Ancang-ancang Menuju Kelas Rawat Inap Standar BPJS Kesehatan

Kamis, 27 Januari 2022 16:52 WIB

Petugas melayani peserta BPJS Kesehatan di kantor cabang Proklamasi, Jakarta, Senin, 27 September 2021. Tempo/Tony Hartawan

TEMPO.CO, Jakarta -Rencana pemerintah untuk menerapkan sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) bagi pasien BPJS Kesehatan di tahun ini masih menyisakan sejumlah persoalan. Pengurus Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) Tonang Dwi Ardyanto misalnya, menilai masih ada beberapa aspek dalam rencana ini yang masih harus diperjelas dengan pengelola rumah sakit.

Menurut Tonang, konsekuensi dari KRIS ini sangat beragam. Salah satunya terkait perubahan tarif Indonesia Case Based Groups (INA CBGs) hingga penerapan iuran tunggal yang harus dibayarkan pasien. Lantaran selama ini, tarif dan iuran tersebut menyebabkan perbedaan layanan antar pasien.

“Perubahan tarif di RS ini perlu diperjelas, karena RS perlu kejelasan dalam menghitung investasi dan risiko,” kata Tonang yang juga Wakil Direktur Pendidikan dan Penelitian RS Universitas Sebelas Maret, saat dihubungi, Kamis, 27 Januari 2022.

Tarif INA CBGs adalah rata-rata biaya yang dihabiskan untuk suatu kelompok diagnosis, kapitasi hingga iuran BPJS Kesehatan yang dibayarkan pemerintah kepada rumah sakit atau fasilitas layanan kesehatan.

Ia mengatakan PERSI sangat mendukung rencana penerapan KRIS yang harus berlaku efektif 1 Januari 2023 tersebut. Meskipun ia menyadari pihak RS harus mengubah kondisi fisik dari ruang rawat inap hingga tata kerja akibat KRIS ini.

Advertising
Advertising

Tak hanya itu, Tonang menyebut kejelasan juga diperlukan terkait tahapan penerapan KRIS. Dewan Jaminan Sosial Negara (DJSN) telah menyiapkan tahapan perencanaan KRIS ini sampai 2024. Sebab, ada aspirasi dari sejumlah pengelola rumah sakit agar KRIS ini langsung berlaku sekali proses, dari tiga kelas saat ini menjadi kelas tunggal. “Ada yang berpikir begitu, biar gak dua kali kerja,” kata dia.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) Ichsan Hanafi menyoroti dampak negatif yang bakal muncul akibat kebijakan KRIS ini. Kebijakan ini, kata dia, bakal mengurangi kapasitas tempat tidur yang terpasang di rumah sakit swasta. Akibatnya, potensi pendapatan rumah sakit akan seret.

"Ini tidak mudah bagi kami di rumah sakit swasta, makanya kami minta regulasinya dibahas bersama-sama," kata Ichsan.

Tak hanya itu, Ichsan menyebutkan, rumah sakit harus mengalokasikan dana investasi yang relatif besar untuk merenovasi bangunan apabila tidak memenuhi kriteria KRIS. Sedangkan perluasan rumah sakit juga tak selalu mudah dilakukan jika terkendala lahan.

Anggota DJSN Muttaqien memastikan aspirasi dari para pihak ini akan menjadi masukan penting dari rencana kebijakan KRIS ini, baik itu PERSI, ARSSI, maupun Asosiasi Rumah Sakit Daerah Seluruh Indonesia atau ARSADA. “Tarif INA CBGs memang menjadi salah satu poin penting dalam skema perbaikan ekosistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini,” kata dia.<!--more-->

Kesiapan Rumah Sakit

Kebijakan KRIS ini sebenarnya merupakan konsekuensi dari penerapan Kebutuhan Dasar Kesehatan (KDK) yang tertuang di Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Secara sederhana, KDK ini akan membuat pasien BPJS menerima layanan standar. Kalau mau layanan, maka harus ikut asuransi tambahan.

Dalam rapat di Komisi Kesehatan DPR pada 25 Januari 2022 lalu, anggota DJSN Iene Muliati mengatakan sudah menggelar lima konsultasi publik dengan pemerintah daerah, asosiasi fasilitas kesehatan, hingga masyarakat. Lalu, self assesment juga sudah dilakukan dengan 1.916 RS dan 144 RS TNI dan Polri.

Dari 144 RS TNI dan Polri yang ikut self assesment, kata Iene, sebanyak 74 persen siap ikut menjalankan KRIS ini. Meskipun, ada 74 persen yang masih butuh penyesuaian infrastruktur skala kecil, dan 26 skala sedang hingga besar.

Sementara dari 1.916 RS lain, sebanyak 80 persen sudah siap dengan KRIS. “Walau 78 persen perlu penyesuaian infrastruktur skala kecil,” ujarnya.

Regulasi Masih Disusun

Pemerintah punya waktu sampai akhir tahun 2022 untuk memulai kebijakan KRIS. Sebelum memulai KRIS, pemerintah akan melakukan finalisasi terlebih dahulu terhadap KDK yang akan dituangkan dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres) yang ditangani oleh Kementerian Kesehatan.

Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengatakan KDK ini sudah dibahas sejak 2020 sampai sekarang. “Salah satunya perhitungan dampak biaya atas penyusunan manfaat JKN sesuai KDK,” kata dia.

Sementara itu KRIS, pihaknya yang menangani yaitu DJSN. Meski demikian, BPJS Kesehatan sudah ikut melakukan survei terhadap 2.740 responden. Hasilnya, Ali menyebut separuh dari responden mendukung standarisasi fasilitas dan pelayanan kesehatan sesuai prinsip KRIS.

“Oleh karena itu kami bisa simpulkan, implementasi KDK dan KRIS dilakukan secara bertahap mempertimbangkan kesiapan peserta dan fasilitas kesehatan,” kata dia.

Selain Perpres soal KDK, Kementerian Kesehatan pun juga sedang merevisi Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 51 Tahun 2018 tentang Pengenaan Urun Biaya dan Selisih Biaya Dalam Program Jaminan Kesehatan. Ini berkaitan dengan asuransi tambahan atau selisih biaya yang harus dipakai pasien BPJS yang ingin naik kelas, akibat dampak KDK.

Menurut Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, perubahan Permenkes soal mekanisme selisih dan urun biaya ini bertujuan untuk mengefisiensikan pembayaran iuran pasien BPJS Kesehatan. Lantaran selama ini terjadi duplikasi pembayaran iuran oleh peserta BPJS yang juga memiliki asuransi kesehatan tambahan (AKT) dari swasta.

"Kalau bisa porsinya BPJS di-cover BPJS, sisanya kalau mereka mau ambil kelas lebih baik otomatis di-cover asuransi swasta tanpa ada duplikasi biaya iuran,” kata dia.

Budi mencontohkan seorang pasien BPJS yang juga ikut asuransi swasta dan mau operasi usus buntu. BPJS hanya menanggung biaya operasi Rp 7,3 juta. Sementara, pasien tadi mau naik kelas VIP dan tagihannya menjadi dua kali lipat, Rp 14,59 juta.

Karena ada mekanisme urun biaya, maka asuransi swasta sebenarnya tak perlu lagi menanggung biaya operasi Rp 14,59 juta tersebut karena sudah ditanggung separuhnya oleh BPJS. Walhasil, Budi menyebut mekanisme ini seharusnya bisa membuat premi pasien tersebut di asuransi swasta turun.

Kalaupun preminya tetap dan mendapatkan biaya tanggungan operasi dari asuransi swasta 100 persen alias Rp 14,59 juta, maka pasien tadi seharusnya sudah bisa naik sampai ke kelas VVIP atau Super VIP. “Kombinasi benefit ini yang kami bikin aturannya, sehingga pengeluaran uang peserta jadi efisien,” kata dia.<!--more-->

Agar BPJS Tak Defisit

Budi juga menyebut kebijakan KRIS ini bertujuan untuk menjaga arus kas dana jaminan sosial yang dihimpun BPJS Kesehatan tetap positif. “Intinya kita tidak mau BPJS Kesehatan itu defisit, tapi kita harus pastikan BPJS itu tetap positif tapi mampu meng-cover lebih luas lagi dengan layanan standar,” kata dia. ‘

Ali Ghufron melaporkan kalau tahun lalu keuangan BPJS sudah bisa surplus dari yang sebelumnya defisit. Ia membandingkan situasi dengan posisi Desember 2020, di mana saat itu arus kas positif. “Tapi kalau kewajibannya dijalankan, seperti utang-utang, dan sebagainya, jadi defisit," ujarnya.

Hingga Desember 2021, posisi aset bersih dana jaminan sosial kesehatan mencapai Rp 39,45 triliun. Menurut Ghufron, aset ini berada dalam kategori sehat dan mampu memenuhi 4,83 bulan estimasi pembayaran klaim ke depan atau ketentuan minimum yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2015.

“Baru pertama kali dalam sejarah aset neto positif, jadi jangan sampai langsung defisit tahun depan,” kata Ghufron.

Maka untuk menjaga kondisi keuangan ini, Ghufron menyebut ada rencana penambahan benefit screening kesehatan dalam rangka pemataan pembiayaan di dalam KDK yang sedang disusun. Ke depan, kata dia, BPJS bisa menyesuaikan layanan konsultasi online untuk proses skrining bagi pasien dengan resiko berat. “Tapi bukan setiap penduduk di-skrining, kalau seperti itu bisa defisit lagi tahun depan, atau tahun ini,” ujarnya.

Jadwal Uji Coba Belum Final

Keseluruhan tahapan dan komponen menuju KRIS inilah yang sedang disiapkan oleh DJSN yang punya hajatan akan program ini. DJSN sudah menyusun peta jalan KRIS dengan rincian sebagai berikut:

Tahun 2022:

  • Penyiapan peraturan pelaksana dan uji publik
  • Harmonisasi atau revisi peraturan pelaksana terkait
  • Pemetaan dan uji coba KRIS JKN
  • Penyiapan infrastruktur
  • Sosialisasi, edukasi, dan advokasi
  • Implementasi secara bertahap di RS vertikal
  • Monitoring dan evaluasi terpadu

Tahun 2023:

  • Implementasi secara bertahap RSUD dan RS Swasta berdasarkan kriteria KRIS JKN
  • Penyiapan infrastruktur
  • Sosialisasi, edukasi, advokasi, monitong, dan evaluasi terpadu

Tahun 2024:

  • Implementasi di seluruh RS
  • Monitoring dan evaluasi terpadu

Sesuai peta jalan yang sudah disiapkan, maka tahun ini adalah jadwal untuk implementasi KRIS secara bertahap di RS vertikal. “RS vertikal (itu) milik Kemenkes,” kata Muttaqien.

Menurut Muttaqien, perkara jadwal ini masih dibicarakan secara intensif dengan Kemenkes, dan akan menjadi kesepakatan bersama di pemerintah dan BPJS. Sehingga, sampai hari ini belum diketahui kapan implementasi tersebut akan berjalan. “Ini akan ditentukan lebih lanjut,” kata dia.

FAJAR PEBRIANTO| BISNIS

Baca Juga: RS Beberkan Kesulitan Terapkan Kelas Rawat Inap Standar BPJS Kesehatan

Berita terkait

Presiden Jokowi Resmi Meluncurkan Pendidikan Dokter Spesialis Berbasis Rumah Sakit

1 hari lalu

Presiden Jokowi Resmi Meluncurkan Pendidikan Dokter Spesialis Berbasis Rumah Sakit

Pendidikan Dokter Spesialis menjadi penting mengingat rasio dokter dibanding penduduk Indonesia sangat rendah, yakni 0,47 per 1.000 penduduk.

Baca Selengkapnya

Fakta Miris Indonesia Kekurangan Dokter Spesialis, Menkes: Jadi Masalah Hampir 80 tahun

1 hari lalu

Fakta Miris Indonesia Kekurangan Dokter Spesialis, Menkes: Jadi Masalah Hampir 80 tahun

Jokowi menyebut pemerintah baru mampu mencetak 2.700 dokter spesialis per tahun. Sementara pemerintah membutuhkan 29 ribu dokter spesialis.

Baca Selengkapnya

Jokowi: Daerah Kepulauan Indonesia Kekurangan Dokter Spesialis

2 hari lalu

Jokowi: Daerah Kepulauan Indonesia Kekurangan Dokter Spesialis

Jokowi mengatakan kemampuan produksi dokter spesialis Indonesia hanya 2.700 per tahun.

Baca Selengkapnya

Kemenkes Buka Enam Prodi di RS Pendidikan Atasi Kekurangan Dokter Spesialis

3 hari lalu

Kemenkes Buka Enam Prodi di RS Pendidikan Atasi Kekurangan Dokter Spesialis

Salah satu masalah lagi yang ada di Indonesia adalah distribusi dokter spesialis. Hampir 80 tahun Indonesia merdeka belum pernah bisa terpecahkan.

Baca Selengkapnya

Delegasi PBB Evakuasi Pasien dari Rumah Sakit di Gaza Utara

3 hari lalu

Delegasi PBB Evakuasi Pasien dari Rumah Sakit di Gaza Utara

Delegasi PBB mengevakuasi sejumlah pasien dan korban luka dari Rumah Sakit Kamal Adwan di Jalur Gaza utara

Baca Selengkapnya

Dokter Bedah Ternama Gaza Tewas di Penjara Israel, Diduga Disiksa

4 hari lalu

Dokter Bedah Ternama Gaza Tewas di Penjara Israel, Diduga Disiksa

Seorang dokter bedah Palestina terkemuka dari Rumah Sakit al-Shifa di Gaza meninggal di penjara Israel setelah lebih dari empat bulan ditahan.

Baca Selengkapnya

Program JKN Bisa Layani Pengobatan dengan KTP

7 hari lalu

Program JKN Bisa Layani Pengobatan dengan KTP

Salah satu kemudahan yang diberikan saat ini adalah peserta JKN aktif dapat berobat hanya dengan menunjukan Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang tertera di Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Baca Selengkapnya

Aplikasi Mobile JKN Mudahkan Masyarakat Jalani Pengobatan

7 hari lalu

Aplikasi Mobile JKN Mudahkan Masyarakat Jalani Pengobatan

Kehadiran aplikasi Mobile JKN kemudahan layanan kesehatan bagi peserta JKN

Baca Selengkapnya

5 Hal yang Jadi Fokus Tangani Penyakit Arbovirus seperti DBD

8 hari lalu

5 Hal yang Jadi Fokus Tangani Penyakit Arbovirus seperti DBD

Kementerian Kesehatan Indonesia dan Brazil berkolaborasi untuk memformulasikan upaya mencegah peningkatan insiden penyakit Arbovirus seperti DBD

Baca Selengkapnya

Konsep Dana Pensiun dalam P2SK Rugikan Kaum Buruh

8 hari lalu

Konsep Dana Pensiun dalam P2SK Rugikan Kaum Buruh

Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar menilai, UU No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), merugikan kaum buruh.

Baca Selengkapnya