Harga Diturunkan, Mutu PCR Terancam Dikorbankan

Rabu, 27 Oktober 2021 20:58 WIB

Calon penumpang mendaftar untuk tes PCR secara drive thru di Terminal 3 Bandara Internasional Sukarno Hatta, Tangerang, Banten, Senin, 25 Oktober 2021. Percepatan hasil tes PCR ini sebagai upaya mendukung penumpang pesawat dalam memenuhi ketentuan tes RT-PCR. TEMPO/Tony Hartawan

TEMPO.CO, Jakarta - Rencana pemerintah memperluas ketentuan wajib PCR bagi pelaku perjalanan di dalam negeri semakin dekat setelah Kementerian Kesehatan menurunkan tarif tes PCR menjadi Rp 275 ribu Rp 275 ribu untuk pulau Jawa dan Bali, serta Rp 300 ribu untuk luar pulau Jawa dan Bali.

Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Abdul Kadir mengatakan penurunan harga itu dimungkinkan lantaran saat ini berbagai harga alat, bahan habis pakai, hingga hazat pun sudah turun.

"BPKP udah melakukan audit secara transparan, bahwa sekarang sudah terjadi penurunan harga," ujar Abdul Kadir dalam konferensi pers, Rabu 27 Oktober 2021.

Saat ini, hasil tes PCR baru ditetapkan menjadi syarat perjalanan bagi penumpang pesawat di wilayah Jawa-Bali dan di daerah PPKM level 3 dan 4 di luar Jawa-Bali. Abdul Kadir mengatakan syarat perjalanan itu diperlukan untuk memastikan kesehatan penumpang di tengah kenaikan mobilitas.

"Seandainya tanpa PCR dan ternyata lolos naik pesawat, maka semua penumpang di dalam pesawat dalam kondisi suspect atau probable sehingga semua yang ada dalam pesawat harus di karantina," ujar Kadir.

Advertising
Advertising

Rencana perluasan penerapan hasil tes PCR sebagai syarat perjalanan sebelumnya disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dalam konferensi pers Senin lalu.

Luhut mengatakan ketentuan itu akan berlaku untuk mengantisipasi lonjakan penularan pada periode libur Natal dan Tahun Baru. Berdasarkan hasil survey Balitbang Kemenhub, diperkirakan sekitar 19,9 juta orang akan melakukan perjalanan pada periode nataru. Adapun di Jabodetabek diperkirakan 4,45 juta orang melakukan perjalanan.

Untuk itu, Luhut mengatakan situasi tersebut perlu diimbangi dengan pengaturan protokol kesehatan yang ketat. "Secara bertahap penggunaan tes PCR akan juga diterapkan pada transportasi lainnya selama dalam mengantisipasi periode Nataru," ujar dia.

Bersamaan dengan rencana itu, Presiden Jokowi meminta agar harga PCR dapat diturunkan menjadi Rp 300 ribu dan berlaku selama 3x24 jam.

Meski telah ditetapkan turun, harga PCR tersebut dinilai masih memberatkan masyarakat. Kritik pun datang dari berbagai kalangan, salah satunya dari Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Puan Maharani.

<!--more-->

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Puan Maharani mengatakan bahwa harga tes PCR, yang rencananya diturunkan menjadi Rp 300 ribu dengan masa berlaku 3x24 jam, masih membebani masyarakat. Musababnya, harga tiket transportasi massal banyak yang lebih murah dari harga tes PCR.

Misalnya saja, saat ini ada tiket kereta api yang harganya di kisaran Rp 75 ribu untuk sekali perjalanan. Begitu pula dengan bus dan kapal laut. "Saya kira kurang tepat bila kemudian warga masyarakat pengguna transportasi publik harus membayar lebih dari 3 kali lipat harga tiket untuk tes PCR,” kata Puan, kemarin.

Puan memahami kebijakan tes PCR bagi semua pengguna moda transportasi bertujuan untuk mengantisipasi gelombang baru Covid-19. “Namun hendaknya harga PCR jangan lebih mahal dari tiket transportasi publik yang mayoritas digunakan masyarakat,” kata Puan.

Jika harga tes PCR masih lebih mahal dari tiket transportasi massal yang mayoritas digunakan masyarakat, Puan khawatir akan terjadi diskriminasi terhadap warga masyarakat.

Ketua Harian YLKI Tulus Abadi meminta pemerintah menurunkan harga tes PCR secara signifikan, misalnya hingga mencapai Rp 100 ribu, apabila hendak memperluas penggunaan hasil tes sebagai syarat perjalanan masyarakat.

"Sebab jika tarifnya masih Rp 300.000, mana mungkin penumpang bus suruh membayar PCR yang tarifnya lebih tinggi daripada tarif busnya itu sendiri?" ujar Tulus kepada Tempo, Selasa, 26 Oktober 2021.

Di sisi lain, Tulus mempertanyakan pengendalian mobilitas untuk para pengguna kendaraan pribadi. Pasalnya, ia melihat selama ini tidak ada pengendalian untuk para pengguna kendaraan pribadi.

Menurut dia, jika tak ada pengendalian yang konsisten dan setara, maka kebijakan tersebut adalah hal yang diskriminatif. "YLKI menyarankan tidak semua moda transportasi harus dikenakan PCR atau antigen, karena akan menyulitkan dalam pengawasannya," tutur Tulus.

Ia pun meminta agar pemerintah mengembalikan tes PCR untuk keperluan dan ranah medis. Sebab, Tulus melihat saat ini sudah banyak warga yang divaksinasi.

Senada dengan Tulus, Sekretaris Jenderal Organisasi Angkutan Darat (Organda) Ateng Aryono mengatakan rencana pemerintah memperluas penggunaan hasil tes PCR sebagai syarat perjalanan menjelang periode libur Natal dan Tahun Baru dapat memicu persoalan baru.

Persoalan itu misalnya beralihnya para penumpang ke kendaraan pribadi hingga angkutan gelap atau ilegal. "Kita kan tahu 1,5 tahun lebih pandemi kisah itu seperti memutar kaset lama. Lebaran disekat sekian ratus titik juga jebol. Ironis," ujar Ateng.

Tambahan biaya untuk tes PCR, kata Ateng, akan membebani mereka. Apalagi, dibandingkan dengan harga tiket angkutan jalan, tarif tes PCR menjadi relatif tinggi.

"Harga tiket saja hanya berapa ratus ribu. kalau dibebani itu lagi akan jadi berat. Kalau berat, mereka bisa beralih ke mobil pribadi maupun kendaraan gelap yang tidak memakai syarat, kendaraan ilegal. Kalau itu yang terjadi ya percuma," tutur Ateng.

<!--more-->

Tak hanya dari segi konsumen, Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik dan Laboratorium Indonesia (PDS PatKLln) pun mengkritik kebijakan tersebut. Ketua PDS Patklin, Aryati, khawatir upaya pemerintah menekan harga batas tes malah mengorbankan kualitas tes.

"Daripada mengorbankan kualitas dan keamanan maka ya mending enggak usah (pakai) tes PCR lah," ujar Aryati. Ia mengatakan pemerintah semestinya memperketat pelaksanaan protokol kesehatan, termasuk pada fasilitas transportasi, untuk memastikan kesehatan para pejalan.

Menurut Aryati, turunnya batas harga tes PCR itu membuat pilihan penggunaan alat PCR menjadi terbatas. Misalnya, penggunaan alat PCR dengan sistem tertutup atau closed system yang sangat meminimalisasi kontaminasi, akan tidak masuk secara harga.

Pasalnya, menurut dia, untuk satu cartridge saja, biayanya mencapai Rp 550 ribu. Belum lagi ditambah dengan biaya-biaya lainnya seperti listrik hingga sumber daya manusia.

"Jadi ada beberapa alat bagus berkualitas yang Closed System yang ekstraksi dan deteksi PCR dlm satu alat pengerjaannya, di running dengan minimalisasi jumlah SDM-nya. Tapi harganya dengan Rp 495 ribu saja belum masuk. Jadi memang alat-alat tertentu akhirnya jadi enggak bisa dipakai," ujar Aryati.

Seperti diketahui, sebelum ditetapkan turun menjadi Rp 275 ribu per tes, harga tes PCR adalah Rp 475 ribu di Jawa dan Bali. Aryati mengatakan lembaganya sebelumnya sudah audiensi terkait persoalan itu sejak pemerintah menurunkan harga batas tes dari Rp 900 ribu menjadi Rp 495 ribu, namun tidak ada tindak lanjutnya. "Malah sekarang diturunkan jadi Rp 300 ribu."

PDS PatKlin sebelumnya menjelaskan ada dua sistem pengerjaan PCR, yaitu sistem terbuka dan sistem tertutup. Sistem terbuka dapat menggunakan reagen apa saja, tidak perlu berasal dari produk yang sama dengan alat ekstraksi maupun alat PCR. Namun, sistem terbuka dikerjakan secara manual, membutuhkan waktu yang lama, serta perlu ketelitian yang tinggi.

Sementara, sistem tertutup harus menggunakan reagen dari produk yang sama dengan alat ekstraksi maupun alat PCR. Sistem ini bekerja secara otomatis serta waktu pengerjaannya lebih singkat. Karena itu, sistem terbuka lebih murah dibandingkan dengan sistem tertutup. Namun, sistem terbuka tetap memerlukan biaya pemeriksaan yang tidak murah.

Epidemiolog dari Griffith University, Dicky Budiman menilai pemerintah tidak tepat dalam memilih strategi tes untuk kesehatan masyarakat, sehingga menimbulkan dilema. Pasalnya, tes PCR sejatinya adalah untuk diagnosa klinis atau tes konfirmasi setelah adanya skrining.

"Jadi PCR itu untuk konteks saat ini tidak tepat, tidak efektif untuk dijadikan strategi kesehatan massal," ujar Dicky.

Ia mengatakan persoalan itu bukan berasal dari efektivitasnya yang diragukan, melainkan secara cost effective dan kontinuitas secara strategi kesehatan masyarakat hal itu tidak mumpuni dan bukan pilihan terbaik saat ini. Menurut dia, lebih baik pemerintah mengizinkan kembali penggunaan hasil rapid test antigen sebagai syarat perjalanan.

"PCR harusnya tes konfirmasi atau diagnostik. karena kalau dipaksakan pun publik tidak mampu karena tidak cost effective, belum keterbatasan waktu dan sumber daya. Kualitas menjadi masalah," ujarnya. Dengan persoalan itu, ia khawatir langkah pemerintah justru menimbulkan perkara baru.

Soal kualitas tes, Dirjen Pelayanan Kesehatan Kemenkes Abdul Kadir mengatakan BPKP sudah melakukan investigasi di lapangan tentang ketersediaan BHP di Indonesia. "Kita bisa menjamin alat-alat dan BHP tersedia, sehingga tidak ada alasan RS dan faskes tidak lakukan pemeriksaan PCR," ujar dia.

Ia mengatakan pemerintah juga akan melakukan pengawasan dan pembinaan untuk memastikan laboratorium mengikuti ketentuan Kemenkes. Apabila laboratorium itu pada akhirnya tidak mengikuti ketentuan pemerintah, khususnya dari sisi tarif, maka bisa diberi sanksi seperti penutupan laboratorium dan pencabutan izin operasional.

Sementara itu, juru bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengatakan pemerintah terus berkoordinasi dengan produsen serta lembaga terkait mengenai implementasi kebijakan testing untuk mengefisienkan harga semaksimal mungkin. Sehingga, tes itu semakin terjangkau bagi masyarakat.

Sejalan dengan itu, juru bicara Kementerian Perhubungan Adita Irawati mengatakan ketentuan syarat perjalanan hingga saat ini masih dibahas bersama kementerian dan lembaga terkait, dengan koordinasi dari Kementerian Koordinator Bidang Kemariman dan Investasi. "Kami akan ikuti hasil pembahasan tersebut," ujar dia.

CAESAR AKBAR

BACA: Harga Turun ke Rp 275 Ribu, Wajib Tes PCR Diperluas ke Moda Transportasi Lain?

Berita terkait

Bea Masuk Barang Impor Disoal, YLKI juga Mendapat Aduan

6 hari lalu

Bea Masuk Barang Impor Disoal, YLKI juga Mendapat Aduan

Bea Cukai sedang disorot karena kasus bea masuk impor yang mahal. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengungkapkan ada sejumlah aduan serupa.

Baca Selengkapnya

Terpopuler: YLKI Minta Pinjol Ilegal Diberantas, Menteri Budi Arie Sebut Judi Online Hantu

8 hari lalu

Terpopuler: YLKI Minta Pinjol Ilegal Diberantas, Menteri Budi Arie Sebut Judi Online Hantu

Berita terpopuler Tempo: YLKI menuntut pemberantasan Pinjol ilegal, Menkominfo Budi Arie sebut judi online seperti hantu.

Baca Selengkapnya

Terpopuler: YLKI Minta Akar Pinjol Ilegal Diberantas, Menteri Budi Arie Sebut Judi Online Hantu

8 hari lalu

Terpopuler: YLKI Minta Akar Pinjol Ilegal Diberantas, Menteri Budi Arie Sebut Judi Online Hantu

Berita terpopuler Tempo: YLKI menuntut pemberantasan Pinjol ilegal, Menkominfo Budi Arie sebut judi online seperti hantu.

Baca Selengkapnya

YLKI Kirim Surat ke Satgas Pasti, Minta Pemberantasan Pinjol Sampai ke Akarnya

8 hari lalu

YLKI Kirim Surat ke Satgas Pasti, Minta Pemberantasan Pinjol Sampai ke Akarnya

Kabid Pengaduan YLKI Rio Priambodo mengungkapkan, lembaganya telah mengirim surat kepada Satgas Pasti terkait aduan konsumen Pinjol ilegal.

Baca Selengkapnya

YLKI: Pemerintah Mesti Lebih Tegas Menindak Pinjol Ilegal, hingga Mengusut Aliran Dana dan Investor

9 hari lalu

YLKI: Pemerintah Mesti Lebih Tegas Menindak Pinjol Ilegal, hingga Mengusut Aliran Dana dan Investor

Satgas Pasti menemukan 537 entitas pinjol ilegal di sejumlah situs dan aplikasi sepanjang Februari hingga Maret 2024.

Baca Selengkapnya

Leptospirosis Penyakit Langganan Musim Hujan, Seberapa Berbahaya?

39 hari lalu

Leptospirosis Penyakit Langganan Musim Hujan, Seberapa Berbahaya?

Leptospirosis adalah penyakit yang kerap muncul setiap musim hujan, terutama di daerah yang rawan banjir dan genangan air. Seberapa berbahaya?

Baca Selengkapnya

Pembatasan BBM Bersubsidi Samarkan Kenaikan Harga, YLKI Dorong Subsidi Tertutup

54 hari lalu

Pembatasan BBM Bersubsidi Samarkan Kenaikan Harga, YLKI Dorong Subsidi Tertutup

Pengurus YLKIAgus Suyatno menilai kebijakan pembatasan BBM bersubsidi jenis Pertalite dan Bio Solar distorsi terminologi kenaikan harga.

Baca Selengkapnya

Pembelian Pertalite Akan Dibatasi, YLKI: Daya Beli Konsumen Terpukul

54 hari lalu

Pembelian Pertalite Akan Dibatasi, YLKI: Daya Beli Konsumen Terpukul

Pengurus Harian YLKI Agus Suyatno menilai kebijakan pembatasan pembelian BBM subsidi seperti Pertalite ini akan memukul daya beli konsumen.

Baca Selengkapnya

Konser Ed Sheeran Pindah dari GBK ke JIS H-2 Minggu, Penggemar Mengadu ke YLKI

17 Februari 2024

Konser Ed Sheeran Pindah dari GBK ke JIS H-2 Minggu, Penggemar Mengadu ke YLKI

Sejumlah pembeli tiket konser Ed Sheeran di Jakarta kecewa dan minta refund ke promotor karena lokasinya tidak sesuai dengan yang dijanjikan di awal.

Baca Selengkapnya

Terkini: Anies dan Ganjar Kompak Sindir Politisasi Bansos di Depan Prabowo, Ide BUMN Jadi Koperasi Pengamat Sebut Pernyataannya Dipelintir

5 Februari 2024

Terkini: Anies dan Ganjar Kompak Sindir Politisasi Bansos di Depan Prabowo, Ide BUMN Jadi Koperasi Pengamat Sebut Pernyataannya Dipelintir

Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan kompak menyindir politisasi bantuan sosial atau Bansos di depan Prabowo Subianto dalam debat Capres terakhir.

Baca Selengkapnya