Saling Lempar Nasib Beras Impor Turun Mutu
Reporter
Francisca Christy Rosana
Editor
Martha Warta Silaban
Kamis, 25 Maret 2021 19:24 WIB
TEMPO.CO, Jakarta – Perusahaan Umum Bulog dan Kementerian Perdagangan lempar-melempar soal nasib beras impor yang telah turun mutu. Beras tersebut merupakan sisa cadangan beras pemerintah atau CBP 2018 yang belum terdistribusikan sampai 2020.
Direktur Utama Bulog Budi Waseso mengatakan pemerintah tak juga mengambil keputusan dalam berbagai rapat koordinasi terbatas soal beras yang diprediksi sudah mengalami penurunan kualitas. “Sisa beras impor seperti apa dan harus bagaimana tidak ada putuannya. Semua dibebankan pada Bulog,” ujar Budi alias Buwas dalam diskusi virtual dengan Relawan Perjuangan Demokrasi, Kamis, 25 Maret 2021.
Baca Juga: Soal MoU Impor Beras RI dan Thailand, Budi Waseso: Bukan Urusan Bulog
Pada 2018, Bulog mengimpor beras CBP sebesar 1.785.450 ton. Perusahaan mencatat sisa pengadaan beras dari luar negeri mencapai 300 ribu ton.
Dari jumlah tersebut, sekitar 106 ribu ton berpotensi mengalami penurunan mutu. Angka ini berbeda dengan keterangan Kementerian Perdagangan. Sebelumnya Kementerian mengungkapkan jumlah sisa beras impor turun mutu mencapai 400 ribu ton.
Beras yang berpotensi mengalami kemelorotan kualitas itu kini tersebar di gudang Bulog. Buwas mengatakan perusahaan tidak bisa mendistribusikan beras sebelum mengalami penurunan mutu lantaran merupakan kategori CBP. CBP merupakan beras yang dikelola Bulog untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam keadaan kekurangan pangan, gejolak harga, keadaan darurat akibat bencana, dan kerawanan pangan.
“CBP itu kan tidak bisa dijual bebas. Penyalurannya harus berdasarkan perintah negara. Itu sebabnya Bulog mendapatkan beban CBP tidak bisa diapa-apakan kecuali kepentingan negara,” ujar Buwas.<!--more-->
Penurunan kualitas beras tak bisa dihindari karena Bulog tidak memiliki infrastruktur gudang yang menunjang untuk menyimpan komoditas selama bertahun-tahun. Saat ini, kondisi gudang Bulog diklaim sangat sederhana.
Untuk menyimpan beras dalam waktu lama, perusahaan membutuhkan teknologi cocoon. Cocoon adalah metode untuk menyimpan beras dan biji-bijian dengan cara menjaga kadar karbondioksida pada titik tertentu dan meminimalisasi oksigen sehingga hama tidak mungkin hidup. Menurut Buwas, teknologi cocoon membutuhkan ongkos investasi yang sangat besar.
“Kita sedang bangun gudang yang memenuhi standar menyimpan beras. Kami simpan di selo yang ada temperaturnya sehingga aman kalau beras disimpan 3 tahun dan gabah tidak akan berubah kualitasnya,” kata Buwas.
Kepala Bagian Humas dan Kelembagaan Perum Bulog Tomi Wijaya mengatakan perusahaannya akan melakukan penanganan khusus untuk beras yang mengalami penurunan mutu. “Kami lakukan reprocessing dan akan diuji lagi kualitasnya,” kata dia.
Sementara itu Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menyerahkan masalah sisa impor beras yang mengalami penurunan mutu kepada Bulog. Lutfi mengatakan Bulog memiliki mekanisme dengan Kementerian Pertanian dan Kementerian Keuangan untuk menyelesaikan persoalan itu.
“Ini adalah internal administrasi yang dikerjakan Bulog. Baiknya tanya ke direksi Bulog,” ujar Lutfi dalam konferensi pers secara virtual dengan wartawan, 19 Maret lalu.<!--more-->
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, menduga kerugian negara yang ditimbulkan akibat adanya beras yang tidak layak konsumsi bisa mencapai Rp 1,25 triliun. Potensi itu ditaksir dari asumsi jumlah beras turun mutu sebesar 300-400 ribu ton.
“Jadi siapa yang tanggung jawab atas kerugian ini kalau enggak layak konsumsi?” kata Yeka.
Ombudsman mengendus adanya potensi maladministrasi dalam manajemen stok beras. Beras yang tidak terdistribusi sampai bertahun-tahun hingga mengalami penurunan kualitas diduga merupakan akibat dari kebijakan yang tidak terintegrasi dari hulu-hilir.
Untuk menelaah potensi maladministrasi tersebut, Ombudsman akan melaksanakan inisiatif pencegahan dalam tata kelola kebijakan importasi dan stok beras. “Dalam seminggu ke depan, kami akan mengumpulkan berbagai informasi dari institusi terkait, dan selanjutnya akan mendalaminya ke lapangan untuk memperkuat data yang ada,” kata Yeka.