Menahan Gejolak Pelemahan Rupiah

Rabu, 6 Juli 2022 07:00 WIB

Karyawan bank mengitung uang 100 dolar amerika di Bank Mandiri Pusat, Jakarta, Selasa, 17 Maret 2020. Nilai tukar (kurs) rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Selasa, semakin tertekan dampak wabah COVID-19. Rupiah ditutup melemah 240 poin atau 1,61 persen menjadi Rp15.173 per dolar AS dari sebelumnya Rp14.933 per dolar AS. TEMPO/Tony Hartawan

TEMPO.CO, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat terus melemah. Mata uang garuda nyaris menyentuh level psikologis baru di posisi Rp 15 ribu pada perdagangan Selasa, 5 Juli 2022.

Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda, melihat ada berbagai penyebab rupiah bergerak loyo. Dari sisi eksternal, rencana kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat atau The Fed cenderung membuat investor kembali memburu mata uang dolar.

"Hal ini membuat permintaan dolar menguat. Akibatnya, nilai tukar rupiah jadi melemah," kata Nailul saat dihubungi pada Selasa, 5 Juli 2022.

Mata uang rupiah, seperti yang tertampil di aplikasi RTI, melemah bahkan menembus angka Rp 15.962 pada pukul 11.31 WIB, kemarin. Level itu menunjukkan ada penguatan dolar Amerika Serikat sebesar 40 poin atau 0,27 persen dari awal perdagangan hari ini. Rupiah pun sempat menyentuh Rp 15.922 hingga Rp 15.966.

Jika dilihat dari pergerakan sejak bulan lalu, hari ini dolar Amerika Serikat berada di level peningkatan paling tinggi terhadap rupiah. Pada awal Juni, rupiah berada di posisi Rp 14.454 terhadap dolar. Lalu pada pertengahan Juni, rupiah bertengger di posisi Rp 14.600-14.800. Dolar terus menguat sampai akhir Juni, bahkan awet hingga saat ini.

Advertising
Advertising

Aliran dana asing di Indonesia, kata Nailul, ramai-ramai terbang ke negara-negara maju dengan suku bunga acuan yang melonjak. Pada saat yang sama, investor masih menunggu The Fed untuk menaikkan suku bunga acuan. Walhasil dalam sepekan, saham domestik pun berdarah-darah.

Penyebab lainnya, Bank Indonesia masih menahan suku bunga acuannya. Pendorong inilah yang membuat pasar keuangan Indonesia kalah menarik.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira berpendapat pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat terjadi karena bayang-bayang sentimen negatif di pasar saham. Dia mencatat jual bersih dana asing menyentuh Rp 572 miliar di seluruh pasar pada penutupan perdagangan kemarin.

"Investor memang mencermati risiko kenaikan The Fed rate terhadap Indonesia sehingga melakukan penjualan aset berisiko tinggi," kata Bhima.

Bhima menuturkan data inflasi Juni yang cukup tinggi sejak 2017 menjadi kekhawatiran bagi investor terhadap adanya risiko stagflasi. Apalagi, BI masih belum mengerek suku bunga. "Tentu risk-nya naik di market," ucapnya.

Pada saat yang sama, cadang devisa diperkirakan bakal makin tertekan. Sebab, arus modal keluar tinggi, sedangkan kinerja ekspor komoditas mulai terkoreksi.

"Ditahannya suku bunga acuan membuat spread imbal hasil US Treasury dengan surat utang SBN semakin menyempit," ujar Bhima.

Ekonom Center of Reform on Economics (Core), Piter Abdullah, mengatakan pelemahan rupiah sudah diperkirakan seiring dengan semakin sempitnya spread suku bunga domestik dan suku bunga internasional. Keputusan BI menahan suku bunga acuan menghambat masuknya aliran modal asing atau malah mendorong modal asing keluar dari indonesia.

"Hal ini menjadi tekanan melemahkan rupiah," ujar Piter yang juga dihubungi hari ini.

Imbas Pelemahan Rupiah ke Perekonomian

Pelemahan nilai tukar rupiah ditengari bisa memicu kenaikan biaya impor. Beban utang luar negeri juga terancam meningkat.

<!--more-->

Bhima menyatakan pelemahan kurs bisa memicu imported inflation atau kenaikan biaya impor, terutama pangan. Walau, kata dia, sejauh ini imported inflation belum dirasakan karena produsen masih menahan harga di tingkat konsumen.

"Tapi ketika beban biaya impor sudah naik signifikan akibat selisih kurs maka imbasnya ke konsumen juga," ujar Bhima.

Imbas lainnya adalah beban utang luar negeri (ULN) sektor swasta meningkat karena pendapatan sebagian besar diperoleh dalam bentuk rupiah, sedangkan bunga dan cicilan pokok berbentuk valas. Situasi currency missmatch akan mendorong swasta melakukan berbagai cara salah, satunya menjalankan efisiensi operasional.

Bhima melihat tidak semua perusahaan swasta yang memiliki ULN melaksanakan hedging. Sedangkan menurut Piter, kalau pelemahan rupiah berkelanjutan, kondisi ini bakal berdampak negatif terhadap perekonomian Indonesia.

"Pelemahan rupiah bisa meningkatkan risiko investasi sekaligus menurunkan masuknya investasi asing ke indonesia," ujar Piter.

Pelemahan rupiah, kata dia, juga meningkatkan potensi inflasi di Indonesia. Menurutnya, inflasi Indonesia bisa meningkat lebih besar dan memangkas daya beli masyarakat.

"Ujungnya menahan konsumsi dan pertumbuhan ekonomi."

Ancang-ancang Kenaikan Suku Bunga Acuan

Keputusan Bank Indonesia menahan suku bunga acuan bulan lalu dianggap membuat pasar keuangan Tanah Air kalah menarik.

<!--more-->

Bhima memperkirakan rupiah secara psikologis berisiko melemah ke posisi Rp 15.500-16.000 dalam waktu dekat. Tekanan akan terus berlanjut, tergantung respons kebijakan moneter.

Dia pun mempertanyakan kapan BI akan terus menahan kenaikan suku bunga. "Apa masih mau tahan suku bunga sampai Agustus?"

Menurut Bhima, pelemahan kurs rupiah ini bakal mendorong percepatan kenaikan suku bunga acuan. BI, tutur dia, perlu menaikkan 25-50 bps suku bunga untuk menahan aliran modal keluar sebagai upaya untuk menjaga ketahanan nilai tukar.

"Tapi menaikkan suku bunga acuan berimbas kepada pelaku usaha korporasi, UMKM, maupun konsumen. Cicilan KPR dan kendaraan bermotor bisa lebih mahal," kata Bhima.

Nailul juga menekankan keputusan Bank Indonesia menahan suku bunga acuan bulan lalu membuat pasar keuangan Tanah Air kalah menarik. Karena itu dia, memperkirakan bulan ini BI akan menaikkan suku bunga acuan.

"Inflasi juga semakin meningkat, menjadikan tidak ada alasan BI untuk menahan suku bunga acuannya," ujar Nailul.

Sejalan dengan itu, Piter juga berpendapat pelemahan rupiah akan bergantung kepada sejauh mana kebijakan dan respons Bank Indonesia menyikapi kondisi ini. "Saya yakin BI akan menahan pelemahan rupiah dengan intervensi valas dan bahkan menaikkan suku bunga," ujar Piter.

Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan bank sentral terus menempuh berbagai langkah penguatan bauran kebijakan. Sedikitnya, ada lima langkah yang diambil oleh BI untuk menguatkan kebijakan tersebut.

Satu dari kelima langkah itu adalah memperkuat kebijakan nilai tukar rupiah untuk menjaga stabilisasinya di pasar spot. "Dan mendukung pengendalian inflasi dengan tetap memperhatikan bekerjanya mekanisme pasar dan nilai fundamentalnya," ujarnya, akhir Juni lalu.

Bank Indonesia menyatakan nilai tukar rupiah mengalami peningkatan tekanan sejalan dengan mata uang regional lainnya, seiring dengan meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global. BI mencatat nilai tukar terdepresiasi 1,93 persen (ptp) pada 22 Juni 2022 dibandingkan akhir Mei 2022.

"Depresiasi tersebut sejalan dengan meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global akibat pengetatan kebijakan moneter yang lebih agresif di berbagai negara untuk merespons peningkatan tekanan inflasi dan kekhawatiran perlambatan ekonomi global," kata Perry.

Baca juga: Bank Indonesia Ungkap Situasi Global yang Sangat Rentan Bayangi Ekonomi RI

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini

Berita terkait

BI: Inflasi di Jawa Tengah Turun setelah Idul Fitri, Berapa?

1 hari lalu

BI: Inflasi di Jawa Tengah Turun setelah Idul Fitri, Berapa?

Daerah dengan catatan inflasi terendah di Jawa Tengah adalah Kabupaten Rembang yaitu 0,02 persen.

Baca Selengkapnya

Rupiah Menguat di Akhir Pekan, Sentuh Level Rp 16.083 per Dolar AS

2 hari lalu

Rupiah Menguat di Akhir Pekan, Sentuh Level Rp 16.083 per Dolar AS

Nilai tukar rupiah ditutup menguat Rp 16.083 terhadap dolar AS pada perdagangan Jumat, 3 Mei.

Baca Selengkapnya

LPEM UI Sebut Tiga Sumber Inflasi, Rupiah sampai Konflik Iran-Israel

2 hari lalu

LPEM UI Sebut Tiga Sumber Inflasi, Rupiah sampai Konflik Iran-Israel

Inflasi April 2024 sebesar 3 persen secara year on year.

Baca Selengkapnya

Tak Hanya Naikkan BI Rate, BI Rilis 5 Kebijakan Moneter Ini untuk Jaga Stabilitas Rupiah

2 hari lalu

Tak Hanya Naikkan BI Rate, BI Rilis 5 Kebijakan Moneter Ini untuk Jaga Stabilitas Rupiah

Gubernur BI Perry Warjiyo membeberkan lima aksi BI untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah di tengah ketidakpastian pasar keuangan global.

Baca Selengkapnya

Bos BI Yakin Rupiah Terus Menguat hingga Rp 15.800 per Dolar AS, Ini 4 Alasannya

2 hari lalu

Bos BI Yakin Rupiah Terus Menguat hingga Rp 15.800 per Dolar AS, Ini 4 Alasannya

Gubernur BI Perry Warjiyo yakin nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan menguat sampai akhir tahun ke level Rp 15.800 per dolar AS.

Baca Selengkapnya

Sri Mulyani: Meski Kurs Rupiah Melemah, Masih Lebih Baik dibanding Baht dan Ringgit

2 hari lalu

Sri Mulyani: Meski Kurs Rupiah Melemah, Masih Lebih Baik dibanding Baht dan Ringgit

Menkeu Sri Mulyani mengatakan, nilai tukar rupiah pada triwulan I 2024 mengalami depresiasi 2,89 persen ytd sampai 28 Maret 2024.

Baca Selengkapnya

Sri Mulyani Sebut Pertumbuhan Ekonomi Global Bakal Stagnan di 3,2 Persen, Bagaimana Dampaknya ke RI?

2 hari lalu

Sri Mulyani Sebut Pertumbuhan Ekonomi Global Bakal Stagnan di 3,2 Persen, Bagaimana Dampaknya ke RI?

Sri Mulyani menyebut perkiraan pertumbuhan ekonomi global pada tahun ini bakal relatif stagnan dengan berbagai risiko dan tantangan yang berkembang.

Baca Selengkapnya

Inflasi April Hanya 0,25 Persen, BI Ungkap Pemicunya

2 hari lalu

Inflasi April Hanya 0,25 Persen, BI Ungkap Pemicunya

BI menyebut inflasi IHK pada April 2024 tetap terjaga dalam kisaran sasaran 2,51 persen, yakni 0,25 persen mtm.

Baca Selengkapnya

Rupiah Menguat di Angka Rp 16.088

3 hari lalu

Rupiah Menguat di Angka Rp 16.088

Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat di angka Rp 16.088 pada perdagangan akhir pekan ini.

Baca Selengkapnya

Sektor Manufaktur Masih Ekspansif dan Inflasi Terkendali

3 hari lalu

Sektor Manufaktur Masih Ekspansif dan Inflasi Terkendali

Sektor manufaktur tunjukan tren kinerja ekspansif seiring Ramadhan dan Idul Fitri 2024. Sementara itu, inflasi masih terkendali.

Baca Selengkapnya