Bahaya Perwira Tinggi TNI-Polri Jadi Penjabat Gubernur
Reporter
Friski Riana
Editor
Aditya Budiman
Senin, 27 September 2021 19:31 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah membuka peluang penjabat gubernur atau kepala daerah diisi perwira tinggi TNI-Polri pada masa transisi Pilkada 2024. Tahun depan, setidaknya ada tujuh kursi gubernur yang kosong karena sudah habis masa jabatannya.
Posisi ini akan diisi oleh penjabat gubernur hingga Pilkada 2024. Kemudian, pada 2023 akan ada 13 kursi kepala daerah lagi yang kosong.
Rencana ini dikhawatirkan akan memunculkan dwifungsi ABRI. “Jangan apa-apa TNI-Polri, nanti orang akan berpikir berarti dwifungsi ABRI ada lagi,” kata pakar hukum tata negara Universitas Padjadjaran Susi Dwi Harijanti kepada Tempo, Senin, 27 September 2021.
Susi mengatakan reformasi menginginkan agar militer tidak lagi melaksanakan dwifungsi, tetapi menjalankan fungsi utamanya yang diatur dalam UUD 1945. Berdasarkan Pasal 30 UUD 1945, fungsi utama TNI adalah sebagai alat negara yang bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.
Sedangkan fungsi utama Polri sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.
Menjadi penjabat gubernur atau kepala daerah, kata Susi, bukanlah fungsi utama TNI dan Polri. Karena itu, ia mempertanyakan penunjukan perwira tinggi TNI-Polri sebagai penjabat daerah akan mengganggu fungsi utamanya atau tidak.
Kritikan juga datang dari Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati. Ia mengingatkan pemerintah agar tak mengangkat anggota TNI atau polisi aktif sebagai penjabat gubernur. Kekhawatirannya adalah soal netralitas, apalagi nanti akan menjabat sampai 2024," ujar Khoirunnisa.
Pemerintah pernah beberapa kali menunjuk perwira TNI/Polri sebagai penjabat kepala daerah. Misalnya, saat menunjuk Mayjen TNI Soedarmo sebagai Penjabat Gubernur Aceh dan Inspektur Jenderal Carlo Tewu sebagai Penjabat Gubernur Sulawesi Barat. Kemudian, pemerintah pernah mengangkat Komjen Mochamad Iriawan menjadi penjabat Gubernur Jawa Barat.
<!--more-->
Khoirunnisa berharap preseden buruk tersebut tidak berulang. "Ini sangat disayangkan. Kalau memang stok pejabat madya di Kementerian Dalam Negeri sudah habis, sebetulnya kan bisa mencari pejabat madya di Kementerian lain seperti Kemenpan-RB, Polhukam atau Kumham," kata dia.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKS, Mardani Ali Sera, meminta pemerintah memikirkan kembali rencana tersebut. Ia juga menyampaikan bahwa pengalaman dwifungsi ABRI di masa lalu perlu jadi pelajaran.
Menurut Ketua DPP PKS ini, ada perbedaan mendasar pengabdian antara sipil dan TNI/Polri. Misalnya, pola komando yang melekat pada TNI/Polri dengan pola pelayanan yang biasa melekat pada birokrat.
Posisi kepala daerah yang diisi pelaksana tugas dalam waktu lama juga dinilai berbahaya bagi stabilitas dan kualitas pelayanan publik. Mardani menjelaskan, tanpa legitimasi pemilu dan dukungan partai politik, penjabat kepala daerah dari kalangan TNI/Polri tidak memiliki posisi politik yang kuat. “Padahal menjabat sebagai pimpinan daerah,” ujar Mardani.
Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Benni Irwan mengatakan, pemerintah dalam menunjuk penjabat kepala daerah mengikuti aturan yang tertera dalam Pasal 201 UU Nomor 10 Tahun 2016. "Penjabat Gubernur berasal dari Pejabat Pimpinan Tinggi Madya atau setingkat eselon 1," kata Benni.
Ia tak menampik bahwa anggota TNI/Polri yang telah menduduki jabatan pimpinan tinggi madya di instansi pusat, bisa saja menjadi penjabat Gubernur. Namun, kata Benni, ihwal penjabat kepala daerah yang akan mengisi kekosongan jabatan menjelang Pilkada 2024 belum dibahas sampai saat ini. "Terkait hal itu, untuk Pilkada 2024, hingga saat ini belum ada pembahasan di Kemendagri," katanya.
Baca juga: TNI-Polri Jadi Penjabat Kepala Daerah, Ini Kekhawatiran Sufmi Dasco
FRISKI RIANA | DEWI NURITA