tiket pesawat harus memperhatikan daya beli masyarakat.

Baca Selengkapnya

Wacana Iuran Pariwisata di Tiket Pesawat Berpotensi Langgar UU Penerbangan

4 hari lalu

Wacana Iuran Pariwisata di Tiket Pesawat Berpotensi Langgar UU Penerbangan

Penarikan iuran yang akan dimasukkan dalam komponen perhitungan harga tiket pesawat itu dinilainya berpotensi melanggar Undang-Undang (UU).

Baca Selengkapnya

Fathan Subchi Dorong Pemerintah Sisir Belanja Tidak Prioritas

4 hari lalu

Fathan Subchi Dorong Pemerintah Sisir Belanja Tidak Prioritas

Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Fathan Subchi meminta pemerintah untuk mencari langkah antisipatif untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia, salah satunya adalah dengan cara menyisir belanja tidak prioritas.

Baca Selengkapnya