Tes Janggal yang Menjegal 75 Pegawai KPK
Reporter
Andita Rahma
Editor
Aditya Budiman
Minggu, 9 Mei 2021 14:02 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Sebanyak 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) gagal lolos asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Sedianya, tes tersebut merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi agar pegawai KPK bisa menyandang status sebagai aparatur sipil negara (ASN).
Publik mempertanyakan kegagalan tes 75 pegawai, khususnya para pegiat antikorupsi. Terlebih sebagian besar dari para pegawai adalah penyidik yang pernah dan sedang menangani perkara korupsi besar.
Banyak kejanggalan ditemukan saat sejumlah pertanyaan dalam tes bocor ke publik. Beberapa pegawai KPK yang enggan disebutkan identitasnya bercerita dan mengamini keanehan soal-soal tersebut.
Salah satunya adalah Yudi Purnomo. Ketua Wadah Pegawai KPK itu menceritakan keanehan ketika ditanya apakah mengucap selamat hari raya ke umat beragama lain dalam tahap wawancara.
"Saya pikir seharusnya pewawancara sudah mendapatkan informasi bahwa di KPK mengucapkan selamat hari raya kepada rekannya yang merayakan merupakan hal biasa, baik secara langsung maupun melalui grup WhatsApp," ujar Yudi melalui pesan teks pada Jumat, 7 Mei 2021.
Pegawai lainnya bercerita ada seorang rekannya yang malah diminta membaca syahadat, doa makan, dan bahkan qunut (doa saat Salat Subuh) dalam sesi wawancara. "Ada juga yang ditanya Islamnya, Islam apa," kata sumber ini pada Kamis, 6 Mei 2021.
Tak hanya wawancara, tes tertulis juga dirasa tak masuk akal. Ada 68 soal yang mesti dijawab berdasarkan tingkat skala dari yang paling tinggi adalah sangat sesuai sampai paling rendah, yaitu sangat tidak sesuai. Misalnya, untuk pertanyaan semua orang Jepang jahat, maka peserta diminta memilih berdasarkan skala sangat sesuai sampai sangat tidak sesuai.
Selain itu, para pegawai juga disinggung soal apakah penista agama pantas dihukum mati, ada juga soal pindah warga negara. Kemudian ada pertanyaan soal apakah percaya hal-hal ghaib dan menjalankan perintah agama tanpa mempertanyakan.
Pertanyaan lain adalah soal apakah Imam Samudra melakukan jihad, kemudian penista agama harus dihukum mati. Hukuman badan harus ditambahkan kepada narapidana. "Ada soal aborsi juga," kata sumber ini.
<!--more-->
Selain soal pilihan ganda, di modul pertama ini para pegawai KPK diminta mengerjakan esai. Sumber tadi mengatakan di dalam esai ini ada pertanyaan soal apa itu HTI dan FPI. Kemudian peserta diminta menjawab apakah Rizieq Shihab pantas dihukum atau tidak.
Keanehan soal tes wawasan kebangsaan itu menuai banyak kritik. Mantan Pimpinan KPK Busyro Muqoddas menilai materi TWK sangat kacau dan absurd. Dia berpendapat pertanyaan-pertanyaan itu sama sekali tak mencerminkan nilai kebangsaan yang tertuang dalam konstitusi.
"Materinya sangat kacau, sangat absurd, dan sama sekali tidak mencerminkan nilai-nilai otentik kebangsaan yang luhur digoreskan oleh para founding fathers di dalam paragraf empat Pembukaan UUD 1945," kata Busyro dalam konferensi pers daring, Jumat, 7 Mei 2021.
Senada dengan Busyro, mantan pimpinan lainnya, Saut Situmorang, menilai TWK tak perlu dilakukan. Menurut dia, pegawai KPK tak perlu dikaitkan dengan ideologi yang tak penting.
"Anda tahu orang per-orang, apa lagi? Kan mereka sudah di situ sudah bertahun-tahun. Jangan masukkan variabel enggak penting dalam penindakan, atau bahkan pencegahan," ujar Saut Situmorang kepada Tempo melalui daring pada Jumat, 7 Mei 2021.
Ihwal kejanggalan soal TWK, KPK malah melempar bola ke Badan Kepegawaian Negara (BKN). Sebab, kata Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri, asesmen diselanggarakan oleh BKN, bukan komisi antirasuah.
Ali menjelaskan dalam tes tersebut BKN melibatkan Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Intelijen Strategis TNI (BAIS-TNI), Pusat Intelijen TNI Angkatan Darat (Pusintel TNI AD), Dinas Psikologi TNI Angkatan Darat (DISPSIAD), dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). "Semua alat tes berupa soal dan materi wawancara disusun oleh BKN bersama lembaga-lembaga tersebut," ujar Ali.
Menurut dia, sebelum melaksanakan wawancara telah dilakukan penyamaan persepsi dengan pewawancara dari beberapa lembaga tersebut. Dalam pelaksanaan wawancara, kata Ali, ada pertanyaan yang dikembangkan dari tes tertulis yang sudah berlangsung sebelumnya.
"Kami juga menerima masukan dari publik yang mempertanyakan relevansi beberapa materi dalam wawancara yang tidak berhubungan dengan Tupoksi KPK dan ini menurut kami bisa menjadi masukan bagi penyelenggara asesmen," kata Ali.
Ali menegaskan asesmen tes tertulis dan wawancara difokuskan untuk mengukur penguatan integritas dan netralitas ASN. Adapun mengenai aspek kompetensi pegawai KPK, kata Ali, saat rekrutmen awal sudah memenuhi persyaratan kompetensi dan integritas sehingga aspek ini tidak dilakukan tes kembali.
<!--more-->
BKN menjelaskan tes diperuntukkan kepada pegawai KPK dan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) memang berbeda. Pelaksana tugas Kepala Biro Hubungan Masyarakat, Hukum, dan Kerja Sama BKN Paryono menjelaskan CPNS adalah entry level, sehingga soal TWK yang diberikan berupa pertanyaan terhadap pemahaman akan wawasan kebangsaan.
"Sedangkan TWK bagi pegawai KPK, dilakukan oleh mereka yang sudah menduduki jabatan senior, sehingga diperlukan jenis tes yang berbeda, yang dapat mengukur tingkat keyakinan dan keterlibatan mereka dalam proses berbangsa dan bernegara," ucap Paryono melalui siaran pers resmi pada Ahad, 9 Mei 2021.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menduga tidak lulusnya sejumlah pegawai KPK dalam tes wawasan kebangsaan telah dirancang.
"Betapa tidak, sinyal untuk tiba pada kesimpulan itu telah terlihat secara jelas dan runtut, mulai dari merusak lembaga antirasuah dengan UU KPK baru, ditambah dengan kontroversi kepemimpinan Firli Bahuri, dan kali ini pegawai-pegawai yang dikenal berintegritas disingkirkan," ujar Peneliti ICW Kurnia Ramadhana melalui pesan teks pada Selasa, 4 Mei 2021.
Kurnia mengatakan, kondisi ini tak bisa begitu saja dilepaskan dari peran Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang sepakat merevisi UU KPK. Di mana, salah satu aturan yang ramai ditentang adalah adanya alih status pegawai menjadi ASN.
Alhasil, menurut Kurnia, praktik buruk ini kian melengkapi wajah suram KPK di bawah komando Firli Bahuri. "Mulai dari ketidakmauan memboyong Harun Masiku ke proses hukum, menghilangkan nama-nama politisi dalam dakwaan korupsi bansos, melindungi saksi perkara suap benih lobster, membocorkan informasi penggeledahan, sampai pada akhirnya melucuti satu per satu penggawa KPK," kata dia.
Baca juga: SK 75 Pegawai KPK Dinonaktifkan Beredar
ANDITA RAHMA | M. ROSSENO AJI