Di Bawah Taliban, Akan Jadi Seperti Apa Afghanistan?
Reporter
Tempo.co
Editor
Istman Musaharun Pramadiba
Selasa, 17 Agustus 2021 18:05 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Prediksi Amerika soal Taliban dan Afghanistan meleset. Afghanistan bukannya berhasil menundukkan invasi Taliban, tetapi malah menjadi yang ditundukkan. Senin kemarin, perang Afghanistan dan Taliban resmi berakhir dengan jatuhnya Kabul ke tangan kelompok pemberontak tersebut.
Sekarang, situasi di Afghanistan kacau. Warga di berbagai kota berbondong-bondong mencoba kabur ke negara lain. Di Kabul, warga menyerbu bandara internasional, mencoba masuk ke pesawat apapun yang disediakan untuk evakuasi. Beberapa di antaranya bahkan sampai bergelantungan di pesawat karena tidak mendapat tempat.
Mereka takut hidup di Afghanistan di bawah Taliban. Rekam jejak Taliban yang diwarnai terorisme dan pelanggaran HAM adalah penyebab utamanya. Salah satu yang tidak percaya adalah Ameneh.
Di usia 12 tahun, Ameneh dijodohkan paksa dengan pedagang afiliasi Taliban. Ia dipaksa mengikuti Syariah Islam. Ketika Amerika masuk ke Afghanistan pada 2001, ia bahagia karena bisa bebas dari aturan-aturan tersebut. Dirinya tak menyangka 20 tahun kemudian dirinya terancam harus mengalaminya lagi.
"Saya membuang Burka saya 20 tahun lalu dan saya tidak mau dilecehkan lagi ataupun dipaksa untuk menikahi seseorang," ujar Ameneh, yang mencoba kabur dari Afghanistan, dikutip dari Financial Times.
<!--more-->
Ameneh dan kebanyakan warga Afghanistan wajar was was. Taliban terlalu lama memiliki rekam jejak yang mengkhawatirkan. Sepanjang periode 1996-2001 sebelum Amerika masuk ke Afghanistan untuk War on Terror, mereka menerapkan kebijakan garis keras yang mengancam hak asasi manusia. Perempuan adalah korban utamanya.
Perempuan Afghanistan, di tahun 90an, dilarang Taliban pergi ke sekolah. Mereka juga dilarang keluar dari rumah tanpa pasangan dan diwajibkan untuk mengenakan burka. Oleh berbagai pihak, mereka dipandang dan diperlakukan lebih seperti properti. Ketika Amerika masuk dan memukul mundur Taliban, hal itu secara gradual hilang seiring dengan meningkatnya akses perempuan ke pendidikan dan bisnis.
Batasan-batasan terhadap hak perempuan baru sebagian di antaranya. Taliban 90an juga dikenal membatasi akses terhadap informasi serta memberangus kebebasan berekspresi. Saat itu, posisi mereka kuat karena mendapat pendanaan dari negara-negara Teluk Arab serta penyandang dari agensi intelijen Pakistan menurut analisis CNN.
Hal itu belum menghitung hubungan mereka dengan kelompok teroris Al Qaeda. Keduanya berhubungan dekat karena pernah sama-sama berjuang melawang okupasi Soviet pasca 1979. Pertanyaan besarnya sekarang, apakah semua ciri-ciri itu akan dipertahankan?
<!--more-->
Taliban, tak lama usai meraih Kabul, berjanji akan menghargai HAM warga Afghanistan, tak terkecuali perempuan maupun minoritas. Mereka pun bersedia membuka jalur komunikasi diplomatik ke banyak negara, menunjukkan niat baik bahwa Taliban kali ini berbeda dan Afghanistan akan merasakan perubahannya.
"Kami meminta semua negara dan entitas untuk duduk bersama dan menyelesaikan permasalahan di antara kita."
"Kami sudah mencapai apa yang kami inginkan, yaitu kemerdekaan Afghanistan dan kemerdekaan warga kami. Kami tidak akan mengizinkan siapapun menduduki wilayah kami untuk mengincar siapapun. Kami juga tidak ingin menyakiti siapapun," ujar jubir Taliban Mohammad Naeem, Ahad.
Tanda-tanda untuk memenuhi janji itu ada, bahkan sebelum Taliban berhasil menduduki Kabul. Menurut laporan CNN, di beberapa provinsi yang mereka kuasai, Taliban sudah mengubah sebagian pendekatannya. Perempuan mereka beri kebebasan, walau terbatas.
Selain itu, hubungan dengan kelompok teroris juga sudah dipangkas. CNN melaporkan, lima tahun terakhir Taliban berperan menahan upaya ISIS di Afghanistan untuk memperkuat pengaruhnya. Walau begitu, menurut laporan PBB, Taliban masih menjaga hubungan dengan Al Qaeda karena sejarah mereka berdua.
Perubahan itu, sayangnya, belum luas.
<!--more-->
Financial Times melaporkan, sejumlah program televisi dari Turki dan India, termausk opera sabun, mendadak hilang. Mereka digantikan program-program Islami.
Herat Times, media anti-Taliban yang beroperasi via Telegram, mengklaim seorang pejabat Taliban menyebut peran perempuan di pemerintahan akan merepotkan. Oleh karenanya, menurut Taliban, para perempuan akan lebih diberdayakan di sektor kesehatan dan pengajaran.
Di Herat, seorang warga mengklaim tidak diperbolehkan masuk ke universitas tempat ia mengajar. Kata petugas yang berjaga, apakah dia masih bisa mengajar atau tidak bergantung pada keputusan Taliban. "Kami tidak tahu apa yang akan terjadi pada kami," ujar perempuan yang enggan disebutkan namanya.
Mantan Wakil Presiden Indonesia Jusuf Kalla, yang pernah menjadi negosiator dalam perundingan Afghanistan - Taliban, mencoba optimistis. Di satu sisi, ia percaya bahwa Taliban tidak akan memicu pertumpahan darah maupun perang saudara baru. Ia juga yakin Taliban tak akan mengusik kantor-kantor diplomatik pasca kemenangannya. Namun, di luar kedua isu itu, ia memilih wait and see.
“Baik Taliban maupun Pemerintah Afghanistan sama-sama meyakini bahwa mereka bersaudara dan tidak akan memerangi negara yang sudah ditinggalkan oleh tentara Amerika Serikat,” kata Jusuf Kalla dalam keterangannya, Senin, 16 Agustus 2021.
Kementerian Luar Negeri Amerika, dalam keterangan persnya, menyatakan siap mengakui Taliban jika memang mereka bisa menepati janjinya untuk menghormati hak asasi manusia. Jika tidak, maka akan ada sanksi untuk mereka.
Namun, melihat belum jelasnya upaya Taliban untuk melakukan perubahan, menjadi tak terhindarkan warga dan komunitas internasional belum percaya Taliban sudah berubah. Mereka masih menyakini Taliban akan membawa Afghanistan kembali ke masa suram.
Baca juga: Amerika Beri Syarat ke Taliban Jika Ingin Diakui Sebagai Pemerintah Afghanistan
ISTMAN MP | REUTERS | CNN | FINANCIAL TIMES