Rencana Vaksin Booster Jalan Terus, Ada Potensi Ketimpangan
Reporter
Egi Adyatama
Editor
Aditya Budiman
Senin, 10 Januari 2022 21:01 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah akan memulai program pemberian vaksin booster bagi masyarakat mulai 12 Januari 2022. Kebijakan ini diambil di tengah belum meratanya tingkat vaksinasi Covid-19 di berbagai daerah di Indonesia.
Kritik keras terhadap kebijakan ini muncul dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Vaksinasi. Tim Advokasi Laporan Warga Lapor Covid-19 mengatakan saat ini ada 6,9 juta lansia yang belum mendapatkan vaksin Covid-19 sama sekali. Belum lagi kelompok rentan lain yang belum menjadi program prioritas, seperti warga dengan penyakit penyerta, ibu hamil, masyarakat adat, dan penyandang disabilitas.
Anggota Tim Advokasi Laporan Warga Lapor Covid-19 Firdaus Ferdiansyah menegaskan apabila program vaksinasi tak punya skema khusus untuk kelompok rentan, maka rencana pemberian vaksin booster bukanlah langkah yang bijak.
"Karena akan menempatkan mereka yang belum dapat vaksin sama sekali semakin rentan terinfeksi, bahkan meningkatkan risiko kematian," kata Firdaus dalam konferensi pers daring, Ahad, 9 Januari 2022.
Hingga Kamis lalu, cakupan vaksinasi dosis kedua di Indonesia masih relatif rendah, yakni 55,58 persen. Sedangkan vaksinasi lansia dosis penuh (kedua) juga baru mencapai 42,86 persen. Apalagi, persyaratan pemberian vaksin booster baru bisa dilakukan bagi daerah yang telah mencapai minimal 70 persen dosis pertama dan 60 persen dosis kedua.
Per 7 Januari 2022, hanya terdapat 244 kabupaten/kota yang mencapai syarat tersebut. Artinya, masih ada 290 kabupaten/kota yang cakupan vaksinasi dosis penuh kurang dari 60 persen.
"Daerah lain yang kerentanan tinggi karena cakupan vaksinasi masih rendah, itu justru akan semakin rentan. Ini menunjukkan ketidakadilan akses terhadap vaksin. Ini tak sejalan dengan vaksin berkeadilan," kata Firdaus.
Senada dengan Firdaus, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, mengatakan wacana pemerintah untuk melaksanakan vaksinasi booster akan memunculkan disparitas di tengah masyarakat. Vaksinasi booster ia sebut menjadi penegasan bahwa terjadi ketimpangan terhadap akses vaksin Covid-19.
Yang pertama adalah disparitas antara kelas menengah bawah dengan menengah atas. Golongan menengah bawah saat ini banyak yang masih belum mendapat akses vaksin sama sekali.
"Sehingga mereka yang mendapatkan vaksin, terutama vaksin berbayar dan vaksin booster, ini pemulihannya akan lebih cepat. Pendapatannya akan lebih besar dibanding mereka yang tak mendapatkan akses atau harus berbayar," kata Bhima.
<!--more-->
Regulasi minimal 70 persen dosis pertama dan 60 persen dosis kedua di mata Bhima bisa menciptakan disparitas kedua yang akan terjadi antar wilayah. "Hal ini berarti daerah yang rentan miskin, terutama di luar Jawa, pemulihannya akan lebih lambat dibanding Jawa atau kota besar yang akses vaksinnya baik," kata Bhima.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang mengkoordinasikan PPKM di Jawa-Bali, mengakui bahwa saat ini masih ada 13,6 juta orang di Jawa-Bali atau 9 persen yang belum terlindungi vaksin. Pemerintah, kata dia, terus mendorong percepatan vaksinasi terutama di kabupaten/kota yang dosis 1-nya masih di bawah 50 persen
"Berita baiknya, saat ini hanya 2 kabupaten/kota di Jawa Bali dengan kondisi dosis 1 di bawah 50 persen," kata Luhut usai rapat terbatas di Istana Negara, Jakarta Pusat, Senin, 10 Januari 2022.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menambahkan sudah hampir semua provinsi mencapai 70 persen. Hanya tinggal ada lima provinsi lagi yang belum mencapai 70 persen suntik pertama, yakni Sumatera Barat, Sulawesi Barat, Maluku, Papua Barat, dan papua.
"Stok vaksin ada dipegang pemerintah kita sekarang ada 446 juta total. Jadi kalau sudah disuntikan 288 juta, masih ada lebih dari 150 juta dosis yang kita bisa suntikkan," kata Budi.
Ia menyatakan Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah merestui dimulainya vaksinasi booster bagi masyarakat. Hal ini kemudian diiringi dengan diberikannya izin penggunaan darurat alias emergency use of authorization (EUA) bagi lima vaksin sebagai booster oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan atau BPOM pada Senin, 10 Desember 2021.
Kelima vaksin yang sudah mendapat izin dari BPOM adalah vaksin Coronavac Covid-19 BioFarma, vaksin Pfizer, vaksin AstraZeneca, vaksin Moderna, dan Zivifax.
Kepala BPOM Penny Lukito mengatakan vaksin booster meningkatkan titer antibodi yang sudah turun yang dinaikan oleh vaksin primer (dosis pertama dan kedua). Booster diharapkan bisa melindungi diri menghadapi virus dengan berbagai varian yang berkembang dan meningkatkan daya tahan tubuh.
"Ini memberikan peluang keberagaman dari vaksin yang sudah ada sehingga buka peluang yang lebih luas lagi untuk pemerintah memilih," kata Penny.
Meski masih mendapat penolakan, pemerintah tetap akan melaksanakan kebijakan ini. Skema pun terus dimatangkan oleh Kementerian Kesehatan. Meski begitu, Kemenkes tetap menjamin vaksinasi dosis satu dan dua bagi masyarakat yang belum terjangkau akan tetap diupayakan dan berjalan beriringan.
"Dalam pelaksanaannya tetap prioritas penyelesaian vaksin pertama dan kedua dengan adanya kriteria yang harus dicapai kabupaten/kota untuk memulai vaksinasi dosis 1 dan dosis 2," kata juru bicara vaksinasi Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi ihwal kebijakan vaksin booster.
Baca: Presiden Jokowi Disebut akan Umumkan Skema Vaksin Booster