Berburu Aset Obligor BLBI, Berharap Cepat Penagihan Utang
Reporter
Caesar Akbar
Editor
Martha Warta Silaban
Kamis, 9 September 2021 16:35 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Sudah sekitar tiga pekan sejak Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia alias Satgas BLBI mulai mengumumkan pemanggilan para obligor dan debitur BLBI melalui surat kabar.
Pemanggilan dilakukan untuk menagih utang para obligor dan debitur kepada negara. "Kalau sudah dipanggil lewat koran, artinya sudah dua kali tidak datang," kata Ketua Satgas BLBI Rionald Silaban saat ditemui di kantornya, Selasa, 7 September 2021.
Tempo mencatat panggilan yang diumumkan melalui surat kabar ditujukan antara lain kepada bekas pemilik Bank Pelita Istimarat Agus Anwar; pengurus PT Timor Putra Nasional, Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto dan Ronny Hendrarto Ronowicaksono; bekas petinggi PT Bank Umum Nasional Kaharudin Ongko; dan bekas petinggi Bank Asia Pacific, Setiawan Harjono dan Hendrawan Harjono.
Dua mantan bos Aspac itu diminta untuk menghadap ke Kantor Kementerian Keuangan, pada Kamis, 9 September 2021. Namun sumber Tempo menyebutkan mereka tidak hadir.
Pemerintah memang membidik pemulihan hak negara senilai Rp 110,45 triliun. Berdasarkan data dalam dokumen penanganan hak tagih negara dana BLBI tertanggal 15 April 2021, aset yang dikejar bermacam-macam, antara lain aset properti Rp 8,06 trilium, aset kredit Rp 101,8 trilium, aset saham Rp 77,9 miliar, aset nostro Rp 5,2 miliar, aset surat berharga Rp 489,4 miliar, dan aset inventaris Rp 8,47 miliar.
Adanya pemanggilan melalui surat kabar tak serta merta membuat para obligor dan debitur itu mendatangi Satgas di Kantor Kementerian Keuangan. Misalnya saja pada pemanggilan Kaharudin Ongko untuk menagih utang Rp 8,2 triliun. Sejak waktu yang ditentukan, yaitu pada Selasa, 7 September 2021 pukul 10.00 WIB hingga malam, tidak tampak kehadiran Kaharudin di Kantor Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.
Kaharudin sebelumnya diketahui tengah berada di Singapura. "Yang kita tahu dia ada di Singapura. Pemanggilan sudah kami lakukan melalui perwakilan kami," ujar dia. Berdasarkan pengumuman yang dipasang surat kabar, salah satu alamat Kaharudin adalah di 8A Paterson Hill #09-02 Singapura 238568.
Begitu pula sebelumnya, pada pemanggilan putra Presiden Kedua RI Soeharto, Tommy Soeharto. Tommy tidak menghadiri panggilan ketiganya itu. Namun, kala itu Ketua Satgas BLBI Rionald Silaban mengatakan kuasa hukum Tommy hadir di kantornya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan akan terus memantau pemanggilan obligor maupun debitur penerima BLBI tersebut. Ia mengakui bahwa ada saja obligor maupun debitur BLBI yang tidak langsung datang ketika dipanggil Satgas.
"Bila dipanggil satu kali tidak ada respons, dua kali tidak ada respons, maka memang kami mengumumkan ke publik siapa saja beliau itu dan kemudian akan dilakukan langkah selanjutnya," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers, Jumat, 27 Agustus 2021.<!--more-->
Sri Mulyani mengatakan selama ini pemanggilan pertama kali dan kedua kali dilakukan secara personal atau tidak dipublikasikan kepada masyarakat. Sebab, ia mereka masih dianggap memiliki niat baik dan mau menyelesaikan perkara tersebut. "Yang paling penting adalah mendapatkan kembali hak tagih pemerintah atas bantuan likuiditas Bank Indonesia yang diberikan lebih dari 22 tahun lalu," ujar dia.
Pengejaran terhadap obligor itu pun, kata Sri Mulyani, akan dilakukan termasuk kepada obligor dan debitur yang berada di luar negeri. Tak hanya itu, ia akan menguber para obligor dan debitur hingga ke keturunannya untuk mendapatkan kembali hak negara.
“Karena barangkali usahanya sudah diteruskan oleh keturunannya. Jadi kita akan bernegosiasi dan berhubungan dengan mereka untuk mendapatkan kembali hak negara,” kata Sri Mulyani.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md menyebut langkah tegas akan diambil jika para obligor dan debitur mangkir dari pemanggilan lebih dari tiga kali.
"Dipanggil tiga kali tidak datang ya kita lakukan upaya-upaya lain. Bahkan kalau di dalam hukum perdata itu, bisa juga dengan gijzeling (penahanan paksa badan). Kalau terpaksa dilakukan itu," kata Mahfud Jumat, 27 Agustus 2021 di Karawaci, Tangerang.
Tak hanya itu, Mahfud juga menyebut para obligor dan debitur ini bisa dinilai wanprestasi jika masih juga tak mau memenuhi panggilan. Ia menegaskan Satgas BLBI memiliki kuasa untuk menentukan hal ini. "Kalau pada saatnya titik tertentu nanti ditentukan oleh Satgas kok tidak jelas, kalau sudah wanprestasi itu artinya sudah melanggar hukum lah. Kita akan ke sana nanti," kata Mahfud Md.
Hingga saat ini, pemerintah telah mengamankan 49 bidang tanah seluas 5,2 juta meter persegi milik obligor maupun debitur penerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Pada tahap berikutnya, Satgas BLBI telah merencanakan penguasaan dan pengawasan aset eks BLBI atas 1.672 bidang tanah dengan luas total sekitar 15.288.175 meter persegi, yang tersebar di berbagai kota/kabupaten di Indonesia.
Pemerintah mencatat hak negara Rp 110 triliun itu akan ditagih kepada 22 obligor. Namun, berdasarkan dokumen yang diterima Tempo, pemerintah memiliki daftar obligor atau debitur yang masuk ke dalam prioritas penanganan.
Tujuh obligor yang masuk ke dalam daftar prioritas penanganan tersebut antara lain Trijono Gondokusumo dari Bank Putra Surya Perkasa. Dia tercatat memiliki utang Rp 4,89 triliun. Dasar utang tersebut adalah akta pengakuan utang atau APU. Berdasarkan keterangan di dokumen tersebut, telah ada jaminan atas utang Trijono, namun tidak cukup.<!--more-->
Berikutnya adalah Kaharudin Ongko dari Bank Umum Nasional. Kaharudin tercatat memiliki utang Rp 7,83 triliun. Dasar utang tersebut adalah Master of Refinancing and Notes Issuance Agreement atau MRNIA. Kaharudin juga tercatat telah menyerahkan jaminan, namun tidak cukup.
Obligor lain yang masuk daftar prioritas adalah Sjamsul Nursalim dari Bank Dewa Rutji. Sjamsul tercatat memiliki utang kepada negara sebesar Rp 470,66 miliar. Dasar utang tersebut dalah Laporan Keuangan Bank dan LHP BPK. Hingga saat ini, tidak ada jaminan yang dikuasai negara atas utang Sjamsul. Namun, diperkirakan Sjamjul mampu melunasi utang tersebut.
Pada awal tahun ini, Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan Perkara (SP3) terhadap Sjamsul Nursalim dan istri-nya Itjih Nursalim. SP3 tersebut adalah SP3 pertama sepanjang berdirinya institusi penegak hukum tersebut, dan mendapat landasan hukum berdasarkan Undang-undang No. 19 tahun 2019 tentang Revisi UU KPK.
Selanjutnya, Satgas juga memprioritaskan Sujanto Gondokusumo dari Bank Dharmala. Sujanto tercatat memiliki utang Rp 822,25 miliar. Utang tersebut didasari laporan Keuangan Bank dan LHP BPK. Negara tak menguasai jaminan dari utang Sujanto, namun dia diperkirakan memiliki kemampuan untuk melunasi utang.
Obligor lainnya yang masuk daftar prioritas adalah Hindarto Tantular dan Anton Tantular dari Bank Central Dagang. Dua orang ini tercatat memiliki utang Rp 1,47 triliun. Utang tersebut didasari Laporan Keuangan Bank dan LHP BPK. Tercatat, tidak ada jaminan yang dikuasai negara. Namun, Hindarto dan Antor diperkirakan mempunyai kemampuan untuk melunasi utangnya.
Berikutnya, Satgas juga memprioritaskan debitur bernama Marimutu Sinivasan dari Group Texmaco. Ia tercatat memiliki utang Rp 31,72 triliun dan US$ 3,91 miliar. Dasar utang tersebut adalah surat PPA. Tercatat bahwa telah ada jaminan atas utang tersebut, tapi tidak cukup.
Nama terakhir yang masuk daftar prioritas adalah Siti Hardianti Rukmana alias Tutut Soeharto. Tercatat perusahaan Tutut antara lain PT Citra Cs, PT Citra Mataram Satriamarga, PT Marga Nurindo Bhakti, dan Pt Citra Bhakti Margatama Persada.
Tutut tercatat memiliki utang Rp 191,62 miliar, Rp 472,48 miliar, Rp 14,79 miliar, dan US$ 6,52 juta. Dokumen menyebutkan bahwa tak ada jaminan aset atas utang ini. Adapun jaminan hanya berupa SK Proyek.
Melihat persoalan tersebut, Wakil Ketua Komisi Keuangan Amir Uskara mengatakan Satgas BLBI perlu mendapat dukungan dalam proses penyidikan dan penyitaan aset para obligor. "Apakah dia konglomerat atau tokoh politik, selama punya keterkaitan dengan BLBI wajib memenuhi panggilan Satgas BLBI," ujar Amir, Kamis, 9 September 2021.<!--more-->
Menurut dia, supremasi hukum harus ditegakkan dalam penanganan kasus ini. Sehingga, negara tidak boleh kalah dari para pengemplang dana BLBI. Untuk itu, ia menyarankan perlu adanya pendataan yang akurat lantaran aset-aset tersebut tersebar.
Perlu ada pencocokan data misalnya dari laporan pajak seperti SPT, data tax amnesty, sampai data rekap transaksi keuangan perbankan dan PPATK. "Dari hasil integrasi data akan memudahkan langkah satgas dalam menyelesaikan hak tagih hingga proses penyitaan," kata dia.
Ia berharap proses penagihan itu bisa cepat. Apalagi, pemerintah saat ini memerlukan dana segar untuk menutup defisit APBN 2021 yang cukup besar. Selain itu, semakin cepat proses pengejaran dan penyitaan akan semakin bagus untuk menutup ruang penghilangan atau pengalihan aset.
Direktur Indonesia Development and Islamic Studies atau IDEAS, Yusuf Wibisono, mengatakan kendala yang dihadapi Satgas BLBI sebenarnya sudah banyak diduga sejumlah kalangan. Ia mengatakan Satgas akan menemui berbagai kesulitan lantaran tidak dibekali perangkat hukum yang kuat dan memadai.
Yusuf mengatakan kelemahan utama penegakan hukum terkait korupsi di Indonesia selama ini adalah karena hanya berfokus pada pelaku korupsi-nya, bukan pada upaya pengembalian kerugian negara-nya. "Akibatnya banyak kerugian negara yang gagal direcovery, terlebih ketika si pelaku korupsi sudah menjalani hukuman atau kasusnya dihentikan," kata dia.
Mekanisme penggantian kerugian negara sebenarnya sudah ada, seperti dengan mekanisme uang pengganti, penyitaan aset dalam tindak pidana pencucian uang (TPPU), gugatan ganti rugi, hingga pengembalian secara administrasi. Namun, menurut dia, implementasinya umumnya lemah dan sering gagal mengambil aset para koruptor. Apalagi aset para pelaku rasuah seringkali sudah mengalami banyak penyamaran, berpindah tangan, pencucian aset hingga dilarikan ke luar negeri.
"Menjadi penting bagi kita untuk segera mengesahkan UU Perampasan Aset. Dengan UU ini fokus-nya adalah pengembalian kerugian negara dengan cara merampas aset terpidana yang diperoleh dari korupsi. Singkatnya, memiskinkan si koruptor," kata Yusuf.
Baca Juga: Bahas Dana BLBI Rp 147,7 Triliun, Dahlan Iskan: Terjadi Kejahatan Masal