Lontang-lantung Menanti Pesangon Setelah Merpati Pailit
Reporter
Riani Sanusi Putri
Editor
Francisca Christy Rosana
Kamis, 9 Juni 2022 07:00 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Gamang delapan tahun menanti kejelasan, Paguyuban Pilot Eks Merpati (PPEM) memilih berserah mengikuti putusan pengadilan atas pembayaran sisa pesangon mereka. Keputusan Pengadilan Negeri Surabaya untuk mencabut perjanjian homologasi PT Merpati Nusantara atau Merpati Air membuat arah pembayaran sisa pesangon para mantan karyawannya makin abu-abu.
"Sampai saat ini belum ada gambaran sama sekali apakah akan dilunasi atau tidak. Undangan diskusi pun tidak ada. Tapi kami akan ikuti saja putusan pengadilan," ujar Anthony Ajawaila, Ketua PPEM saat dihubungi Tempo, Rabu, 8 Juni 2022.
Dibatalkannya perjanjian homologasi Merpati Air pada 2 Juni 2022 praktis membuat perusahaan maskapai pelat merah itu pailit. Kewajiban Merpati kepada pihak ketiga, termasuk pesangon kepada eks-karyawan, akan diselesaikan dari penjualan seluruh aset perusahaan melalui mekanisme lelang sesuai dengan penetapan pengadilan.
Adapun maskapai ekor kuning tercatat memiliki kewajiban sebesar Rp 10,9 triliun dengan ekuitas negatif Rp 1,9 triliun per laporan audit 2020. Anthony bercerita para eks karyawan Merpati terkatung-katung menunggu pencairan pesangon.
Setelah Merpati bangkrut dan mereka tak lagi bekerja, para eks karyawan berakrobat untuk bertahan hidup. Banyak di antaranya yang mengalami kesulitan ekonomi lantaran masih menganggur hingga bercerai karena desakan kebutuhan. Ada kepala keluarga yang tak mampu membayar uang sekolah anaknya, menurut Anthony.
Tidak sedikit pula para eks karyawan perusahaan yang kini banting setir bekerja serabutan, menjadi tukang bangunan, ojek, hingga petani. Bahkan, ada beberapa orang yang sakit parah dan meninggal dalam penantian.
Anthony mengatakan hanya janji Erick Thohir lah yang kini bisa menjadi pegangannya. Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di depan DPR pernah mengatakan tak akan menzalimi para karyawan Merpati Air yang sudah lontang-lantung sejak lama.
"Pegangan kami adalah janji Pak Menteri BUMN. Dia bilang pembubaran Merpati agar tidak zalim pada kami. Maka, harus menjaga omongannya dengan membayar apa yang menjadi hak kami," tutur Anthony.
<!--more-->
Sebelumnya, Erick mengatakan Merpati Air memang termasuk tujuh perusahaan BUMN yang akan dibubarkan. "Kan daripada kita zalim terhadap pekerja yang terkatung-katung, nah lebih baik diselesaikan," ujarnya setelah rapat kerja bersama DPR, 7 Juni 2022.
Kala itu Erick menjelaskan masih ada aset-aset yang Merpati Air yang dapat dimanfaatkan. Misalnya, fasilitas maintenance. Menurut dia, aset itu bisa dialihkan ke maskapai BUMN lain, seperti Garuda Indonesia atau Pelita Air. Proses sinergi aset itu sudah ditugaskan kepada PT Danareksa (Persero) dan PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA).
Kuasa hukum Tim Advokasi PPEM, David Sitorus, mempertanyakan hasil penjualan dan pemanfaatan aset Merpati. Dia ragu hasil penjualan aset itu diutamakan untuk pelunasan pesangon para eks karyawan.
"Utang Merpati kan ada banyak, apakah aset-aset Merpati itu cukup tidak untuk membayarkan hak-hak karyawan?" kata David.
David berujar sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi, masalah pesangon harus menjadi prioritas utama yang harus dibayarkan perusahaan. Sebab, pesangon bukan termasuk utang bisnis atau pinjaman kepada pihak ketiga melainkan kewajiban utama perusahaan.
"Ditambah Erick bilang langkah penutupan Merpati adalah penjualan aset dan diutamakan untuk membayarkan hak pesangon karyawan sebagai prioritas utama. Apakah itu akan dijalankan oleh kurator atau tidak?" ujarnya.
Dia pun berpendapat pemerintah tidak bisa hanya berpegang pada Undang-undang Kepailitan. Musababnya, ada undang-undang lain yang tidak bisa diabaikan, seperti Undang-undang Dasar (UUD) 1945 pasal 28 D ayat 1 angka 2 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
"Jika ini dimasukan hanya pada undang-undang kepailitan, tidak serta merta juga bisa menyelesaikan urusan klien kami," ucapnya.
<!--more-->
Lalu, kata David, Kementerian BUMN perlu juga melihat UUD pasal 27 ayat 2 yang menyatakan tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dia juga menyoroti Pasal 29 ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi keluarga martabat.
David berujar pekerjaan dan penghidupan yang layak merupakan hak asasi manusia yang dinyatakan dalam pasal 71 Undang-undang Hak Asasi Manusia. Termaktub di dalamnya, pemerintahan wajib memenuhi hak asasi manusia tersebut.
Menurut dia, pemerintah seharusnya segera membuat skema pembayaran atau mengeluarkan dana talangan terlebih dulu untuk membayarkan pesangon para eks karyawan. Sebab, seluruh aset Merpati itu ada di tangan pemerintah atau Kementerian BUMN. Adapun kini total tunggakan pembayaran pesangong kepada eks karyawan mencapai Rp 318 miliar.
"Kalau negara tidak dapat melindungi hak asasi manusia para karyawan karyawan Merpati, negara telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia," kata dia.
Pengamat penerbangan dari Jaringan Penerbangan Indonesia, Gerry Soejatman, berpendapat aset-aset yang dimiliki oleh Merpati Air tidak akan menutupi utang dan kewajibannya terhadap para eks karyawan. "Namun dengan dipailitkan, paling tidak kewajiban tersebut bisa diselesaikan," ujar Gerry.
Menurut Gerry, sebaiknya unit-unit usaha Merpati yang tersisa dan masih berjalan, seperti Merpati Training Center, Merpati Pilot School, dan Merpati Maintenance Facility diperjelas statusnya. Jika ingin melakukan pengalihan aset, Kementerian BUMN perlu mendata aset apa saja yang dapat dimanfaatkan.
"Terlebih Garuda lagi sekarat dalam restructuring jangan malah dibebankan dengan pemanfaatan aset Merpati," ucap Gerry.
Ia melanjutkan, sebelum berfokus pada aset, Kementerian BUMN perlu mempertimbangkan kejelasan pesangon eks karyawan Merpati Air. Sehingga, hak-hak para eks karyawan dapat dilindungi.
<!--more-->
Staf khusus Menteri BUMN, Arya Sinulingga, mengakui saat ini Merpati menghadapi masalah pembayaran sisa pesangon karyawan. Ia mengatakan proses penyelesaian tersebut akan mengikuti perjanjian awal antara perusahaan dan pegawai.
“Dulu ada perjanjian, mereka dibayar kalau ada investor masuk. Jadi mengenai karyawan, kami hanya mengikuti apa yang dulu diputuskan bersama,” katanya.
Arya berharap proses pembubaran BUMN akan selesai tahun ini. Dengan demikian, Kementerian dapat berfokus untuk menyehatkan perusahaan-perusahaan pelat merah yang masih eksis sehingga kinerjanya terdorong dan mencetak laba.
Baca juga: Erick Thohir Bakal Bubarkan Merpati Air, Bagaimana Nasib Pesangon Karyawan?
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini