PR Xi Jinping Pimpin China di Periode Ketiga: Ekonomi, Taiwan hingga Penegakkan HAM
Reporter
Tempo.co
Editor
Dewi Rina Cahyani
Selasa, 25 Oktober 2022 17:28 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Xi Jinping kembali dikukuhkan sebagai presiden untuk ketiga kalinya melalui Kongres Partai Komunis Cina yang selesai digelar pada hari Minggu, 23 Oktober 2022. Panjangnya masa jabatan Xi Jinping membuat dia disejajarkan dengan penguasa China paling kuat, Mao Zedong.
Baca: Kim Jong Un Kirim Ucapan Selamat ke Xi Jinping, Ingin Hubungan dengan China Lebih Indah
Usai didapuk menjadi presiden, Xi Jinping mengatakan dunia membutuhkan China untuk berkembang atau membangun. Dalam kesempatan itu, dia mengungkapkan bahwa China tidak bisa berkembang hanya dengan mengisolasi diri.
Ia mengklaim fundamental perekonomian China juga sangat kuat dan memiliki banyak potensi. Kekuatan ekonomi China tak akan berubah dan tetap positif dalam jangka panjang. "Kami akan membuka pintu lebih lebar lagi. Kemakmuran China akan menciptakan lebih banyak kesempatan bagi dunia," katanya.
Untuk mengamankan periode ketiga kepemimpinannya, Xi Jinping memperkenalkan Komite Tetap Politbiro baru yang diisi dengan para loyalisnya. Ketua Partai Komunis Shanghai Li Qiang, 63 tahun, mengikuti Xi ke atas panggung di Aula Besar Rakyat ketika tim kepemimpinan baru diperkenalkan. Dia kemungkinan akan menggantikan Li Keqiang sebagai perdana menteri, ketika Li Keqiang pensiun pada Maret.
Anggota lain dari Komite Tetap, badan pemerintahan tertinggi China, adalah petahana Zhao Leji dan Wang Huning, serta pendatang baru Cai Qi, Ding Xuexiang dan Li Xi. Li Qiang juga baru di Komite Tetap yang beranggotakan tujuh orang. Ketujuh pria, tak ada satu pun wanita, dianggap memiliki kesetiaan dekat kepada Xi Jinping, 69, yang juga diangkat kembali sebagai ketua Komisi Militer Pusat.
Dalam periode ketiga kepemimpinannya, Xi Jinping dihadapi sederet masalah. Dirangkum berbagai sumber, berikut pekerjaan rumah yang dihadapi oleh Xi Jinping:
Ekonomi Melambat
Perekonomian China yang melambat kemungkinan akan mendominasi kekuasaan Xi Jinping selama lima tahun ke depan. Keputusannya menempatkan para loyalis di puncak Partai Komunis memicu kekhawatiran bahwa dia memprioritaskan ideologi dengan mengorbankan pertumbuhan.
Setelah beberapa dekade ekonomi tumbuh tinggi, para analis memperkirakan China akan berjuang mencapai target pertumbuhan 5,5 persen pada 2022.
Hari-hari China dikendalikan oleh kaum reformis liberal telah berakhir. Dalam beberapa dekade terakkhir, sektor swasta China tumbuh pesat dengan kredit yang mudah dan keuntungan yang besar. Di bawah kepemimpinan Xi Jinping dalam lima tahun mendatang, Beijing kemungkinan akan kembali ke manajemen ekonomi lawas dengan fokus baru menopang industri berat dan keras terhadap industri yang sarat teknologi.
China akan bersaing ketat dengan Amerika Serikat yang berjanji memprioritaskan keunggulan kompetitif. Kedua negara adidaya itu bersaing untuk mendominasi teknologi, namun Beijing akan berada di bawah tekanan besar karena melambatnya pertumbuhan ekonimi di dalam negeri.
<!--more-->
Ketegangan di Taiwan
Setelah bertahun-tahun meningkatkan ketegangan dengan Taiwan, Xi Jinping akan semakin berani memutuskan waktu yang tepat untuk memenuhi ambisi lama Beijing merebut kembali pulau tersebut. Para pejabat AS berpendapat bahwa China bisa saja menyerang Taiwan tahun ini.
China telah membuat keputusan mendasar bahwa status quo tidak lagi dapat diterima. Menurut Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, Beijing bertekad mengejar reunifikasi dalam waktu yang jauh lebih cepat.
Beijing menegaskan kebijakannya terhadap Taiwan tidak berubah, tetapi retorika dan tindakan terhadap pulau itu menjadi lebih jelas.
Jika Beijing nekat menyerang Taiwan, akan mendatangkan malapetaka dengan rantai pasokan global. Taiwan merupakan pemasok utama semikonduktor, komponen penting dari hampir semua elektronik modern, mulai dari telepon pintar hingga peralatan dapur dan mobil. Penyeranngan itu juga akan memicu kemarahan dari Barat, memperdalam isolasi China, membawa Beijing dan Washington berkonfrontasi militer dan memusnahkan kebebasan Taiwan yang diperoleh dengan susah payah.
Strategi Nol Covid
Xi Jinping juga perlu memutuskan masa depan kebijakan ketat nol-COVID China. Belum jelas benar apakah China siap untuk terbuka ke dunia luar setelah dua tahun menutup perbatasan dan menerapkan karantina yang ketat.
"Konsumsi tidak mungkin pulih ke tingkat sebelum COVID saat ini," kata Dan Wang, kepala ekonom di Hang Seng Bank China.
Hak Asasi Manusia
China di bawah Xi Jinping keras terhadap kebebasan berpendapat oleh masyarakat sipil. Sejumlah aktivis telah meninggalkan negara itu dan oposisi terhadap pemerintah hampir padam.
Di wilayah barat jauh Xinjiang, kelompok hak asasi mengatakan lebih dari satu juta orang Uyghur dan minoritas Muslim lainnya ditahan. Amerika Serikat dan anggota parlemen di negara-negara Barat menyatakan penahanan terhadap Muslim Uyghur sebagai genosida.
Situasi tampaknya tidak akan membaik selama lima tahun ke depan karena kekuatan Xi Jinping tumbuh semakin kuat. Kepemimpinannya berusaha keras melawan tekanan internasional.
"Masa jabatan Xi Jinping berikutnya kemungkinan akan membuat dia melanjutkan serangan terhadap hak asasi manusia di seluruh negeri dan seluruh dunia", tulis Sophie Richardson di Human Rights Watch.
Baca juga: Ketua Partai Komunis Vietnam Akan Kunjungan Kerja ke Cina
REUTERS | CHANNEL NEWS ASIA | CNN