Garuda Indonesia di Ujung Tanduk
Reporter
Francisca Christy Rosana
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Kamis, 4 November 2021 22:24 WIB
TEMPO.CO, Jakarta – Pemerintah mencari jalan memutar untuk memperpanjang napas PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Bisnis maskapai penerbangan ekor biru itu sedang berada di ujung tanduk akibat jeratan utang jatuh tempo terhadap lessor senilai US$ 7 miliar atau setara dengan Rp 100,6 triliun.
Menteri Badan Usaha Milik Negara atau BUMN mengatakan maskapai akan memfokuskan bisnis penerbangan ke pasar domestik. Strategi ini merupakan salah satu rencana bisnis untuk menekan biaya operasional penerbangan sekaligus memperluas potensi segmen market dalam negeri.
Sedangkan untuk rute internasional, Garuda telah menjajaki kerja sama dengan maskapai Emirates agar tak kehilangan penumpang globalnya. “Bagaimanapun juga, kita tidak bisa tinggal diam, bukan? Yang namanya usaha dan mencari solusi harus tetap dipikirkan. Termasuk juga menyusun strategi dan fokus baru untuk bisnis penerbangan domestik Garuda," ujar Erick Thohir dalam pernyataan tertulisnya, Kamis, 4 November 2021.
Kerja sama antara Garuda dan Emirates ditandai dengan perjanjian code sharing. Kerja sama code sharing merupakan aksi bisnis maskapai yang memungkinkan dua perusahaan berbagi penjualan tiket penerbangan untuk satu kode yang sama.
Perjanjian ini secara resmi diteken oleh kedua perusahaan dalam pertemuan di Dubai, Uni Emirat Arab, Rabu, 3 November. Sembari berjalan, Garuda juga terus menjajaki renegosiasi dengan 31 lessor-nya.
Pada Agustus 2021 lalu, Garuda menyusun proposal renegosiasi untuk disetorkan kepada para lessor dan kreditur. Sebagai penunjang proposal, maskapai menyiapkan beberapa rencana bisnis. Penyusunan proposal dan proses negosiasi melibatkan lima konsultan sekaligus. Konsultan-konsultan itu meliputi McKinsey & Company, Gunggenheim Partners, Cleary Gottlieb, Assegaf Hamzah & Partners, dan PT Mandiri Sekuritas.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan proses restrukturisasi membutuhkan waktu cukup lama. “Kami inginnya cepat. Tapi kan tidak selalu gampang untuk melaksanakan negosiasi seperti ini,” ujar Irfan dalam pesan pendek kepada Tempo.
<!--more-->
Adapun perkembangan proses negosasi itu belum dapat diumumkan oleh perseroan lantaran masih bersifat unsettled atau belum pasti. Manajemen masih menjajaki komunikasi bersama para lessor-nya untuk memfinalkan proses negosiasi dengan skema restrukturisasi. Irfan memastikan sampai saat ini belum ada batas waktu yang ditetapkan untuk pengajuan proposal.
Garuda menghadapi tumpukan utang berlipat ganda untuk membayar sewa pesawat sebanyak 142 unit. Dalam rencana bisnisnya, perseroan ingin memangkas jumlah armadanya hingga 50 persen atau menjadi sekitar 70 unit guna menekan ongkos opersional.
Unit armada yang dimiliki maskapai saat ini dinilai tidak semua cocok dengan karakter perseroan sehingga menimbulkan kerugian. Pada awal 2021, Garuda telah mengakhiri kontrak secara dini dengan Nordic Aviation Capital (NAC) yang seharusnya berakhir pada 2027. Perusahaan menyewa 12 pesawat CRJ-1000 yang membebani keuangan perusahaan sekitar US$ 30 juta selama tujuh tahun terakhir.
Wakil Menteri II BUMN Kartika Wirjoatmodjo mengatakan proses restrukturisasi Garuda ditargetkan kelar pada kuartal kedua 2022. Pemerintah tidak ingin mempailitkan perseroan dan terus mencari opsi-opsi agar keuangan maskapai tersebut kembali sehat.
Untuk mempercepat proses restrukturisasi, maskapai membutuhkan tambahan dana senilai US$ 1 miliar atau sekitar Rp 14,32 triliun. "Saya harus menggaris-bawahi bahwa pemerintah tidak ingin mempailitkan Garuda. Yang kami lakukan adalah mencari cara untuk menyelesaikan persoalan utang, baik di luar proses pengadilan maupun di dalam pengadilan,” kata dia.
Perseroan pun menyiapkan berbagai skenario negosiasi utang. Misalnya, beralih ke instrumen obligasi konversi wajib atau pinjaman bank tanpa kupon. Seiring dengan proses negosiasi itu, kinerja maskapai terus didorong, baik dari sisi pendapatan penjualan tiket penumpang maupun penerbangan khusus kargo.
Berdasarkan data manajemen perusahaan, saat ini rata-rata jumlah tingkat keterisian penumpang telah bertambah. Jumlah pergerakan penumpang per November menembus 10 ribu per hari atau naik dua kali lipat ketimbang pada masa pengetatan perjalanan yang hanya mencapai 5.000 penumpang.
<!--more-->
Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Partai Gerindra, Andre Rosiade, mendesak agar pemerintah tidak memilih jalan menutup emiten berkode GIAA. Menurut Andre, pemerintah semestinya bisa memberikan dukungan total untuk menyelematkan Garuda seperti BUMN lain yang memiliki utang jumbo.
Dia mencontohkan langkah penyehatan berbagai perusahaan yang telah berhasil, seperti Krakatau Steel. Krakatau Steel sebelumnya tercatat memiliki utang sampai Rp 31 triliun. “Yang lain bisa restrukturisasi, seperti PTPN. Kemudian Waskita juga. Waskita bahkan bisa melakukan restrukturisasi dengan 21 bank. Jadi Garuda yang angkanya (utang) mirip-mirip kenapa enggak bisa?” tutur Andre.
DPR, kata Andre, segera memanggil Garuda dan Kementerian BUMN untuk menagih proposal renegosiasi dengan lessor. Pemanggilan dilaksanakan pada pekan kedua November atau menunggu Menteri BUMN tiba di Indonesia setelah melakukan perjalanan dinas ke Dubai.
Pengamat BUMN dari Universitas Indonesia, Toto Pranoto, menyebut Garuda Indonesia sedang masuk dalam situasi terburuk sepanjang sejarah operasi. Dia membandingkan kondisi Garuda dengan era 2000-an. Saat itu Garuda juga menghadapi krisis karena buruknya tata kelola manajemen dan salah urus perusahaan.
Ketimbang situai 20 tahun lalu, Toto melihat kondisi yang terjadi kali ini jauh lebih kompleks. “Garuda Indonesia menghadapi situasi dampak pandemi Covid-19 yang memberikan dampak signifikan terhadap keberlangsungan usaha industri penerbangan dunia,” ujar Toto.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA
BACA: Utang Garuda Indonesia Tembus Rp 100,6 Triliun