Awan Gelap Omicron Selimuti Utang Tahun Depan
Reporter
Fajar Pebrianto
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Kamis, 30 Desember 2021 18:32 WIB
TEMPO.CO, Jakarta – Kementerian Keuangan atau Kemenkeu mewaspadai perkembangan virus Covid-19 varian Omicron terhadap APBN, terutama dari sisi pembiayaan utang. Kemenkeu telah memproyeksikan tahun ini rasio utang terhadap Pendapatan Domestik Bruto atau PDB bakal naik menjadi 41,4 persen dari posisi 2020 yang sebesar Rp 38,68 persen.
Sementara tahun depan rasio utang juga diproyeksi masih terus naik menjadi 43,1 persen, sebelumnya akhirnya turun lagi sampai 2025 nanti. Direktur Jenderal Pembiayaan dan Risiko atau DJPPR Kemenkeu, Luky Alfirman, memastikan pemerintah akan merespon cepat perkembangan varian ini untuk mengurangi dampaknya.
“Untuk tahun 2022, dengan pelaksanaan vaksinasi yang sudah cukup tinggi, diharapkan dapat menangkal penularan dan meminimalkan dampak varian Omicron,” kata dia saat dihubungi, Kamis, 30 Desember 2021.
Luky menyebut pembiayaan APBN tahun 2022 akan mengoptimalkan terlebih dahulu sumber-sumber non-utang. Lalu, memanfaatkan utang berbunga murah dari lembaga multilateral dan bilateral, serta sumber pembiayaan pasar secara terukur.
Sebelumnya, laju kenaikan rasio utang tahun ini menjadi 41,4 persen tahui ini telah menuai kritikan dari Wakil Ketua Fraksi Bidang Ekonomi dan Keuangan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Dewan Perwakilan Rakyat Ecky Awal Mucharam. Ecky melihat sejak awal tahun Indonesia telah mengalami berbagai masalah perekonomian.
“Kebijakan fiskal, ekonomi dan sektoral perlu untuk diperhatikan kembali oleh pemerintah guna menjamin tujuan bernegara yaitu mewujudkan kesejahteraan rakyat," pungkas Anggota Komisi Keuangan DPR RI tersebut, Rabu kemarin.
Tidak hanya itu, Ecky menyampaikan bahwa dalam konteks Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, utang negara yang mencapai 41,38 persen PDB sudah melebihi porsinya. Ia berujar hal tersebut menimbulkan berbagai pertanyaan seperti apakah sumber dana, postur APBN dan belanja negara benar-benar sehat.
Sementara itu, peneliti Center of Macroeconomics and Finance INDEF Riza A. Pujarama menyoroti beberapa aspek lain dalam pembiayaan utang dalam beberapa tahun terakhir. Salah satunya, Riza menyebut indikator kesinambungan fiskal dan utang cenderung meningkat dalam lima tahun terakhir. “Hal ini menunjukkan peningkatan risiko,” kata dia.
<!--more-->
Pada indikator kesinambungan utang misalnya, Riza mengatakan keseimbangan primer Indonesia sudah negatif dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini, kata dia, menunjukkan pembayaran utang ditutup dengan penarikan utang baru. Untuk itu, Riza menyebut ada empat poin yangf perlu diperhatikan dari peningkatan utang ini.
Pertama, penggunaan utang di sektor produktif yang memberikan multiplier effect. Kedua, ketepatan pemberian dana bantuan sosial atau bansos agar mendorong pertumbuhan ekonomi dari sisi konsumsi, disamping menjaga tingkat kesejahteraan masyarakat
Ketiga, peningkatan beban bunga utang yang membuat ruang fiskal pemerintah menjadi sempit. Sehingga, Ia menilai perlu upaya menekan tingkat bunga. Lalu terakhir, peningkatan utang perlu diikuti peningkatan pendapatan. “Hal ini direspon pemerintah dengan UU Harmonisasi Perpajakan dan hilirisasi industri,” kata dia.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede juga menyampaikan kalau masih ada risiko pembiayaan lewat surat utang meningkat apabila terjadi peningkatan kasus Covid-19 ke depannya, apalagi dengan ditemukan varian Omicron. Apabila varian baru terlanjur merebak, seperti varian Delta, Josua menyebut pemerintah akan kembali melakukan pembatasan aktivitas masyarakat dan bisa berdampak pada ekonomi.
"Bila hal ini terjadi, maka kinerja penerimaan akan menurun, diikuti oleh kenaikan kebutuhan belanja, sehingga defisit meningkat,” kata Josua. Tapi bila risiko ini dapat dibatasi, kata dia, maka besar kemungkinan kebutuhan pembiayaan surat utang akan menurun tahun depan. Sehingga ke depannya proporsi belanja pembayaran bunga dapat berkurang.
Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan DJPPR Riko Amir menyebut tahun depan pun penerimaan negara memang diproyeksi akan meningkat. Peningkatan bersumber dari penerapan UU Harmonasisasi Peraturan Perpajakan, Program Pengungkapan Sukarela (PPS) pajak alias Tax Amnesty Jilid II, dan harga komoditas yang masih cukup tinggi.
Kondisi ini, kata dia, diharapkan dapat menurunkan defisit APBN dan pembiayaan utang tahun 2022. “Pada akhirnya akan berdampak pada perbaikan indikator pengelolaan utang, yang salah satunya adalah rasio utang terhadap PDB yang lebih rendah,” kata dia.
Sementara terkait surat utang, Luky menyebut ada fleksibilitas dalam penentuan timing SBN. Penentuan dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan pembiayaan utang, kondisi kas, dan kondisi pasar keuangan. “Timing ini bersifat dinamis dan akan dimonitor secara kontinu untuk memperoleh biaya dan risiko yang optimal,” ujarnya.
Saat ini, jumlah kasus positif Covid-19 varian Omicron di tanah air terus bertambah sejak terkonfirmasi pertama kali pada 16 Desember 2021. Sampai Rabu kemarin, 29 Desember 2021, jumlah kasus positif varian ini bertambah menjadi 21 kasus baru menjadi 68 orang. Juru Bicara Vaksinasi COVID-19 Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmidzi mengatakan 21 kasus baru itu merupakan pelaku perjalanan luar negeri yang terdiri dari 16 WNI, 5 WNA.
Negara kedatangan paling banyak adalah Arab Saudi, dan Turki. Sampai saat ini kasus Omicron di Indonesia kebanyakan dari pelaku perjalanan luar negeri. “Adanya kasus Omicron Indonesia karena adanya perjalanan dari beberapa negara seperti Arab Saudi dan Turki, sehingga masyarakat diimbau untuk mempertimbangkan berlibur ke sana,” kata Nadia dalam keterangan tertulis.
Sebelum adanya varian Omicron, Indonesia pernah menghadapi lonjakan kasus akibat kemunculan varian Delta di pertengahan tahun.Kasus Covid-19 di tanah air mengalami lonjakan dan mencapai puncak pada 15 Juli 2021. Saat itu, kasus konfirmasi positif harian mencapai titik tertinggi yaitu 56.757 kasus baru. Tapi setelah itu, konfirmasi kasus baru terus turun sampai hari ini yang hanya 194 kasus baru.
<!--more-->
Kemunculan varian baru dan lonjakan kasus ini tak ayal memicu tambahan biaya penganan yang tak sedikit. 21 Desember lalu misalnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah mengeluarkan dana yang besar untuk membiayai penanganan pasien Covid-19 akibat merebaknya varian Delta pada Juli lalu.
Pembiayaan itu salah satunya untuk membayar klaim perawatan pasien di rumah sakit. Sampai 30 November 2021, total klaim perawatan kesehatan untuk pasien Covid-19 akibat varian Delta ini menyentuh Rp 49,6 triliun. Klaim ini dibayarkan bagi 768,9 ribu pasien.
"Maka itu kita mengalami delta varian dengan lonjakan tinggi, ongkosnya terhadap ekonomi luar biasa besar. Hampir Rp 50 triliun," ujar Sri Mulyani
Biaya penanganan Covid-19 ini juga sebelumnya membuat pemerintah diberi kewenangan memperlonggar defisit APBN melebihi 3 persen sesuai perintah UU Keuangan Negara. Kewenangan itu tertuang dalam UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19.
Sehingga, defisit 2020 langsung membengkak jadi 6,14 persen, dari sebelumnya di bawah 3 persen, untuk menutupi besarnya biasa menangani pandemi. Tapi tahun ini, defisit dipatok turun menjadi 5,25 persen tahun ini dan 4,85 persen tahun depan. Lalu, defisit akan diturunkan kembali di bawah 3 persen pada 2023 yaitu 2,68 persen dan sampai 2,23 persen pada 2025.
Sehingga, Sri Mulyani mengingatkan bahwa APBN 2022 adalah periode terakhir penetapan defisit melebihi 3 persen. "Ini jelas merupakan tahun yang sangat penting," kata Sri Mulyani.
Konsekuensi dari defisit ini adalah rasio utang. Sampai 13 Desember lalu, realisasi rasio utang terhadap PDB sudah mencapai 41,4 persen dan tahun depan naik jadi 43,1 persen. Kementerian pun menyadari banyak pertanyaan dari publik mengenai kenaikan tersebut.
"Pemerintah tentu sangat concern mengenai hal ini," kata Riko Amir, 13 Desember lalu. Ia memastikan rasio utang ini akan terus dijaga dan diupayakan turun dalam beberapa tahun ke depan. Mulai dari 42,8 persen (2023), 42,48 persen (2024), dan 41,82 persen (2025).
Tahun ini, pemerintah menggelontorkan dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebesar Rp 744,7 triliun, di mana pos terbanyak yaitu kesehatan yang mencapai Rp 214,96 triliun. Tapi, dana Rp 747,7 triliun ini diproyksi hanya akan habis 88,5 persen saja atau Rp 658,9 triliun sampai akhir tahun. Alokasi untuk kesehatan pun diproyeksi hanya habis 89,8 persen atau Rp 193 triliun.
Tahun depan, dana PEN turun jadi Rp 414,1 triliun dan alokasi untuk kesehatan sebesar Rp 117,9 triliun. Menteri Koordiantor Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut pemerintah juga menyiapkan dana khusus untuk mengantisipasi efek Omicron sebesar Rp 52 triliun.
Dua pos belanja akan jadi sasaran utama aneka anggaran ini, terutama yaitu testing dan traciing, karena laju penularan Omicron lima kali lebih cepat. “Dari satu nularin ke lima, lima ke 25, jadi pangkat lima,” kata dia, hari ini.
Berikutnya yaitu belanja untuk vaksin booster tahun depan, yang di dalamnya ada program dibiayai pemerintah dan mandiri alias berbayar. Saat ini, kata Airlangga, pemerintah masih menunggu rekomendasi dari Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI) untuk pemberitan booster ini, apakah sejenis atau bisa dicampur berbeda jenis vaksin. “Kami tunggu hasil dari ITAGI,” kata dia.
Airlangga mengatakan pihaknya masih akan melihat dampak ini pada kemungkinan defisit yang makin lebar di tahun 2022 dan potensi kenaikan rasio utang pada PDB yang sudah dipatok 43,1 persen. Lantaran, kedua indikator ini ditargetkan menurun pada 2023. Contohnya defisit yang harus turun lagi di bawah 3 persen pada 2023.
“Tentu kami akan lihat capain-capaian di 2022 nanti,” kata dia. Sebab, kata dia, beberapa tren positif sudah terjadi di 2021 ini. Pertama, defisit tahun ini diproyeksi lebih kecil dari target yang sebesar 5,7 persen. Kedua, penerimaan negara pun sedang bagus, seperti contohnya pajak yang bisa melampaui target sebelum tutup tahun.
Sementara, Ekonom Indef, Riza A. Pujarama, mengatakan efek Omicron ini bisa diredam dengan mitigasi di sektor kesehatan. Salah satu yang menjadi sorotannya adalah bagaimana ke depan research and development (R&D) di bidang kesehatan perlu didorong. “Sehingga dapat memitigasi dengan cepat terhadap varian baru Covid dan bahkan penyakit lainnya,” kata dia.
Lalu dengan berlanjutnya dana PEN di 2022, Riza menilai mesti ada perbaikan dari sisi data agar lebih tepat sasaran. “Lalu, dapat memberikan daya dorong pada perekonomian dengan lebih baik,” ujarnya.
FAJAR PEBRIANTO | BISNIS
BACA: Sederet BUMN dengan Gundukan Utang, Mana yang Paling Besar?