Bel Resesi Ekonomi Dunia Berdentang, Pemerintah Belum Siap

Rabu, 28 September 2022 15:01 WIB

Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan pemaparan saat mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 22 September 2022. Rapat tersebut membahas dan persetujuan penyertaan modal negara (PMN) tahun 2022. TEMPO/M Taufan Rengganis

TEMPO.CO, Jakarta - Dengan suara datar dan tenang, Sri Mulyani membacakan data-data ekonomi yang mengkhawatirkan bagi dunia keuangan. Pemerintah, kata dia, sedang mengantisipasi potensi ekonomi dunia yang makin dekat dengan jurang resesi. Sri Mulyani menyoroti kenaikan suku bunga yang dilakukan oleh bank sentral negara-negara di dunia memicu resesi global.

Ia menyebutkan sejumlah negara yang agresif mengerek suku bunga untuk menahan gejolak inflasi. Inggris, misalnya, telah menaikkan suku bunga secara drastis sebanyak 150 basis poin. Kemudian Amerika Serikat tercatat kenaikannya lebih ekstrem mencapai 225 basis poin sejak awal 2022.

Dalam empat dekade terakhir, kata Sri Mulyani, setiap kebijakan kenaikan suku bunga bank sentral Amerika mengakibatkan krisis di berbagai belahan dunia, khususnya Amerika Latin. "Jadi kita harus mewaspadai spill over yang akan berpotensi menimbulkan gejolak di pasar keuangan," ujarnya, Senin, 26 September 2022.

Mantan Managing Director Bank Dunia itu berujar, kenaikan suku bunga juga demi merespons tekanan yang kuat dari inflasi akibat melonjaknya harga komoditas, serta pemberian stimulus selama 2020-2021 untuk menahan dampak dari krisis pandemi Covid-19.

"Risiko ekonomi bergeser dari pandemi sekarang menajadi risiko finansial melalui berbagai penyesuaian kebijakan dan inflasi yang tinggi," kata Sri Mulyani.

Advertising
Advertising

Bank Dunia pun memperkirakan jika bank sentral di seluruh dunia melakukan peningkatan suku bunga secara cukup ekstrem dan bersama-sama, resesi global akan terjadi pada 2023. Kerena itu, Sri Mulyani memprediksi kondisi ini akan menimbulkan dampak bagi pertumbuhan ekonomi.

Di sisi lain, menurut Sri Mulyani, realisasi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) hingga Agustus 2022 telah menjadikan strategi APBN sesuai dengan tantangan yang melingkupi kondisi global. APBN hingga Agustus 2022 tercatat surplus Rp 107,4 miliar.

Capaian itu naik dari realisasi akhir bulan sebelumnya sebesar Rp 106,1 miliar. Kondisi APBN berbalik ketimbang Agusus 2021. Tahun lalu, APBN mencatatkan defisit Rp 383,1 miliar. Dengan begitu, besaran surplus APBN per 31 Agustus terhadap produk domestik bruto adalah sebesar 0,58 persen, lebih baik dari posisi pada akhir Juli 2022 sebesar 0,57 persen.

Sri Mulyani menjelaskan surplus ini disebabkan pendapatan negara yang mencapai Rp 1.764,4 triliun atau naik 49,8 persen ketimbang Agustus 2021 yang sebesar Rp 1.177,8 triliun. Jika dibandingkan dengan target tahun ini dalam Perpres 98 Tahun 2022 yang sebesar Rp2.266,2 triliun, realisasinya sudah sebesar 77,8 persen.

Keseimbangan primer juga mengalami surplus, yakni menjadi Rp 342,1 triliun dari target tahun ini yang diperkirakan malah defisit sebesar Rp 434,4 triliun. Kondisi keseimbangan primer itu turun 301,5 persen dari catatan Agustus 2021 yang defisit sebesar Rp169,8 triliun.

Selanjutnya: Klaim Super Power RI Ala Luhut

"Jadi dengan surplus ini dan issuence utang yang jauh lebih rendah, defisit yang lebih rendah, menjadikan strategi APBN kita sangat sesuai dengan tantangan saat ini," ujar Sri Mulyani.

<!--more-->

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengklaim Indonesia telah menjadi salah satu negara dengan ekonomi yang kuat di dunia. Meski tengah berada di tengah ancaman global, ia yakin bangsa Indonesia kompak menghadapi kondisi ekonomi yang sangat krusial.

"Kita bersyukur sampai hari ini dengan kepemimpinan Presiden Jokowi kita masih mampu meredam keadaan ini, tapi pertanyaannya berapa lama kita bisa?" ucapnya.

Luhut optimistis krisis global atau disebut 'Perfect Storm' itu akan terjadi. Namun, tuturnya, dengan modal yang dimiliki Indonesia sekarang, perekonomian negara masih kuat menghadapi tekanan resesi global. Ia percaya pada ramalan yang menyatakan Indonesia akan menjadi salah satu dari empat besar ekonomi dunia pada 2045-2050.

Adapun Wakil Ketua Umum Koordinator Bidang Maritim, Investasi, dan Luar Negeri Kadin Indonesia Shinta W. Kamdani menilai, seharusnya di tengah kondisi ini pemerintah mengkhawatirkan stabilitas dan produktivitas seluruh ekonomi nasional di tahun depan.

"Karena resesi global yang diproyeksikan terjadi di 2023, akan dialami oleh sebagian besar ekonomi dunia mulai dari Amerika, Eropa, China, hingga Jepang yang semuanya adalah rekan dagang maupun investasi besar untuk Indonesia," ujarnya saat dihubungi Tempo pada Selasa, 27 September 2022.

Ia berujar meski secara analisis ekonomi, risiko Indonesia mengalami krisis yang sama cukup rendah. Meskipun stabilitas dan produktivitas ekonomi Tanah Air akan tertekan. Di satu sisi, efek inflasi yang di atas rata-rata pada tahun ini akan menambah beban biaya usaha maupun daya beli masyarakat pada 2023 nanti.

Menurut Shinta, tekanan-tekanan itu akan dirasakan semua sektor ekonomi. Alhasil, pertumbuhan ekonomi nasional, khususnya di sektor industri serta usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM)akan melambat.

Di sisi lain, ancaman resesi global pada 2023 juga akan menekan produktifitas ekspor, khususnya ekspor produk manufaktur dan produk bernilai tambah yang sifatnya ‘consumer goods’. Ia memprediksi produk ekspor tersebut pun akan mengalami krisis dan semakin menjadi beban tambahan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

"Ini pun dengan asumsi kita bisa menjaga stabilitas makro ekonomi nasional sepanjang krisis global di 2023," tuturnya.

Jadi, ucap dia, yang terpenting bagi pengusaha adalah upaya pemerintah untuk terus menjaga kestabilan ekonomi nasional. Pemerintah juga harus menciptakan respon kebijakan fiskal dan makro prudential yang responsif terhadap potensi tekanan-tekanan eksternal dari krisis ekonomi, yang kemungkinan akan dialami oleh sebagian besar negara partner dagang maupun investasi penting Indonesia.

Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menegaskan tahun depan pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa terjun di bawah 5 persen. Sebab, ancaman resesi global ini, menurutnya, cukup nyata dan berdampak satu pada neraca perdagangan yang selama ini ditopang oleh harga komoditas yang naik.

"Dengan resesi, permintaan bahan baku industri berarti menurun. Ini akibatnya terjadi penurunan dalam harga komoditas ekspor unggulan dan bisa menyebabkan tekanan pada sisi ekspor," ujarnya saat dihubungi Tempo pada Selasa, 27 September 2022.

Kemudian ancaman terhadap realisasi investasi. Ia berujar selain melihat efek dari naiknya harga BBM terhadap inflasi, yang bahkan tahun ini melebihi pertumbuhan ekonomi, itu berarti secara riil sudah terjadi tekanan. Investor akan masuk kepada aset-aset yang lebih aman.

Sedangkan untuk investasi langsung, tutur Bhima, terjadinya inflasi membuat permintaan konsumen lebih rendah dari proyeksi awal. Ditambah rencana bisnis yang berubah. Pemodal juga mencermati efek kenaikan tingkat suku bunga.

Kalau suku bunga acuan naik secara agresif untuk menaikan inflasi, maka biaya pinjaman bagi sektor investasi pun akan melemah. Pertumbuhan kredit bisa terkoreksi dan hal itu, menurut Bhima, bisa mengganggu realisasi investasi langsung. Ditambah 2023 merupakan tahun politik. Sehingga resiko politik juga membuat pelaku para pelaku usaha menghindari ekspansi.

Bhima menegaskan ancaman resesi yang terjadi di Inggris, kawasan Eropa, Amerika, bahkan Cina yang sedang bermasalah karena zero Covid policy dan bubble sektor properti itu, bisa menjalar dan berdampak kepada tekanan ekonomi domestik.

"Jadi sekarang dibandingkan pemerintah hanya memberi sinyal bahwa ada ancaman resesi dan membanggakan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sebenarnya hanya terbantu dengan komoditas, yang diperlukan ini kan kebijakan-kebijakan apa," ucap Bhima.

Seharusnya, tutur Bhima, jika terdapat ancaman resesi ekonomi, pemerintah harus menambah subsidi energi. "Harga BBM harusnya dijaga, bukan dinaikan," kata dia. Tarif pajak untuk PPN juga perlu diturunkan dari 11 persen menjadi 8 atau 7 persen. Tujuannya, agar ada relaksasi pada konsumsi masyarakat. "Bukannya pajaknya semakin mengejar, khususnya kelas menengah," ucapnya.

Kemudian pemberian subsidi di sektor perumahan, FLPP, subsidi uang muka, agar sektor properti tidak terdampak terlalu dalam dari kenaikan suku bunga. Begitupun dengan kendaraan bermotor, menurutnya, pemerintah seharusnya banyak memberikan relaksasi juga. Selanjutnya sektor perbankan yang memiliki exposure dan resiko dari efek resesi ekonomi global ini.

"Konglomerasi keuangan di Indonesia juga perlu diawasi secara ketat, karena kita tidak ingin kasus Century itu terulang kembali," ujar Bhima. Resesi secara global, dapat berimbas pada gagalnya pembayaran perbankan dari sektor keuangan. Jadi, kata dia, protokol krisisnya juga harus segera dinyalakan.

RIANI SANUSI PUTRI | ARRIJAL RACHMAN | MOH KHORY ALFARIZI | FRANCISCA CHRISTY ROSANA

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini

Berita terkait

Netizen Serbu Akun Instagram Bea Cukai: Tukang Palak Berseragam

1 jam lalu

Netizen Serbu Akun Instagram Bea Cukai: Tukang Palak Berseragam

Direktorat Jenderal Bea dan Cuka (Bea Cukai) mendapat kritik dari masyarakat perihal sejumlah kasus viral.

Baca Selengkapnya

Minta Perbaikan Kinerja, Pernyataan Lengkap Sri Mulyani tentang Alat Belajar SLB Dipajaki Bea Cukai

5 jam lalu

Minta Perbaikan Kinerja, Pernyataan Lengkap Sri Mulyani tentang Alat Belajar SLB Dipajaki Bea Cukai

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati tanggapi kasus penahanan hibah alat belajar SLB oleh Bea Cukai.

Baca Selengkapnya

Beberapa Kasus Terkait Bea Cukai yang Menghebohkan Publik

8 jam lalu

Beberapa Kasus Terkait Bea Cukai yang Menghebohkan Publik

Bea cukai sedang disorot masyarakat. Ini beberapa kasus yang membuat heboh

Baca Selengkapnya

Rangkuman Poin Kehadiran Sri Mulyani di Forum IMF-World Bank

17 jam lalu

Rangkuman Poin Kehadiran Sri Mulyani di Forum IMF-World Bank

Menkeu Sri Mulyani Indrawati mengatakan terdapat tiga hal utama dari pertemuan tersebut, yaitu outlook dan risiko ekonomi global.

Baca Selengkapnya

BI Optimistis Pertumbuhan Ekonomi Naik 4,7-5,5 Persen Tahun Ini

21 jam lalu

BI Optimistis Pertumbuhan Ekonomi Naik 4,7-5,5 Persen Tahun Ini

BI sedang mempersiapkan instrumen insentif agar mendorong pertumbuhan ekonomi.

Baca Selengkapnya

Viral Berbagai Kasus Denda Bea Masuk Barang Impor, Sri Mulyani Instruksikan Ini ke Bos Bea Cukai

1 hari lalu

Viral Berbagai Kasus Denda Bea Masuk Barang Impor, Sri Mulyani Instruksikan Ini ke Bos Bea Cukai

Sri Mulyani merespons soal berbagai kasus pengenaan denda bea masuk barang impor yang bernilai jumbo dan ramai diperbincangkan belakangan ini.

Baca Selengkapnya

Bertubi-tubi Penghargaan untuk Bobby Nasution, Terakhir Menantu Jokowi Raih Satyalancana dan Tokoh Nasional

2 hari lalu

Bertubi-tubi Penghargaan untuk Bobby Nasution, Terakhir Menantu Jokowi Raih Satyalancana dan Tokoh Nasional

Wali Kota Medan Bobby Nasution boleh dibilang banjir penghargaan. Menantu Jokowi ini dapat penghargaan Satyalancana baru-baru ini.

Baca Selengkapnya

Masih Loyo, Nilai Tukar Rupiah Melemah ke Level Rp 16.210 per Dolar AS

3 hari lalu

Masih Loyo, Nilai Tukar Rupiah Melemah ke Level Rp 16.210 per Dolar AS

Pada perdagangan Kamis, kurs rupiah ditutup melemah pada level Rp 16.187 per dolar AS.

Baca Selengkapnya

Semakin Turun, Surplus APBN Maret 2024 Hanya Rp 8,1 Triliun

3 hari lalu

Semakin Turun, Surplus APBN Maret 2024 Hanya Rp 8,1 Triliun

Sri Mulyani menilai kinerja APBN triwulan I ini masih cukup baik.

Baca Selengkapnya

Sri Mulyani: Anggaran Pemilu 2024 Belum Terbelanjakan Rp 12 Triliun

3 hari lalu

Sri Mulyani: Anggaran Pemilu 2024 Belum Terbelanjakan Rp 12 Triliun

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan masih ada Rp 12,3 triliun anggaran Pemilu 2024 yang belum terbelanjakan.

Baca Selengkapnya