Komisaris BUMN dari Birokrasi dalam Sorotan, Konflik Kepentingan dan Gaji Dobel
Reporter
Muhammad Hendartyo
Editor
Kodrat Setiawan
Kamis, 17 Juni 2021 21:20 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Danang Widoyoko menyoroti penempatan pejabat kementerian atau lembaga yang menjadi komisaris di Badan Usaha Milik Negara atau BUMN. Menurut dia, komisaris dari kalangan birokrasi di 106 BUMN mencapai 249 orang atau 51,66 persen.
"Dari birokrasi, juaranya ternyata Kementerian Keuangan. Kemenkeu paling banyak menempatkan pejabatnya di posisi komisaris BUMN sebanyak 44 orang," kata Danang dalam diskusi virtual, Rabu, 16 Juni 2021.
Setelah Kementerian Keuangan, ada Kementerian BUMN dengan 40 orang komisaris di BUMN, Kementerian PUPR 19 orang, Kemenhub 14 orang, dan kementerian lainnya 9 orang atau kurang. "Nanti bisa ditanyakan ke Kemenkeu apakah menempatkan pejabat-pejabat ke posisi komisaris untuk menambah gaji atau untuk kepentingan lain?" ujarnya.
Karena ini, kata dia, pejabat tersebut punya gaji dobel. Mereka mendapat gaji bulanan serta remunerasi dari kementerian dan dari BUMN.
Danang pun mempertanyakan alasan Kementerian BUMN menempatkan pejabat kementerian sebagai komisaris di BUMN. "Kalau untuk pengawasan jadi komisaris, gimana mampu mengawasi dengan efektif kalau dibayar oleh BUMN. Saya kira ini menjadi problem konflik kepentingan," kata dia.
Begitu pula komisaris BUMN dari lembaga lainnya yang berpotensi memicu konflik kepentingan. Contohnya seperti auditor BPKP yang jadi komisaris BUMN.
"Bagaimana dia melakukan audit kalau diminta presiden melakukan audit, jika pejabat-pejabatnya menjadi komisaris BUMN," kata dia.
<!--more-->
Pun dengan pejabat Kementerian PUPR yang menjadi komisaris di BUMN karya. Menurut Danang, potensi konflik kepentingan mereka juga ada.
"Kemudian independensi penegak hukum, kalau jaksa dan polisi dibayar dari BUMN, atau itu ongkos dari BUMN agar tidak tersangkut-sangkut persoalan hukum. Saya kira ini menjadi banyak pertanyaan," kata Danang.
Menurut data TII, komisaris dari kalangan profesional hanya 85 orang atau 17,63 persen. Sementara politisi 71 orang atau 14,73 persen, militer 29 orang atau 6,02 persen, aparatur sipil negara 28 atau 5,81 persen, dan jabatan strategis 20 orang atau 4,15 persen.
Pengangkatan komisaris BUMN diatur dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Pasal tersebut berbunyi, "Anggota Komisaris diangkat berdasarkan pertimbangan integritas, dedikasi, memahami masalah-masalah manajemen perusahaan yang berkaitan dengan salah satu fungsi manajemen, memiliki pengetahuan yang memadai di bidang usaha Persero tersebut, serta dapat menyediakan waktu yang cukup untuk melaksanakan tugasnya."
Adapun Peraturan Menteri (Permen) BUMN Nomor 10 Tahun 2020 mengatur soal rangkap jabatan komisaris BUMN. Namun, tidak dijelaskan jika birokrasi yang merangkap jabatan sebagai komisaris BUMN.
Dalam Permen BUMN Nomor 10 Tahun 2020 soal rangkap jabatan disebutkan, "Dewan Komisaris dan Dewan Pengawas dapat merangkap jabatan sebagai Dewan Komisaris pada perusahaan selain BUMN, dengan
ketentuan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan
sektoral."
Menanggapi sorotan TII, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Rahayu Puspasari angkat bicara. Menurut dia, pejabat Kementerian Keuangan menjadi komisaris di BUMN untuk memantau kualitas penyelenggaraan, kondisi kesehatan, dan keberlangsungan usaha BUMN. Sebab, hal tersebut menjadi salah satu isu penting bagi Menteri Keuangan Sri Mulyani selaku Bendahara Umum Negara.
"Atas alasan tersebut maka diperlukan perwakilan Kementerian Keuangan yang dapat melakukan pengawasan dan memonitor kinerja BUMN, serta mengantisipasi dan mencegah risiko BUMN terhadap Keuangan Negara dengan turut mengikuti perkembangannya dari dalam," kata Puspa saat dihubungi, Kamis, 17 Juni 2021.
<!--more-->
Dia mengatakan pengawasan khususnya dilakukan terhadap BUMN atau lembaga yang bersifat strategis bagi keuangan negara dan perekonomian Indonesia. Selain itu, BUMN menjadi penerima PMN dan mempunyai kaitan terhadap risiko Keuangan Negara, serta menjadi penerima dana subsidi/PSO maupun dana Pemilihan Ekonomi Nasional.
Selain memiliki peran penting dan memberikan manfaat dalam perekonomian, Puspa menyebut BUMN mendapatkan penugasan-penugasan khusus dari pemerintah dan ini berarti berdampak pada eksposur risiko terhadap keuangan negara.
Hal ini dapat dilihat dari nilai investasi permanen pemerintah pada BUMN yang menyumbang hingga 22 persen dari total aset pemerintah. BUMN juga memberikan kontribusi pajak dan dividen yang merupakan pendapatan pemerintah.
Dia juga mengatakan penugasan perwakilan Kementerian Keuangan sebagai komisaris BUMN diharapkan dapat memperkaya pengalaman dan kompetensi SDM Kementerian Keuangan dalam memahami proses bisnis dunia usaha/korporasi. Mereka, kata Puspa, diharapkan dapat menjembatani sektor makro dan mikro.
"Serta dapat mendesain kebijakan antisipatif yang tepat dari aspek pengelolaan fiskal dan keuangan negara," kata Puspa.
Sorotan dari TII juga ditanggapi Staf Khusus Menteri BUMN Erick Thohir Arya Sinulingga. Menurut dia, BUMN adalah milik pemerintah. Karena itu, kata dia, pemerintah akan menempatkan perwakilan dari pemerintah sebagai pemegang saham untuk melakukan pengawasan di perusahaan tersebut.
<!--more-->
"Nah fungsi pengawasan ini adalah bagian dari tugas sebagai yang diberikan kepada pemegang saham kepada para komisaris," kata Arya yang juga komisaris PT Telkom Indonesia saat dihubungi hari ini.
"Kalau bukan dari pemerintah yang jadi komisaris, lalu dari siapa yg mewakili pemegang saham? Apakah mungkin komisaris independen? Artinya komisaris pemegang saham dari luar? Apa landasan dan apa dasarnya sampai orang luar bisa mewakili pemegang saham dalam hal ini adalah pemerintah?" kata dia.
Arya juga merespons ihwal komisaris BUMN sebagai pengawas yang juga terima gaji dari BUMN. Dia mencontohkan inspektorat di kementerian yang juga digaji oleh pemerintah. Pegawai inspektorat itu, kata dia, harus melakukan pengawasan pada kementerian itu sendiri.
"Komisaris itu bukan yang melaksanakan pekerjaan teknis perusahaan, tapi dia melakukan pengawasan. Lucu lah kalau dari luar. Apa dasarnya gitu. Harus ada yang mewakili pemegang saham," kata Arya.
Merespons pernyataan Arya, Danang mengatakan, justru itu adalah masalahnya. Menurut Danang, pengawasan baru akan efektif jika independen dari yang diawasi.
"Kalau Kementerian BUMN tidak melihatnya sebagai persoalan, wah saya khawatir ini, jangan-jangan memang tidak melihat masalahnya, ga akan bisa melihat masalah besarnya," ujar Danang.
<!--more-->
Menurut Danang, agar independen, pengawas tidak boleh difasilitasi oleh yang diawasi. Dia juga mempertanyakan apakah pengawasan itu harus dengan cara menempatkan sebagai komisaris. Hal itu, dia khawatirkan ujung-ujungnya hanya mencari tambahan remunerasi atau tambahan gaji.
"Nah ini yang menurut saya menjadi penting, apakah pengawas harus jadi komisaris. Menurut saya tidak," ujarnya.
Kalaupun menempatkan pejabat kementerian sebagai komisaris BUMN, kata dia, boleh saja asalkan dipastikan pengawasan sepenuhnya dibiayai oleh kementerian. Menurut Danang, komisaris BUMN sebaiknya tidak menerima gaji dan fasilitas apapun dari BUMN yang diawasi.
"Ini yang saya kira menjadi masalah ya. Ada diminta awasi tapi dibayarin oleh pihak yang diawasi, konflik kepentingan namanya," kata dia.
Menurutnya, perlu ditetapkan kriteria dan standar profesional untuk rekrutmen komisaris BUMN non-profesional. Selain itu, kata dia, akar persoalan pada birokrasi ada pada sistem penggajian. "Pemerintah harus membuat single salary," kata dia.
HENDARTYO HANGGI