Bila PPKM Tak Diperpanjang, Indonesia Harus Bagaimana?
Reporter
Egi Adyatama
Editor
Amirullah
Minggu, 1 Agustus 2021 18:44 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 4 akan berakhir pada 2 Agustus 2021 besok. Hingga saat ini, pemerintah masih belum memastikan apakah regulasi penanggulangan penyebaran Covid-19 itu akan diperpanjang atau tidak.
PPKM Level 4 merupakan kelanjutan dari PPKM Darurat yang sebelumnya telah berjalan 3 pekan sejak 3 Juli 2021. Niatnya, aturan ini menekan tingkat mobilitas masyarakat, agar risiko paparan tidak lagi bertambah besar.
Namun, hingga dua kali perpanjangan, nyatanya sejumlah indikator penanganan pandemi Covid-19 tidak secara signifikan membaik. Juru Bicara Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Jodi Mahardi, justru menyebut dalam sepekan terakhir angka mobilitas kembali meningkat, setelah sebelumnya mulai turun.
"Penegakan aturan PPKM level 3 dan 4 tetap harus dilakukan secara tegas. Bagi yang melanggar dikenakan sanksi," kata Jodi saat dihubungi Tempo, Sabtu, 31 Juli 2021.
Jodi mengatakan pemerintah terus menggencarkan penyaluran bantuan sosial untuk membantu masyarakat miskin, pekerja harian, dan PKL yang terkena dampak dari PPKM. Diharapkan, hal ini dapat menahan mereka lebih banyak beraktivitas.
Pemerintah Daerah juga telah diinstruksikan agar segera me-refocusing anggaran penanganan Covid-19, dengan memfokuskan pada pemberian bansos kepada masyarakat dan peningkatan kapasitas kesehatan untuk penanganan Covid-19.
Meski begitu, Jodi juga tak bisa memastikan dengan kondisi begini, apakah PPKM Level 4 akan kembali diperpanjang. Keputusan ini, kata dia, akan tergantung pada sejumlah indikator, yakni laju penularan (kasus konfirmasi, perawatan di RS, kematian); indikator respon kesehatan (testing - positivity rate, tracing - kontak erat pada kasus konfirmasi, dan treatment - BOR); dan kondisi sosio-ekonomi masyarakat.
"Tergantung kondisi masing-masing daerah. Pemerintah kan hanya mengacu pada standar WHO," kata Jodi.
Epidemiolog dari Griffith University Dicky Budiman menilai penerapan PPKM Darurat sejak 3 Juli lalu memang belum efektif mengendalikan pandemi. Pasalnya, sejumlah indikator utama seperti positivity rate hingga angka kematian, masih terhitung tinggi.
Dicky mendasarkan argumennya dari data yang dirilis oleh Our World in Data hingga 30 Juli 2021. Dari data itu, tercatat bahwa kasus terkonfirmasi per 1 juta dari 3 Juli, Indonesia ada di angka 85,07 per 1 juta, dan pada 30 Juli 151,4 per 1 juta.
Untuk angka kematian per 1 juta, per 3 Juli tercatat sebesar 1,72 per 1 juta. Sedangkan pada 30 Juli itu 6,12 per 1 juta. Untuk case fatality rate juga meningkat dari 3,44 persen pada 3 Juli menjadi 3,5 persen pada 30 Juli.
Tes yang dilakukan untuk menemukan 1 kasus terkonfirmasi juga mengalami sedikit penurunan dari 3 Juli itu 4,1 tes untuk 1 kasus terkonfirmasi, menjadi 3,8 per 1 kasus di 30 Juli. Sedangkan untuk positivity rate, tercatat dari 24,1 pada 3 Juli, meningkat menjadi 26,5 persen pada 30 Juli.
"Semua masih jauh di atas 5 persen. Yang artinya pandemi belum terkendali dengan baik," kata Dicky saat dihubungi, Sabtu, 31 Juli 2021.
Meski begitu, Dicky mengatakan tak semua merupakan kabar buruk. Angka vaksinasi meningkat cukup signifikan hingga 2 persen. Selain itu, tingkat keterisian rumah sakit juga menurun.
"Harus dipahami memang situasinya sudah berat dan kompleks. Sehingga wajar kalau belum bisa (signifikan). Padahal PPKM Darurat sudah jauh diperkuat, tapi masalahnya sudah jauh lebih besar juga," kata Dicky.
Karena itu, menjelang masa akhir PPKM pada 2 Agustus mendatang, masih banyak yang harus dibenahi pemerintah dalam mengendalikan pandemi ini. Masyarakat, ujar Dicky, harus lebih disiplin dalam menjalankan protokol kesehatannya.
"Untuk itu kalau menurut saya keputusan diteruskan tidaknya diputuskan pada kesiapan dari sisi pemerintah dan masyarakat," kata Dicky.
Senada dengan Dicky, Epidemiolog dari Universitas Indonesia Pandu Riono mengatakan bahwa saat ini, yang jadi kunci pengendalian pandemi ini ada di disiplin protokol kesehatan 3M (memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak), serta penguatan 3T (testing, tracing, dan treatment) oleh pemerintah.
Dalam mengubah perilaku masyarakat untuk lebih disiplin, Pandu mengatakan pemerintah harus lebih serius dalam mensosialisasikan 3M. Ia mempertanyakan pola sosialisasi pemerintah selama ini, yang ia nilai belum efektif.
"Harus ada pesan yang disampaikan. Terjadi perubahan perilaku 3M, itu baru berdampak. Kalau cuma konferensi pers, yang tahu cuma yang baca dan nonton media," kata Pandu.
Pandu juga melihat penerapan 3T oleh pemerintah masih sangat lemah, terutama pelacakan (tracing). Dari satu orang konfirmasi positif, Indonesia hanya dapat melacak kurang dari 5 orang suspek. Padahal target dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) saja, mencapai 20-30 orang suspect dari 1 orang konfirmasi positif.
"Padahal kalau kita bisa menemukan orang yang suspek, itu artinya orang itu harus diisolasi. Dengan adanya isolasi itu, maka kita melakukan PPKM terbatas, hanya lokal pada orang yang dianggap suspek. Kalau sekarang kan nasional, semua harus tinggal di rumah," kata Pandu.
Dengan adanya perubahan perilaku di masyarakat yang lebih menerapkan 3M dan penguatan 3T, Pandu mengatakan diperpanjang atau tidaknya PPKM Level 4 tidak akan jadi masalah. Ditambah dengan vaksinasi yang terus menerus, maka ia meyakini hal itu akan dapat membuat pandemi di Indonesia lebih bisa dikendalikan.
"Dia akan menggantikan pengetatan. Pengetatan sudah dilonggarkan, masyarakat sudah bisa beraktivitas, tetapi penularan akan ditekan dengan 3M, 3T, dan vaksinasi," kata Pandu.