Logika Main Paksa Peserta BPJS Kesehatan dengan Hak Publik
Reporter
Francisca Christy Rosana
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Rabu, 23 Februari 2022 19:58 WIB
TEMPO.CO, Jakarta – Kebijakan Presiden Joko Widodo alias Jokowi mewajibkan masyarakat menjadi anggota BPJS Kesehatan untuk mendapatkan layanan publik dinilai melanggar undang-undang. Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan ketentuan yang tertuang dalam instruksi presiden itu bertentangan dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
“Ini berpotensi melanggar hak-hak publik dalam mendapatkan pelayanan dasar. Secara regulasi berpotensi melanggar UU Nomor 25 Tahun 2009,” ujar Tulus saat dihubungi pada Rabu, 23 Februari 2022.
Jokowi mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Program Jaminan Kesehatan (JKN). Beleid yang berlaku pada 1 Maret 2022 itu mengatur tanda kepesertaan BPJS Kesehatan menjadi syarat bagi masyarakat untuk melakukan transaksi jual-beli tanah dan bangunan, membuat surat izin mengemudi (SIM), membuat surat tanda nomor kendaraan (STNK), sampai surat keterangan catatan kepolisian (SKCK).
Bahkan, tanda kepesertaan BPJS Kesehatan akan menjadi syarat pelaksanaan ibadah haji dan umrah hingga kegiatan pendidikan. Tulus melihat aturan itu seharusnya dibatalkan karena merenggut hak publik untuk mengakses layanan umum.
YLKI, kata dia, akan mendorong masyarakat untuk melakukan uji material terhadap Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2022 ke Mahkamah Agung agar regulasi tersebut dibatalkan. “Ini bertentangan dengan regulasi di atasnya, bahkan berpotensi melanggar konstitusi,” ucap Tulus.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menduga pemberlakuan sistem kepesertaan BPJS Kesehatan sebagai syarat wajib untuk pelbagai keperluan berkaitan dengan rencana pemerintah menekan defisit keuangan lembaga jaminan kesehatan tersebut. BPJS Kesehatan diperkirakan akan kembali mengalami defisit setelah pandemi berakhir.
“Akan terjadi rebound pembayaran jaminan. Ini yang harus diantisipasi,” kata Timboel.
<!--more-->
Keuangan BPJS Kesehatan mengalami defisit dalam beberapa tahun. Pada 2014, BPJS Kesehatan mencatatkan defisit sebesar Rp 1,9 triliun; yang kemudian melonjak sampai Rp 9,4 triliun pada 2015.
Kemudian pada 2016, defisit BPJS Kesehatan turun menjadi 6,4 triliun. Namun pada 2017, rentang defisit itu kembali melebar menjadi Rp 13,8 triliun dan pada 2018 meningkat hingga Rp 19,4 triliun. Pada 2019, BPJS Kesehatan mengalami defisit 13 triliun.
Sementara itu pada 2020, laporan keuangan lembaga audited mencatatkan defisit sebanyak Rp 5,69 triliun. Barulah pada akhir 2021, lembaga ini mencatatkan surplus. Pada tahun tersebut terjadi lonjakan signifikan aset bersih dana jaminan sosial kesehatan. Hingga Desember 2021, posisi aset bersih dana jaminan sosial kesehatan sebesar Rp 39,45 triliun.
Adapun realisasi penerimaan iuran sebesar Rp 139,55 triliun atau melampaui target yang ditetapkan sebesar Rp 138,4 triliun. Sedangkan realisasi pembayaran manfaat sepanjang 2021 adalah Rp 90,33 triliun.
Meski demikian, BPJS Kesehatan tak menutup kemungkinan kembali terancam defisit. Potensi defisit didorong oleh peningkatan utilisasi layanan JKN secara tajam. “Kurang lebih pada 2023 itu sudah defisit,” kata Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron dalam rapat bersama Komisi IX DPR, pertengahan Januari lalu.
<!--more-->
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai kebijakan pemerintah memaksa kepesertaan BPJS Kesehatan masyarakat untuk menjadi syarat mengakses layanan publik tidak tepat. Musababnya, jangkauan subsidi kepesertaan jaminan kesehatan masih sangat terbatas.
Sementara itu, banyak masyarakat dengan kategori menengah dan rentan miskin yang tidak tercakup sebagai peserta penerima bantuan iuran (PBI). “Masyarakat kelompok ini kalau disuruh bayar BPJS Kesehatan, apalagi satu keluarga, ini cukup memberatkan,” ucap Bhima.
Kebijakan yang diterapkan pada masa pemulihan ekonomi karena pandemi Covid-19, kata dia, akan mendorong tekanan ekonomi yang lebih dalam terhadap masyarakat. Di sisi lain, ia memperkirakan daya beli masyarakat bisa tergerus.
Bhima menyarankan pemerintah menggunakan cara-cara untuk meningkatkan kepesertaan BPJS Kesehatan secara lebih persuasif. Langkah itu bisa dimulai dengan mendorong kepatuhan kepesertaan jaminan kesehatan dari perusahaan-perusahaan formal. “Itu dulu yang dikejar kepatuhannya daripada seperti sekarang ini, pemaksaan,” ucapnya.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA | BISNIS | GHOIDA RAHMAH
BACA: KSP Minta Publik Tak Persoalkan BPJS Kesehatan Jadi Syarat Jual Beli Tanah
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.