Enam Bulan Konflik Rusia-Ukraina: Ekonomi Global dalam Bahaya
Reporter
Tempo.co
Editor
Sita Planasari
Selasa, 23 Agustus 2022 08:30 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Enam bulan sudah Rusia menginvasi Ukraina. Dampak dari perang ini tak hanya terasa bagi kedua negara, konsekuensinya bahkan menjadi ancaman yang dapat menghancurkan bagi ekonomi global.
Salah satu negara yang sudah merasakan dampak dari konflik ini adalah Jerman. Reza Khasbullah, mahasiswa Indonesia yang tengah menempuh studi di Jerman, menceritakan dampak meroketnya inflasi di negara itu terhadap kehidupan sehari-hari.
WNI asal Bandung yang sekarang tinggal di Munich itu mengatakan, efek inflasi tersebut sudah dirasakannya sejak tiga atau empat bulan lalu.
"Ada kenaikan harga-harga bahan pokok, kenaikan harga listrik hingga energi, dampaknya harga sewa rumah pun ikut naik juga," kata Reza kepada Tempo, Ahad, 21 Agustus 2022. "Belanja jadi terasa lebih mahal, belanja sehari-hari.”
Harga bahan pokok, menurut Reza, naik rata-rata sekitar 10 sampai 12 persen. Misalkan nasi biasanya 2 euro atau Rp29,8 ribu menjadi 2,10 euro atau Rp31,3 ribu.
Namun yang paling signifikan adalah minyak goreng, yang sempat naik hingga 300 persen. Biasanya, minyak goring dibanderol seharga 1 euro atau Rp14,9 ribu. Sejak konflik, harganya melonjak menjadi 3 sampai 4 euro atau Rp44,7 - Rp59,6 ribu.
"Penyebabnya ada kelangkaan (pasokan minyak goreng) waktu awal konflik Ukraina," tutur mahasiswa Teknik Elektro itu.
Inflasi di Jerman yang dipicu oleh krisis energi akibat invasi Rusia ke Ukraina, diprediksi akan terus meroket dalam beberapa waktu mendatang. Presiden Bank Sentral Jerman Joachim Nagel bahkan mengatakan angka rata-rata inflasi mungkin saja bisa sampai 10 persen pada musim gugur nanti.
Jerman yang sangat bergantung pada pasokan gas Rusia akan menghadapi lonjakan harga bahan bakar tersebut. Bahkan, gas mungkin tidak tersedia sama sekali jika Rusia benar-benar memotong pasokan ke Eropa untuk membalas sanksi Barat karena invasinya ke Ukraina. Atau, jika utilitas tidak dapat menyimpan cukup gas untuk musim dingin.
Jika ini terjadi, Jerman mungkin harus memberlakukan penjatahan gas yang dapat melumpuhkan industri dari pembuatan baja hingga obat-obatan hingga binatu komersial.
<!--more-->
Namun, kondisi ini tak hanya dirasakan ekonomi terkuat Eropa seperti Jerman.
Inggris, satu dari empat negara dengan ekonomi terkaya di benua Biru, juga menghadapi masalah. Angka yang dirilis pada 17 Agustus 2022 menunjukkan inflasi Inggris menembus 10,1 persen pada Juli 2022, atau tertinggi sejak Februari 1982.
Beberapa ekonom memperkirakan inflasi bisa mencapai 15 persen dalam tiga bulan pertama tahun depan menyusul melonjaknya biaya energi dan makanan.
Upah riil di Inggris turun 3 persen pada kuartal kedua 2022, menurut data ONS yang diterbitkan Selasa pekan lalu, penurunan paling tajam dalam catatan. Meskipun gaji rata-rata tidak termasuk bonus meningkat sebesar 4,7 persen, biaya hidup di Inggris jauh melampaui pertumbuhan upah dan menekan pendapatan rumah tangga.
Kondisi ini berdampak terhadap warga menengah ke bawah dan kelompok rentan. English Collective of Prostitutes, LSM yang berlokasi di London pada Sabtu lalu memperingatkan kalau kenaikan biaya hidup di Inggris bisa mendorong perempuan terjun ke industri seks. Beberapa perempuan bahkan terpaksa mencari laki-laki hidung belang di pinggir jalan.
Kepada Sky News, lembaga itu mengatakan telah melihat permohonan saluran bantuan di English Collective of Prostitutes mengalami kenaikan pada musim panas ini.
Juru bicara LSM itu, Niki Adams, mengatakan kenaikan harga makanan dan energi telah membuat perempuan terdorong ke lembah hitam prostitusi.
Adams menceritakan ada seorang perempuan yang datang padanya dalam kondisi kehilangan uang ratusan poundsterling saat program bantuan langsung tunai Inggris pindah ke sistem Universal Credit. Ini adalah program sosial dari Pemerintah Inggris, yang diakui London bisa membuat 900 ribu penerimanya terpuruk saat program ini benar-benar selesai.
“Dia (perempuan yang datang menemui Adams) mulai melakukan prostitusi pada sore di jalan-jalan, demi bisa membayar tagihan-tagihan,” kata Adams, yang menyebut perempuan itu hidup dengan empat anak di rumah.
Ancaman resesi akibat konflik Rusia-Ukraina dan masih berlanjutnya pandemi COVID-19, tak hanya menempatkan Eropa di ambang resesi.
<!--more-->
Pemerintah, bisnis, dan keluarga di seluruh dunia merasakan dampak ekonomi perang hanya dua tahun setelah pandemi virus corona merusak perdagangan global. Inflasi melonjak, dan biaya energi yang meroket telah meningkatkan prospek musim dingin yang dingin dan gelap.
Tingginya harga pangan dan kelangkaan, diperparah oleh penghentian pengiriman pupuk dan gandum dari Ukraina dan Rusia, dapat menghasilkan kelaparan dan kerusuhan yang meluas di negara berkembang.
Di luar ibu kota Uganda, Kampala, Rachel Gamisha mengatakan perang Rusia di Ukraina yang jauh telah merugikan bisnis grosirnya.
Dia telah merasakannya dalam lonjakan harga untuk kebutuhan seperti bensin. “Anda harus membatasi diri,” katanya. “Anda harus membeli beberapa barang yang bergerak cepat.”
Perang Rusia-Ukraina menyebabkan Dana Moneter Internasional (IMF) bulan lalu menurunkan prospek ekonomi global untuk keempat kalinya dalam waktu kurang dari setahun.
Lembaga pemberi pinjaman itu mengharapkan pertumbuhan 3,2 persen tahun ini, turun dari 4,9 persen yang diperkirakan pada Juli 2021 dan jauh di bawah 6,1 persen pada tahun lalu.
"Dunia mungkin akan segera tertatih-tatih di tepi resesi global, hanya dua tahun setelah yang terakhir," kata Pierre-Olivier Gourinchas, kepala ekonom IMF.
Program Pembangunan PBB mengatakan kenaikan harga pangan dan energi membuat 71 juta orang di seluruh dunia jatuh miskin dalam tiga bulan pertama perang.
Negara-negara di Balkan dan Afrika sub-Sahara paling terpukul. Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) memproyeksikan hingga 181 juta orang di 41 negara dapat menderita krisis kelaparan tahun ini.
Bahkan sebelum Presiden Rusia Vladimir Putin memerintahkan invasi ke Ukraina, ekonomi global sudah berada di bawah tekanan.
Inflasi meroket karena pemulihan pasca-pandemi terlalu kuat membuat pabrik, pelabuhan, dan galangan pengiriman kewalahan. Kondisi ini menyebabkan penundaan, kekurangan pasokan, dan harga yang lebih tinggi.
Sebagai tanggapan, bank sentral global mulai menaikkan suku bunga untuk mencoba mendinginkan pertumbuhan ekonomi dan menjinakkan lonjakan harga.
<!--more-->
China, mengejar kebijakan nol-COVID, memberlakukan penguncian yang telah sangat melemahkan ekonomi terbesar kedua di dunia itu.
Pada saat itu, banyak negara berkembang masih bergulat dengan pandemi dan hutang besar yang mereka ambil untuk melindungi populasi mereka dari bencana ekonomi.
Semua tantangan itu mungkin bisa diatasi. Namun, ketika Rusia menginvasi Ukraina pada 24 Februari, Barat menanggapi dengan sanksi ekonomi berat. Baik langkah China maupun sanksi Barat terhadap Rusia, mengganggu perdagangan pangan dan energy global.
Rusia adalah produsen minyak bumi terbesar ketiga di dunia dan pengekspor gas alam, pupuk, dan gandum terkemuka. Sementara pertanian di Ukraina memberi makan jutaan orang secara global. Inflasi yang dihasilkan telah menyebar ke dunia.
Rusia, sebagai pemicu perang, turut terdampak. IMF memprediksi ekonomi Negara Beruang Merah itu akan berkontraksi 6 persen tahun ini.
Sergey Aleksashenko, seorang ekonom Rusia yang sekarang tinggal di Amerika Serikat, mencatat bahwa penjualan ritel negara itu turun 10 persen pada kuartal kedua dibandingkan dengan tahun sebelumnya karena konsumen mengurangi belanja. “Mereka tidak punya uang untuk dibelanjakan,” katanya.
Baca juga: Cerita Mahasiswa RI di Tengah Badai Inflasi Jerman: Belanja dan Sewa Rumah Makin Mahal
SUMBER: DANIEL AHMAD (TEMPO) | SKY NEWS | RT | WHEC.COM