Menjawab Kritik Greenpeace dengan Ancaman UU ITE
Reporter
Dewi Nurita
Editor
Aditya Budiman
Senin, 15 November 2021 20:09 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ancaman terhadap kebebasan berpendapat kembali terulang. Kali ini menimpa aktivis Greenpeace Indonesia
Pada 9 November 2021, aktivis Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak, Kiki Taufik dan kawan-kawan dilaporkan ke polisi setelah mengkritik pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal deforestasi. Pelapor adalah Ketua Cyber Indonesia, Husin Shahab.
Dalam surat laporan yang beredar, aktivis Greenpeace dituduh membuat berita bohong karena menyampaikan data deforestasi yang diklaim pelapor tidak sesuai fakta. Leonard dan Kiki dilaporkan dengan tuduhan melanggar Pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 KUHP serta Pasal 28 Ayat 2 juncto Pasal 45A Ayat 2 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang UU ITE. Namun dalam perkembangannya, laporan tersebut dicabut.
Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace Kiki Taufik mengaku lega dengan pencabutan laporan itu. Sehingga, Greenpeace bisa fokus bekerja untuk hal yang lebih penting, yaitu menghadapi krisis iklim saat ini.
"Namun kami pikir, apa yang terjadi pada Greenpeace semakin menambah panjang daftar kasus ancaman kebebasan berekspresi dan berpendapat yang merusak iklim demokrasi di Indonesia pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo," ujar Kiki saat dihubungi Tempo pada Senin, 15 November 2021.
Penggunaan pasal-pasal UU ITE yang bermasalah sebagai dasar pelaporan, lanjut Kiki, seharusnya sudah tidak diterima lagi oleh penegak hukum. Aparat kepolisian diminta berpegangan pada SKB bersama Menkominfo, Jaksa Agung dan Kapolri terkait implementasi UU ITE dan semestinya sejak awal menolak laporan tersebut.
"Untuk saat ini kami bisa terhindar dari kriminalisasi seperti ini. Namun ke depan, tren seperti ini bisa terus terjadi dan sangat mengkhawatirkan," ujar Kiki.
Greenpeace Indonesia mengajak masyarakat melawan praktik intimidasi dan represi semacam ini. Tak hanya itu, Greepeace meminta publik ikut melawan para pendengung yang melontarkan narasi-narasi kosong untuk mengalihkan dari fakta-fakta dan permasalahan bangsa yang jauh lebih penting, seperti perusakan lingkungan dan krisis iklim.
Senada, Ketua Yayasan Auriga Nusantara, Timer Manurung menyayangkan pelaporan polisi itu. "Semestinya pernyataan atau kritik, apalagi disampaikan secara terbuka, bukan dipidana, tapi didialogkan. Pelaporan ke polisi itu merupakan langkah mundur dan ancaman serius bagi demokrasi," ujar Timer saat dihubungi terpisah.
<!--more-->
Polisi, ujar Timer, semestinya memanfaatkan momentum ini untuk tampil sebagai elemen yang menopang demokrasi dengan secara tegas tidak memproses pengaduan tersebut. "Lagi pula data Greenpeace itu kan juga mengutip data deforestasi yang diterbitkan KLHK. Hanya yang berbeda dari Greenpeace dan KLHK adalah cara membaca data, bukan pada datanya sendiri," ujarnya.
Greenpeace sebelumnya membantah pernyataan Presiden Jokowi dalam KTT COP26 di Glasgow, Skotlandia. Jokowi mengklaim deforestasi di Indonesia dapat ditekan ke titik terendah dalam 20 tahun terakhir dan Indonesia telah melakukan rehabilitasi 3 juta hektare lahan kritis pada 2010-2019.
Menurut Greenpeace, deforestasi di Indonesia justru meningkat dari 2,45 juta hektare pada 2003-2011 menjadi 4,8 juta hektare pada 2011-2019. Juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia, Asep Komarudin, membenarkan bahwa data mereka memang merujuk pada data KLHK. Bisa dikatakan ada perbedaan cara membaca data antara Greenpeace dan KLHK.
"Semua yang kami sampaikan ke publik menggunakan data valid yang akurat. Kami siap untuk melakukan debat terbuka dengan KLHK terkait bagaimana kami menganalisis data dalam koridor secara ilmiah dan intelektual," ujarnya.
Data Greenpeace diperkuat oleh Forest Watch Indonesia (FWI). "Meskipun angkanya kami tidak sama persis, tapi kami setuju dengan Greenpeace (bahwa deforestasi meningkat)," ujar Pengkampanye FWI, Agung Ady Setyawan saat dihubungi secara terpisah.
Data FWI menunjukkan luas hutan alam di Indonesia terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2000 Indonesia masih memiliki 106 juta hektare hutan alam. Jumlah tersebut berkurang menjadi 93 juta hektare pada 2009, 88 juta hektare pada 2013, dan 82 juta hektare pada 2017.
Hutan-hutan alam yang hilang dari tahun ke tahun tersebutlah yang dinamakan oleh FWI sebagai deforestasi. "Dari data di atas, dapat dilihat bahwa selama 17 tahun ke belakang (2000-2017) Indonesia telah kehilangan hutan sekitar 23 juta hektare atau setara dengan 75 kali luas Provinsi Yogyakarta. Angka yang sangat jauh jika dibandingkan dengan klaim 3 juta hektare keberhasilan rehabilitasi hutan dan lahan kritis," ujar Agung.
Data yang dihimpun FWI dalam laporan-laporan KLHK sejak 2011-2020 juga memperlihatkan angka reforestasi di Indonesia baru mencapai 1 juta hektare. Angka ini merupakan penjumlahan dari reforestasi yang terjadi di hutan primer, hutan sekunder, dan hutan tanaman.
Di dalam hutan tanaman juga termasuk di dalamnya penanaman untuk kebutuhan hutan tanaman industri dan reboisasi/penghijauan. "Itu pun dengan catatan bahwa angka 1 juta hektare tersebut belum bisa diuji oleh publik terkait validasi datanya," ujar Agung.
Direktur Eksekutif Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL), Raynaldo Sembiring, mengatakan perbedaan data dan analisis seharusnya diselesaikan di ruang akademik, bukan di persidangan. "Publik harus disuguhi kebenaran fakta, oleh karenanya debat terhadap perbedaan data dan analisis menjadi penting. Bukan dengan laporan," ujarnya.
<!--more-->
Pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan yang ingin mengaudit Non-Government Organization (NGO) atau lembaga swadaya masyarakat dinilai hanya memperburuk situasi. "Apa yang mau diaudit? Apakah analisisnya? Datanya? Justru harusnya Menko Marves bijak untuk melihat situasi ini sebagai pintu untuk menyelesaikan masalah di dalam ruang diskusi atau perdebatan yang sehat," tutur Ray.
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Merah Johansyah mengatakan Luhut lah yang semestinya diaudit. "Perusahaan-perusahaan yang terkoneksi dengan PT Toba Sejahtera (yang didirikan Luhut) telah banyak menyebabkan kerusakan lingkungan. Kalau Pak Luhut mau audit NGO, kami tantang balik, siap enggak kalau Pak Luhut diaudit oleh rakyat korban pertambangan," ujar dia.
Merah meminta sejumlah pihak tidak seenaknya main asal lapor, lalu cabut laporan seperti yang dilakukan Cyber Indonesia. "Organisasi yang tak ada hubungannya dengan deforestasi, kenapa mereka tersinggung? Kalau memang mau mempermasalahkan, silakan bantah dengan data. Ini data kok dibalas dengan pembungkaman lewat UU ITE," ujar Merah.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Tubagus Ade Hidayat mengatakan Cyber Indonesia mencabut laporannya terhadap Greenpeace, setelah pelapor berdiskusi dengan polisi pada Senin, 15 November 2021.
Menurut Tubagus, ada beberapa alasan yang mendasari keputusan Cyber Indonesia mencabut laporannya. "Salah satunya, kurang lebih mereka tidak mau ini dipolitisir. Tidak mau ini kemudian dianggap sebagai bentuk pemerintah anti-kritik," ujar Tubagus di Polda Metro Jaya siang ini.
Tubagus menyebut dengan adanya pencabutan itu, maka polisi tak akan melanjutkan penyelidikannya. Menurut dia, Cyber Indonesia berharap permasalahan yang sebelumnya mereka laporkan dapat diselesaikan melalui mimbar akademis.
Adapun KLHK melalui Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Ruandha Agung Sugardiman, sudah menyatakan siap berdebat dengan Greenpeace.
Sementara Juru bicara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Jodi Mahardi, menyebut pernyataan Luhut soal mengaudit NGO, masih dalam wacana. Luhut juga belum menyebut NGO mana yang dimaksud.
Namun, ia menilai audit ini penting dilakukan agar LSM transparan, mengenai struktur organisasi dan asal dana yang menyokong mereka."Selama ini mereka selalu menuntut pemerintah untuk transparansi dalam pembangunan. Jadi, LSM juga harus transparan dalam kegiatan operasionalnya," ujar Jodi.
Baca juga: Cyber Indonesia Cabut Laporannya terhadap Greenpeace Indonesia
DEWI NURITA l ADAM PRIREZA