PR Pemprov DKI, Atasi Kualitas Udara Jakarta yang Buruk
Reporter
Moh. Khory Alfarizi
Editor
Ahmad Faiz Ibnu Sani
Jumat, 24 Juni 2022 08:51 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Kualitas udara Jakarta memburuk sejak pekan lalu. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat sejak 15 Juni 2022, konsentrasi PM2,5 mengalami peningkatan dan mencapai puncaknya pada level 148 mikrogram per meter kubik dengan kategori tidak sehat.
Kualitas udara Jakarta dan sekitarnya yang memburuk disebabkan oleh kombinasi antara sumber emisi dan faktor meteorologi yang menyebabkan terakumulasinya konsentrasi PM2,5, salah satu polutan udara dalam wujud partikel dengan ukuran yang sangat kecil, yaitu tidak lebih dari 2,5 mikrometer.
Dengan ukurannya yang sangat kecil ini, PM2,5 dapat dengan mudah masuk ke dalam sistem pernapasan dan dapat menyebabkan gangguan infeksi saluran pernapasan serta gangguan pada paru-paru dalam jangka waktu yang panjang.
Selain itu, PM2.5 dapat menembus jaringan peredaran darah dan terbawa oleh darah ke seluruh tubuh yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan kardiovaskular seperti penyakit jantung koroner.
Udara DKI sempat terburuk di dunia
IQ Air menempatkan Jakarta pada posisi pertama sebagai kota dengan kualitas udara terburuk di dunia pada Rabu pukul 11.00 WIB, 15 Juni 2022. Adapun kategori kualitas udara tidak sehat berada pada rentang indeks 151 hingga 200 berdasarkan IQ Air.
Sedangkan konsentrasi polutan Partikulat Matter (PM) 2,5 tercatat mencapai 25,4 kali di atas standar Badan Kesehatan Dunia (WHO) sehingga membuat kualitas udara di Jakarta tergolong tidak sehat.
Dengan kualitas udara itu, IQ Air hingga pukul 12.00 WIB menempatkan Jakarta di posisi pertama kota terpolusi kemudian disusul Dubai di Uni Emirat Arab dengan indeks mencapai 160 dan di posisi ketiga diisi Kota Santiago di Chile mencapai indeks 158.
Selanjutnya: Kualitas uUdara Jakarta paling buruk bukan yang pertama kali
<!--more-->
Kualitas udara tidak sehat di Jakarta bukan yang pertama kali. IQ Air juga mencatat data kualitas udara Jakarta pada 2017 mengalami peningkatan dengan rata-rata mencapai 29,7 mikrogram per meter kubik (m3).
Kemudian pada 2018 berlipat ganda menjadi rata-rata 45,3 mikrogram per meter kubik dan pada 2019 kembali naik menjadi 49,4 mikrogram per meter kubik. Kualitas udara di Jakarta rata-rata pada 2020 kemudian menurun menjadi 39,6 mikrogram per meter kubik seiring pembatasan kegiatan masyarakat karena pandemi COVID-19.
Sumber polusi udara DKI dan solusi
Ricky Amukti, manajer di lembaga analisis kebijakan yang berfokus pada isu transisi menuju energi bersih terbarukan, Traction Energy Asia, membeberkan tiga sumber utama polusi udara di DKI Jakarta, yakni transportasi, pembangkit listrik, dan sampah. Menurutnya, sumber polusi udara yang terbesar berasal dari transportasi, angkanya 50 persen.
“Kemudian dari pembangkit listrik tenaga uap di Jawa Barat dan Banten 30 persen, dan sisanya berasal dari sampah,” ujar dia pada 7 Oktober tahun lalu.
Menurut Ricky, berdasarkan data, ada sekitar 16 juta unit sepeda motor, dan 3,6 juta unit mobil yang melintasi wilayah Jakarta, termasuk dari Banten dan Jawa Barat, ditambah lagi dengan transportasi umum. Kendaraan itu mengeluarkan emisi gas, dan membutuhkan banyak bahan bakar minyak, serta memunculkan polusi udara.
Ricky memberikan grand design yang bisa dilakukan pemerintah setempat. Dia mengusulkan bahan bakarnya bisa dipilih dengan lebih ramah lingkungan seperti bertenaga listrik. “Kendaraan listrik ini lebih ke rencana jangka panjang, atau menggunakan bahan bakar yang lebih variatif, tidak hanya mengambil dari fosil, minyak kelapa sawit, bisa diganti dengan tebu misalnya,” tutur Ricky.
Selain itu, kata dia, bisa memanfaatkan minyak jelantah yang bisa menjadi peluang untuk stok biodiesel. Jakarta memiliki kemungkinan 12 juta liter per tahun untuk minyak jelantah yang berasal dari limbah rumah tangga dan usaha mikro kecil (UMKM), belum dihitung yang berasal dari industri dan restoran. “Menurut kajian Royal Academy Engineering, emisi minyak jelantah lebih rendah sekitar 80-90 persen daripada yang digunakan sekarang,” katanya.
Sedangkan untuk listrik, Jakarta bisa menggunakan pembangkit listrik tenaga surya atap (PLTS Atap). Menurut Ricky, PLTS Atap sangat mungkin digunakan karena modular dan akan lebih aplikatif jika dimanfaatkan di Jakarta, karena bisa diterapkan di gedung-gedung tinggi. “Satu megawatt panel surya itu bisa mengurangi efek emisi rumah kaca sebanyak 1.226 CO per tahun,” ujar Ricky.
“Sebenarnya di Jakarta cukup hanya 20 persen saja PLTS Atap bisa mengurangi polusi udara.
Selanjutnya: Kritikan BEM UI
<!--more-->
BEM UI kawal masalah polusi udara di DKI
Koordinator Bidang Sosial Lingkungan BEM UI Amira Widya Damayanti menyatakan, pihaknya berkomitmen mengawal permasalahan polusi udara di DKI Jakarta. Dia menilai UI sebagai kampus yang berada di sekitar Ibu Kota memiliki kewajiban untuk turut berperan menanggulangi permasalahan itu.
BEM UI, kata dia, merupakan bagian dari civitas yang UI bertanggung jawab secara moral untuk menaruh perhatian terhadap permasalahan polusi udara Jakarta yang kian hari semakin mengkhawatirkan. Amira berharap Pemprov DKI mempertimbangkan rekomendasi DLH BEM UI menjadi bagian dari rumusan kebijakan pada masa mendatang. "Diharapkan dapat menjadi pertimbangan Pemprov DKI Jakarta dalam perumusan kebijakan ke depannya," kata Amira.
Pada kesempatan itu, DLH BEM UI merilis infografis berjudul “Di Balik Hajatan Warga Ibu Kota: Terdapat Permasalahan Udara yang Belum Pantas Untuk Disyukuri” bertepatan dengan peringatan HUT ke-495 DKI Jakarta pada Rabu.
Salah satu Tim Kajian dan Advokasi Lingkungan Departemen Lingkungan Hidup Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (DLH BEM UI) Panji Raharjo mengatakan ada tiga penyebab utama permasalahan udara di Ibu Kota.
Tiga penyebab itu, yakni kemacetan lalu lintas, penggunaan energi tidak terbarukan yang dominan, dan persampahan. “Untuk mengatasi itu, DLH BEM UI merekomendasikan kebijakan strategis dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mengatasi tiga akar penyebab tersebut,” tutur Panji.
Pertama, masalah kemacetan yang dapat ditangani dengan mempertegas peraturan pembatasan penggunaan kendaraan berbahan bakar fosil. Dan meningkatkan kualitas layanan umum untuk menerapkan sistem "pull and push" dan mendorong elektrifikasi kendaraan bermotor sebagai mode transportasi yang lebih ramah lingkungan.
Kedua, penggunaan energi tidak terbarukan yang dominan dapat ditangani dengan mengakselerasi penyusunan peraturan pelaksanaan yang mendukung pengembangan energi baru terbarukan (EBT). Hal itu bisa dilakukan melalui Rencana Umum Energi Daerah (RUED) Provinsi DKI Jakarta.
“Kegiatan tersebut bisa melibatkan masyarakat dalam pengembangan dan penerapan EBT. Serta mengintensifkan riset dan pengembangan yang dapat mendukung progres lokalisasi EBT,” ujar Panji.
Ketiga, masalahan sampah dapat ditangani dengan menerapkan konsep "circular economy" untuk mengurangi timbulan sampah. Juga meningkatkan tingkat daur ulang serta meningkatkan kapasitas penyediaan Unit Pengelolaan Sampah (UPS) yang lebih merata.
“Dan mengkaji potensi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) serta meningkatkan edukasi terhadap masyarakat sekitar mengenai pemilahan sampah dan food waste,” katanya.
Selanjutnya: Sikap Pemprov DKI Jakarta
<!--more-->
Wagub DKI Riza Patria: polusi udara jadi perhatian kita
Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria menanggapi kabar bahwa udara Jakarta terburuk di dunia menurut situs web kualitas udara IQ Air. Data IQ Air mencatat indeks kualitas udara di Ibu Kota masuk kategori tidak sehat pada Rabu, 15 Juni 2022.
“Itu akan kami cek kembali informasi. Tentu ini menjadi perhatian, kami akan melakukan evaluasi dan mengatasi masalah ini, memang Jakarta ini cukup padat,” ujar dia di Balai Kota DKI, Jakarta Pusat, Kamis, 16 Juni 2022.
Menurut Riza, saat ini pengguna kendaraan bermotor kembali normal, dan tentu bisa meningkatkan polusi udara.
Selain itu, Riza juga mengatakan bahwa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memiliki program untuk mengurangi polusi udara, salah satunya Langit Biru.
Namun, semuanya perlu waktu, dan akan tetap dilaksanakan.
Menurut politikus Partai Gerindra itu, pemerintah memiliki program lainnya yang juga harus dilaksanakan, seperti program banjir, transportasi, taman, termasuk untuk mengurangi polusi udara.
“Semua program, ada juga kepastian pangan dan sebagainya. Penanganan covid semua akan kami laksakanakan, tapi itu perlu waktu proses,” tutur Riza.
Riza Patria mengatakan bahwa masalah polusi udara menjadi salah satu pekerjaan rumah bagi pemerintah di DKI Jakarta. Salah satu yang dilakukan Pemprov DKI, kata dia, adalah adanya pembangunan infrastruktur transportasi yang pertumbuhannya sangat baik. Sama dengan program pengendalian banjir.
"Begitu juga tentang polusi udara ada program langit biru itu memang tidak mudah, perlu waktu. Tidak bisa sepihak, perlu ada perlu ada pengurangan kendaraan, uji emisi dan sebagainya kemudian peningkatan ruang terbuka hijau," tutur dia,
Menurut Riza, tindak lanjut yang dilakukan Pemprov sudah banyak untuk penanganan polusi udara. Mulai dari penyiapan alat, sumber daya manusia, dan berbagai penambahan RTH juga meningkat.
Hal itu, Riza melanjutkan, bisa dilihat dari anggaran-anggaran yang dibelanjakan berapa persen untuk transportasi dan banjir, berapa persen program langit biru. Memang, dia berujar, tidak bisa diselesiakan secara cepat semua perlu waktu, karena punya keterbatasan.
"Bayangkan DKI yang punya anggaran luar biasa saja memerlukan waktu yang tidak sebentar. Apalagi saudara kita yang di daerah, lebih berat lagi mengatasi tantangan masalah ancaman yang ada," kata Wagub DKI Riza Patria.
Selanjutnya: warga diimbau pakai masker
<!--more-->
Udara buruk, DLH DKI imbau warga pakai masker
Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta mengimbau warga Ibu Kota menggunakan masker khususnya ketika berada di luar ruangan atau rumah. Hal ini untuk mengantisipasi kualitas udara Jakarta yang beberapa hari terakhir ini memburuk dan tidak sehat.
"Kalaupun harus keluar rumah gunakan selalu masker karena kualitas udara Jakarta sedang kurang bagus," kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta, Asep Kuswanto di Jakarta, Rabu, 22 Juni 2022 dikutip dari Antara.
Tak hanya itu, Asep Kuswanto meminta warga untuk melalukan uji emisi kendaraan enam bulan sekali. Berdasarkan data laman Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, jumlah kendaraan yang sudah melakukan uji emisi selama 2022 mencapai 155 ribu kendaraan.
Selain itu, ia mengimbau masyarakat menggunakan bahan bakar ramah lingkungan. Selama ini, sumber polusi udara di Jakarta akibat emisi bergerak dan tidak bergerak.
Asep menjelaskan emisi bergerak adalah emisi yang dikeluarkan kendaraan bermotor dan emisi tak bergerak sumbernya dari industri dan konstruksi bangunan. Ia mengajak warga Ibu Kota untuk beralih menggunakan kendaraan umum atau transportasi massal agar kualitas udara Jakarta membaik.
"Jakarta sendiri sumber emisi terbanyak itu ada di emisi bergerak sampai 75 persen sehingga memang kami mengimbau kepada seluruh warga untuk mengurangi membawa kendaraan pribadi tetapi menggunakan transportasi umum," katanya.
Baca juga: Sama Seperti Banjir, Penanganan Polusi Udara Jakarta Harus Jadi Prioritas
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.