Beda Nasib Laporan Luhut dan Haris Azhar di Polda Metro Jaya
Reporter
Tempo.co
Editor
Ahmad Faiz Ibnu Sani
Jumat, 25 Maret 2022 20:00 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Mewakili Haris Azhar dan Koalisi Masyarakat Sipil, Nelson Nikodemus Simamora keluar dari gedung Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya dengan kecewa. Berjam-jam ia berdebat dengan aparat, tetapi polisi berkesimpulan menolak laporannya tentang dugaan gratifikasi dalam bisnis tambang di Papua yang menyeret nama Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
“Dalilnya, kan, orang yang mengetahui suatu tindak pidana menjadi kewajiban hukum dia untuk melaporkan dugaan tindak pidana tersebut. Tetapi yang terjadi kami tidak diperbolehkan untuk membuat laporan,” katanya Rabu, 23 Maret 2022.
Koalisi Masyarakat Sipil dan Direktur Lokataru, Haris Azhar, menduga Luhut terlibat dalam permainan bisnis tambang di Intan Jaya, Papua. Hal ini pula yang membuat Polda Metro Jaya menetapkan Haris Azhar sebagai tersangka pencemaran nama baik usai dilaporkan oleh Luhut.
Melalui kanal YouTube-nya, Haris Azhar bersama Koordinator KontraS, Fatia Maluidiyanti, mengunggah video dengan judul “Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya Jendaral BIN Juga Ada ” pada 20 Agustus 2021. Dalam video itu disebutkan ada permainan penguasaan tambang yang sebelumnya diungkap dalam laporan bertajuk “Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya”.
Laporan itu diluncurkan YLBHI, WALHI Eksekutif Nasional, Pusaka Bentala Rakyat, WALHI Papua, LBH Papua, KontraS, JATAM, Greenpeace Indonesia, Trend Asia, dan gerakan #BersihkanIndonesia. Berdasarkan laporan yang dikemukakan tersebut, ada empat perusahaan yang teridentifikasi menguasai konsesi lahan tambang di Blok Wabu. Satu di antaranya adalah PT Madinah Qurrata’Ain (PTMQ) yang diduga terhubung dengan Toba Sejahtra Group.
Laporan tersebut menyatakan Luhut masih memiliki saham di perusahaan Toba Sejahtra Group. Toba Sejahtra Group melalui anak usahanya, PT Tobacom Del Mandiri, disinyalir mengempit sebagian saham PTMQ. West Wits Mining sebagai pemegang saham PTMQ membagi saham kepada Tobacom dalam proyek Derewo River Gold Project.
Haris Azhar Klaim Kantongi Bukti Benturan Kepentingan Luhut di Blok Tambang Papua
Kepada Tempo, Haris mengatakan jika pihaknya memiliki bukti keterlibatan Luhut sebagai beneficial owner atau BO di lahan tambang Blok Wabu, Papua. “Kami punya bukti baru tentang praktik perusahaan West Wits Mining. Dokumen yang kami bawa, LBP (Luhut) sebagai beneficial owner dari praktik perusahaan tersebut,” ujar dia di kantornya, Jakarta Timur, Rabu, 23 Maret 2022.
Haris berujar bukti-bukti itu menunjukkan ada benturan kepentingan Luhut sebagai pejabat dengan posisinya di perusahaan yang mengelola bisnis pertambangan. Sebagai pejabat publik, secara etik Luhut tidak boleh terlibat dalam praktik bisnis yang bersinggungan dengan area kekuasaannya—menurut Haris. “Kan tidak boleh. Terutama ketika dia menjadi Pelaksana tugas Menteri ESDM. Dia sekarang juga Menko Marves,” ucap Haris.
Selanjutnya: Tanggapan Luhut
<!--more-->
Tanggapan Luhut
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan melalui juru bicaranya, Jodi Mahardi, mengatakan jika bosnya siap buka-bukaan soal dugaan gratifikasi di pengadilan Haris Azhar nanti. “Kami siap kok buka-bukaan ke publik,” ujar Jodi saat dihubungi melalui pesan pendek, Rabu, 23 Maret 2022.
Jodi memastikan Luhut tak khawatir dengan langkah hukum yang ditempuh Haris. Sebab, kata dia, Luhut tak memiliki bisnis apa pun di area blok tambang di Bumu Cenderawasih. “Yang harusnya khawatir itu yang buat kajian cepat,” kata Jodi.
Alih-alih khawatir, Luhut mempertanyakan metode kajian cepat yang dikantongi oleh sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang menampilkan adanya keterlibatan dirinya dalam rantai bisnis skala jumbo ini. “Metodologi kajian cepat itu gimana sih? Apa enggak harus cross check sama orang yang ditarget oleh laporan tersebut?” ucap Jodi.
Polisi Bantah Disebut Tolak Laporan
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Komisaris Besar Auliansyah Lubis menampik pihaknya disebut menolak laporan Haris Azhar dan koalisi masyarakat sipil. Menurut dia, dugaan tindak pidana korupsi tidak bisa diadukan lewat laporan polisi atau LP, tapi bentuknya adalah pengaduan atau laporan informasi.
Berdasarkan KUHAP, kata Auliansyah, pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikan.
"Berbeda dengan laporan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwewenang telah tahu atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana," kata Auliansyah.
Masih mengacu pada KUHAP, dia mengatakan bahwa petunjuk dan arahan Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri, penanganan tindak pidana korupsi oleh Polri melalui tiga tahap. Yaitu ada tahap pengaduan masyarakat, penyelidikan dan penyidikan. "Kami kira mekanisme pengaduan ini berlaku di instansi penegak hukum lainnya, misalnya di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)," ujar Auliansyah.
Selanjutnya: Pakar Anggap Polisi Lakukan Kesalahan
<!--more-->
Para Pakar Anggap Polisi Melakukan Kesalahan
Pengajar hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda, mengatakan Pasal 108 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyatakan setiap orang yang melihat, menyaksikan, mengalami, dan menjadi korban berhak melaporkan dugaan tindak pidana. Menurut dia, sikap polisi yang menolak laporan Haris dkk karena merasa penyelidikan gratifikasi tidak bisa dilakukan berdasarkan laporan masyarakat tidak valid. “Salah kalau alasan polisi begitu,” kata dia pada Koran Tempo.
Chairul menuturkan polisi bisa menolak laporan gratifikasi jika subyeknya adalah perusahaan atau pihak lain yang bukan penyelenggara negara. Sementara Luhut merupakan bagian dari penyelenggara negara karena dia berstatus Menko Marves.
Senada dengan Chairul, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai polisi melakukan kesalahan besar karena menolak laporan koalisi masyarakat sipil dan Haris Azhar terhadap Luhut. Sebagai aparat hukum, kata dia, polisi dilarang untuk menolak laporan masyarakat.
"Karena dalam mekanisme hukum acara pidana, polisi sebagai penegak hukum dilarang nenolak laporan masyarakat karena ada mekanisme yang diatur dalam KUHAP yaitu melalui penghentian penyidikan (SP3), yaitu dihentikan karena kurang bukti atau perkara atau laporan itu bukan perkara pidana," ujar Fickar saat dihubungi pada Kamis, 24 Maret 2022.
Fickar menuturkan bahwa semestinya polisi mengerti akan hal ini. Dengan penolakan terhadap laporan dari Direktur Lokataru itu, polisi sudah masuk ke ranah politis. "Menolak sekalipun sebuah laporan harus melalui mekanisme hukum. Tidak boleh asal ditolak,” tuturnya.
Menurut Fickar, polisi seharusnya tidak menolak laporan Haris Azhar karena pentingnya kasus bisnis tambang di Papua yang diduga melibatkan Luhut. Kasus ini juga membuat pejuang HAM, Haris Azhar dan Fatia Maulidiyati menjadi tersangka atas hasil risetnya. "Tanya ke polisi, menurut saya polisi tidak boleh menolak. Karena tercantum pada KUHAP SP3 itu pasal 109 ayat 2," katanya.
EKA YUDHA | HAMDAN ISMAIL | FRANCISCA CHRISTY ROSANA
Baca juga: Haris Azhar dan Fatia Jadi Tersangka, Begini Perjalanan Kasusnya Melawan Luhut