Upaya Nadiem Makarim Rangkul Pengkritik Permendikbud Kekerasan Seksual

Reporter

Friski Riana

Editor

Amirullah

Minggu, 14 November 2021 15:02 WIB

Presiden Joko Widodo alias Jokowi (tengah) bersama Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Anwar Makarim dan Ketua Komite FFI Reza Rahadian hadir dalam malam Anugerah Piala Citra Festival Film Indonesia (FFI) 2021 di JCC, Rabu 10 November 2021. Piala Citra FFI tahun ini mengangkat tema Sejarah Film dan Media Baru. TEMPO/Nurdiansah

TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim menyatakan siap berdiskusi dengan berbagai pihak yang mengkritik Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan di Lingkungan Perguruan Tinggi.

“Kami dengan senang hati akan berdiskusi dengan berbagai pihak yang mengkritik," ujar Nadiem dalam sosialisasi Permendikbud 30/2021 secara daring, Jumat, 12 November 2021.

Sebelum ramai seperti sekarang, Nadiem sudah berupaya meredam penolakan atas Permendikbud 30. Ia mendekati sejumlah kelompok agama, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, serta lembaga seperti Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan.

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Nizam turut mendampingi Nadiem dalam pertemuan tersebut. Ia mengatakan dialog dilakukan untuk memberi penjelasan mengenai Permendikbud 30. “Berbagai komunikasi dan dialog terus kami lakukan. Mas Menteri langsung terjun sendiri menemui berbagai pihak,” ujar Nizam.

Permendikbud 30 diundangkan pada 3 September 2021. Nadiem mewacanakan aturan ini sejak tahun lalu. Pada rapat di Kompleks Parlemen, pada Februari 2020, Nadiem menyampaikan akan mencari formula bagaimana mengatasi intoleransi, kekerasan seksual, dan perundungan di dunia pendidikan. Ketiga hal itu ia sebut sebagai dosa pendidikan.

Advertising
Advertising

Merujuk sejumlah data, Nadiem mengatakan saat ini terjadi kondisi gawat darurat kekerasan seksual di perguruan tinggi. Data Komnas Perempuan sepanjang 2015-2020 menunjukkan, dari keseluruhan pengaduan kekerasan seksual yang berasal dari lembaga pendidikan, sebanyak 27 persen kasus terjadi di perguruan tinggi.

Survei Kemendikbud pada 2020 juga menyebutkan bahwa 77 persen dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus dan 63 persen tidak melaporkan kasus yang diketahuinya kepada pihak kampus. Mayoritas korban kekerasan seksual adalah perempuan.

Atas dasar itu lah, founder Gojek ini mengeluarkan Permendikbud 30. "Saat ini terjadi situasi darurat, bisa dibilang situasi gawat darurat, di mana kita bukan hanya mengalami pandemi Covid-19, tapi juga ada pandemi kekerasan seksual," ucap Nadiem.

Sayangnya, kehadiran aturan ini menuai pro dan kontra. Kritik datang dari sejumlah kelompok agama, salah satunya Muhammadiyah hingga partai politik, seperti Partai Keadilan Sosial (PKS) yang mendesak Nadiem merevisi aturan tersebut.

Pihak kontra kompak mengkritik frasa ‘tanpa persetujuan korban’ yang mengacu kepada definisi kekerasan seksual dalam Permendikbud 30 pasal 5 pada ayat (2) huruf b, f, g, h, j, l, dan m. Frasa itu dinilai mendegradasi substansi kekerasan seksual yang mengandung makna dapat dibenarkan apabila ada persetujuan korban.

Frasa 'tanpa persetujuan korban' dinilai mengandung makna bahwa kegiatan seksual dapat dibenarkan apabila ada persetujuan korban (consent). Dengan kata lain, Permendikbud 30 dianggap mengandung unsur legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan.

"Jadi kami minta peraturan ini dicabut dan direvisi. Supaya kekerasan seksual itu terdiri dari paksaan dan juga suka sama suka. Kita sebagai negara yang memiliki nilai-nilai agama dan ketimuran ini, kan tidak bisa membiarkan (seks bebas). Jadi kalau kita bisa membuat terobosan hukum yang mengatur itu, kenapa tidak," ujar Wakil Sekretaris Majelis Diklitbang PP Muhammdiyah Adam Jerusalem.

Pakar hukum pidana, Mudzakkir, menilai bahwa dilihat dari politik hukum pidana, frasa ‘tanpa persetujuan korban’ ditafsirkan sebagai kebijakan legalisasi perzinaan secara terselubung. Sebab, hal ini bertentangan dengan sistem hukum nasional Indonesia secara umum yang bersendikan kepada Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum nasional Indonesia.

Menurut Mudzakkir, frasa ‘tanpa persetujuan korban’ menunjukkan bahwa pandangan Kemendikbud mendasarkan kepada ajaran kebebasan seksual dan larangan dalam bidang kesusilaan atau seksual, yang ditujukan kepada perbuatan kekerasan atau pemaksaan hubungan seksual.

Dengan memasukan frasa tersebut, Mudzakkir memandang, berarti larangan tersebut bukan pada hubungan seksualnya. Sehingga, kata dia, jika ada delik kesusilaan seksual apapun bentuknya yang dilakukan dengan suka sama suka tidak termasuk yang dilarang.

Sedangkan dalam pandangan hukum Indonesia, kata dosen di Universitas Islam Indonesia ini, larangan ditujukan kepada yang melanggar kesusilaan seksual. Jika korban setuju berarti keduanya sebagai pelaku atau melanggar delik kesusilaan. “Jika korban tidak setuju berarti ada kekerasan atau pemaksaan. Pelakunya yang berbuat kekerasan dan korban bersifat pasif, maka pelakunya hanya melakukan kekerasan di bidang kesusilaan tersebut,” kata dia.

Pakar Hukum Tata Negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, menilai tuduhan bahwa Permendikbud 30 melegalkan zina terlalu mengada-ada.

Bivitri menjelaskan ranah pengaturan dalam Permendikbud 30 terbatas pada pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Hal-hal yang tidak diatur di dalamnya, bukan berarti boleh dilakukan.

Pakar Studi Islam dan Gender UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Nina Nurmila, menilai stigma legalisasi zina itu sesat pikir dan tidak tepat. Menurut dia, pemikiran semacam itu muncul karena kelompok penolak kurang memahami isi dan tujuan Permendikbud 30. “Saya kira perlu pihak penolak membaca secara utuh, memiliki pengetahuan yang jernih (mengenai) pentingnya dimasukkan frasa tanpa persetujuan korban,” ujar Nina.

Perwakilan Kongres Ulama Perempuan Indonesia Faqihuddin Abdul Qodir turut berpendapat bahwa para pengkritik yang menyimpulkan Permendikbud 30/2021 melegalkan zina, melihat sesuatu di luar konteks.

Qodir mencontohkan penggalan Surat An-Nur ayat 33 menyebut larangan memaksa perempuan melakukan pelacuran. "Lantas pertanyaannya, apakah kalau enggak dipaksa boleh? Kan enggak bisa ditafsirkan begitu. Karena ayat ini bicara soal paksaan. Bukan berarti boleh kalau enggak dipaksa. Jadi memahami di luar teks itu kadang-kadang bisa jadi berbahaya karena akan membuat pesannya itu tidak ketemu," kata Qodir.

Untuk itu, ia meminta pihak-pihak yang memiliki tafsir berbeda soal frasa ‘tanpa persetujuan korban’ dalam definisi kekerasan seksual dalam Permendikbud 30/2021, mawas diri. "Bisa jadi logika itu malah justru menyesatkan kita dari maksud utama Permen ini," ujarnya.

FRISKI RIANA | DEWI NURITA | ANTARA

Berita terkait

Nimas Sabella 10 Tahun Diteror Teman SMP yang Terobsesi, Komnas Perempuan: Termasuk KGBO

13 jam lalu

Nimas Sabella 10 Tahun Diteror Teman SMP yang Terobsesi, Komnas Perempuan: Termasuk KGBO

Nimas Sabella, wanita asal Surabaya, selama 10 tahun diteror pria yang terobsesi dengannya. Kisahnya viral di media sosial

Baca Selengkapnya

Mengenal IHA, Badan Baru yang Diluncurkan Kemendikbudristek

19 jam lalu

Mengenal IHA, Badan Baru yang Diluncurkan Kemendikbudristek

Dilansir dari laman Kemendikbudristek, salah satu langkah pertama yang telah dilakukan IHA adalah memperbarui Museum Song Terus di Pacitan, Jawa Timur

Baca Selengkapnya

Pansel KPK Tuai Perhatian dari Sejumlah Kalangan, Istana dan DPR Beri Respons

22 jam lalu

Pansel KPK Tuai Perhatian dari Sejumlah Kalangan, Istana dan DPR Beri Respons

Pembentukan Pansel Capim KPK menuai perhatian dari sejumlah kalangan. Pihak Istana dan DPR beri respons ini.

Baca Selengkapnya

Surati Jokowi Soal Pansel KPK, Muhammadiyah Sebut Istana Belum Respons

2 hari lalu

Surati Jokowi Soal Pansel KPK, Muhammadiyah Sebut Istana Belum Respons

PP Muhammadiyah belum mendapatkan balasan surat dari Jomowi soal usulan mereka mengenai pembentukan Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK.

Baca Selengkapnya

Greenpeace Kritik Rencana Bahlil Bagi-bagi Izin Tambang ke Ormas

2 hari lalu

Greenpeace Kritik Rencana Bahlil Bagi-bagi Izin Tambang ke Ormas

Greenpeace Indonesia mengkritik rencana Menteri Bahlil Lahadilia bagi-bagi izin tambang ke Ormas keagamaan.

Baca Selengkapnya

Bahlil akan Bagi Izin Tambang untuk Ormas, Bagaimana Sikap Muhammadiyah?

2 hari lalu

Bahlil akan Bagi Izin Tambang untuk Ormas, Bagaimana Sikap Muhammadiyah?

Menteri Bahlil berencana akan bagi-bagi izin usaha pertambangan (IUP) untuk Ormas. Bagaimana sikap Muhammadiyah?

Baca Selengkapnya

4 Permintaan Muhammadiyah ke Jokowi soal Pembentukan Pansel KPK

3 hari lalu

4 Permintaan Muhammadiyah ke Jokowi soal Pembentukan Pansel KPK

PP Muhammadiyah mengirimkan surat kepada Presiden Jokowi mengenai pembentukan Pansel KPK.

Baca Selengkapnya

Soal Mahasiswa dengan Orang Tua PNS Pasti Dapat UKT Tinggi, Ini Penjelasan Kemendikbudristek

3 hari lalu

Soal Mahasiswa dengan Orang Tua PNS Pasti Dapat UKT Tinggi, Ini Penjelasan Kemendikbudristek

Kemendikbudristek merespons isu soal isu mahasiswa dengan orang tua yang bekerja sebagai PNS dipukul rata mendapat UKT tertinggi.

Baca Selengkapnya

Izin Usaha pertambangan untuk Ormas, Tanggapan Walhi hingga Rentan Kerusakan Lingkungan

4 hari lalu

Izin Usaha pertambangan untuk Ormas, Tanggapan Walhi hingga Rentan Kerusakan Lingkungan

Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengatakan pemberian izin usaha pertambangan untuk ormas keagamaan tidak akan menjadi masalah

Baca Selengkapnya

Terpopuler: Jokowi Berlakukan Kelas Standar BPJS Kesehatan, Muhammadiyah Tanggapi Bagi-bagi Izin Tambang Ala Bahlil

5 hari lalu

Terpopuler: Jokowi Berlakukan Kelas Standar BPJS Kesehatan, Muhammadiyah Tanggapi Bagi-bagi Izin Tambang Ala Bahlil

Terpopuler: Jokowi memberlakukan kelas standar untuk rawat inap pasien BPJS Kesehatan, Muhammadiyah tanggapi bagi-bagi izin tambang untuk Orman.

Baca Selengkapnya