Darurat Cacar Monyet: Mencari Solusi Sebelum Semakin Meluas
Reporter
Tempo.co
Editor
Sita Planasari
Selasa, 26 Juli 2022 08:30 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Hanya dalam waktu dua bulan, wabah cacar monyet di negara-negara non-endemik telah menyebabkan lebih dari 16.000 kasus di 75 negara, dengan lebih dari dua pertiga dilaporkan di wilayah Eropa.
Pada 23 Juli 2022, Direktur Jenderal Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan bahwa wabah multinegara ini merupakan Darurat Kesehatan Masyarakat yang Menjadi Perhatian Internasional. Ini merupakan tingkat kewaspadaan tertinggi di bawah Peraturan Kesehatan Internasional.
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan wabah cacar monyet telah menyebar dengan sangat cepat dan dia memutuskan bahwa hal ini menjadi kekhawatiran dunia.
Penetapan darurat kesehatan global, menurut Tedros, akan membantu percepatan pengembangan vaksin serta berbagai penerapan langkah guna membatasi penyebaran virus.
WHO juga merilis sejumlah rekomendasi yang diharapkan dapat mendorong negara-negara untuk menghentikan penyebaran virus serta melindungi kalangan paling rentan. “Ini adalah wabah yang bisa dihentikan dengan strategi-strategi tepat dalam kelompok-kelompok yang tepat,” ujar Dr Tedros.
Penyakit cacar monyet disebabkan oleh virus cacar monyet, anggota genus Orthopoxvirus dalam famili Poxviridae, berdasarkan keterangan WHO. Cacar monyet adalah penyakit zoonosis (dapat ditularkan hewan ke manusia) yang terjadi terutama di daerah hutan hujan tropis Afrika tengah dan wilayah barat, serta kadang-kadang dibawa ke daerah lain.
Masa inkubasi atau interval dari infeksi hingga munculnya gejala cacar monyet biasanya antara enam hingga 13 hari, tetapi juga dapat berkisar antara lima hingga 21 hari.
Ada dua jenis virus utama, yang berasal dari Afrika barat dan Afrika tengah. Juru Bicara Kementerian Kesehatan RI dr. Mohammad Syahril, mengatakan cacar monyet bisa menular dari hewan ke hewan dan dari hewan ke manusia.
Namun, beberapa ilmuwan yang telah memantau banyak wabah di Afrika mengaku bingung dengan penyebaran penyakit ini di negara-negara maju. Kasus penyakit terkait cacar sebelumnya tidak pernah terlihat di antara orang-orang yang tidak memiliki hubungan dengan Afrika Tengah dan Barat.
Prancis, Jerman, Belgia dan Australia mengkonfirmasi kasus cacar monyet pertama mereka pada Mei. Beberapa hari kemudian, Inggris, Spanyol, Portugal, Italia, AS, Swedia, dan Kanada semuanya melaporkan infeksi, sebagian besar pada pria muda yang sebelumnya tidak pernah bepergian ke Afrika.
<!--more-->
“Saya tercengang dengan ini,” kata Oyewale Tomori, seorang ahli virus yang sebelumnya mengepalai Akademi Ilmu Pengetahuan Nigeria dan yang duduk di beberapa dewan penasihat WHO. “Setiap hari saya bangun dan ada lebih banyak negara yang terinfeksi cacar monyet,” kata Tomori.
"Ini bukan jenis penyebaran yang kita lihat di Afrika Barat, jadi mungkin ada sesuatu yang baru terjadi di Barat," katanya.
Wabah di Nigeria, yang melaporkan sekitar 3.000 kasus cacar monyet per tahun, biasanya di daerah pedesaan, di mana orang memiliki kontak dekat dengan tikus dan tupai yang terinfeksi, menurut Tomori. Dia mengatakan penyakit ini tidak menyebar dengan mudah dan banyak kasus yang mungkin terlewatkan.
Cacar monyet biasanya menyebabkan demam, menggigil, ruam dan luka di wajah atau alat kelamin. WHO memperkirakan penyakit ini berakibat fatal bagi sekitar satu dari 10 orang, tetapi vaksin cacar air bersifat protektif dan beberapa obat antivirus juga sedang dikembangkan.
Menurut Dr Tedros, kasus-kasus cacar monyet saat ini terkonsentrasi pada pria yang berhubungan dengan sesama jenis, khususnya mereka yang berhubungan seks dengan banyak orang. Karena itu, negara-negara perlu melakukan serangkaian langkah yang melindungi kesehatan mereka serta hak asasi dan martabat.
“Stigma dan diskriminasi bisa sama berbahayanya dengan virus apapun,“ tegasnya.
Para pejabat kesehatan sudah merekomendasikan agar kalangan yang berisiko tinggi terpapar cacar monyet—termasuk gay dan pria biseksual, serta sejumlah tenaga kesehatan—mendapat vaksin.
Francisco Silva adalah dokter umum di Lisbon, Portugal, yang juga bekerja di sebuah klinik kesehatan seksual di kota tersebut. Ia merupakan salah satu dokter yang dengan cepat mengidentifikasi pasien yang datang dengan penyakit cacar monyet.
"Pada awal Mei, saya memiliki beberapa pasien yang memiliki bisul. Kami menguji mereka untuk infeksi menular seksual tetapi semuanya kembali negatif, jadi kami tahu ada sesuatu yang salah.
<!--more-->
Laboratorium kami melaporkan kasus melalui platform online EpiPulse (dijalankan oleh Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Eropa) dan segera setelah itu kami menemukan bahwa kami memiliki kasus cacar monyet pertama kami".
Berkat pelaporan cepat dari kasus-kasus tidak biasa yang diidentifikasi di klinik kesehatan seksual di Portugal, Inggris, dan kemudian negara-negara Eropa lainnya, titik-titik itu dengan cepat terhubung dan dapat disimpulkan Eropa dan negara-negara lain non-endemik berhadapan dengan wabah cacar monyet yang signifikan, dalam skala yang belum pernah terlihat sebelumnya.
Christian Happi, direktur Pusat Keunggulan Afrika untuk Genomik Penyakit Menular, menduga mewabahnya cacar monyet di negara-negara Barat juga kemungkinan karena vaksinasi cacar telah dihentikan setelah berhasil diberantas pada 1980.
“Selain orang-orang di Afrika Barat dan Tengah yang mungkin memiliki kekebalan terhadap cacar monyet dari paparan masa lalu. Namun, tidak memiliki vaksinasi cacar berarti tidak ada yang memiliki kekebalan terhadap cacar monyet,” tutur Happi.
Indonesia yang hingga kini belum mencatatkan kasus cacar monyet, turut meningkatkan kewaspadaan. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada Senin 25 Juli 2022 mengaktifkan sistem surveilans di seluruh pintu masuk ke wilayah Indonesia guna mencegah persebaran penyakit cacar monyet.
"Sejak muncul monkeypox (cacar monyet) di beberapa negara, Kemenkes sudah melakukan surveilans aktif di semua pintu masuk negara, terutama di bandara dan pelabuhan laut," kata Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Maxi Rein Rondonuwu kepada ANTARA.
Dalam upaya surveilans, Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) memeriksa setiap pelaku perjalanan yang datang dari negara-negara dengan kasus penularan cacar monyet. Petugas KKP melakukan pemeriksaan suhu tubuh serta indikasi gejala cacar monyet pada pelaku perjalanan yang datang dari negara-negara dengan kasus penularan cacar monyet.
Ia mengatakan bahwa pemerintah juga melakukan surveilans pada kelompok yang tergolong rentan terserang cacar monyet, termasuk kelompok penyuka sesama jenis. "Kami akan melakukan surveilans ketat pada kelompok ini bekerja sama dengan beberapa organisasi maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM)," katanya.
Indonesia juga mengikuti petunjuk WHO untuk meningkatkan kesadaran akan faktor risiko penularan penyakit. Mengedukasi masyarakat tentang langkah-langkah pencegahan untuk menghindari cacar monyet dalam upaya mengurangi risiko penularan virus, juga menjadi solusi penting.
Baca juga: WHO Desak Asia Tenggara Perkuat Pengawasan Cacar Monyet dalam Populasi Berisiko
SUMBER: AL JAZEERA | ANTARA | RELIEFWEB