Vaksin AstraZeneca dan Segala Masalahnya di Dunia
Reporter
Non Koresponden
Editor
Istman Musaharun Pramadiba
Selasa, 23 Maret 2021 17:00 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Kemunculan Vaksin AstraZeneca tidak sepenuhnya mulus. Meski memliki tingkat efikasi cukup tinggi, di atas 70 persen, berbagai isu menerpanya. Beberapa di antaranya mulai dari gangguan produksi, pembekuan darah, dan yang lagi ramai di Indonesia adalah soal status halal vaksin COVID-19 itu.
Hal-hal tersebut tak ayal membuat banyak pihak meragukan vaksin COVID-19 yang digarap AstraZeneca bersama Universitas Oxford tersebut. Ada yang meragukan ketersediaannya, ada juga yang meragukan kualitasnya. Meski Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pekan lalu sudah mewanti-wanti agar jangan sampai ada sentimen negatif terhadap vaksin COVID-19 AstraZeneca, keraguan itu tetap ada.
"Vaksin AstraZeneca sangat penting karena ia mewakili 90 persen dari vaksin COVID-19 yang didistribusikan via COVAX...COVID-19 adalah penyakit yang berbahaya dan vaksin COVID-19 AstraZeneca dapat mencegahnya," ujar Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, dikutip dari Channel News Asia, Sabtu, 20 Maret 2021.
Hal itu kontras dengan situasi tahun lalu ketika berbagai vaksin COVID-19, termasuk AstraZeneca, masih dalam pengembangan atau uji klinis. Sepanjang 2020, vaksin COVID-19 AstraZeneca digadang-gadangkan sebagai vaksin yang paling ramah akses dibanding vaksin-vaksin lainnya. Hal itu mengacu pada kemudahan penyimpanannya, biaya produksi rendah, serta harganya yang terjangkau.
Situasi mulai berubah di seperempat akhir 2020. Menurut laporan CNN, pada September 2020, uji klinis vaksin AstraZeneca ditunda gara-gara gejala misterius muncul pada salah satu sukarelawana mereka. Meski belakangan terbukti tak ada kaitannya dengan vaksin, hal itu sukses menunda rencana peluncuran produk AstraZeneca.
Masalah Bermunculan
Dari situ, isu-isu baru mulai muncul. Di periode yang sama, uji klinis vaksin AstraZeneca memberikan hasil yang unik. Apabila pasien menerima dosis yang lebih rendah pada suntikan pertama dan dilanjutkan dosis penuh pada suntikan kedua, efektivitas vaksin tercatat 90 persen, setara dengan produk Pfizer. Namun, jika dua dosis penuh yang dipakai, efektivitas malah turun ke 62 persen. Hal itu memberikan sejumlah pertanyaan soal keabsahan uji klinis.
Tahun 2021, mendekati distribusi pertamanya, muncul lagi kecurigaan baru. Kali ini soal efektivitas terhadap lansia. Regulator obat-obatan Eropa (EMA) mencurigai data uji klinis vaksin AstraZeneca terhadap lansia berusia di atas 65 tahun tidak representatif. Gara-garanya, jumlah lansia terjangkit virus COVID-19 dalam daftar sukarelawan AstraZeneca hanya dua orang.
Regulator obat-obatan di Prancis sepakat dengan EMA. Mereka juga memiliki kecurigaan serupa. Alhasil, penggunaan vaksin AstraZeneca mereka batasi. Pada 2 Februari lalu, Presiden Prancis Emmanuel Macron mengeluarkan edaran agar vaksin AstraZeneca sebaiknya tidak digunakan pada lansia berusia 65 tahun ke atas dulu. Rekomendasi itu baru dicabut setelah data-data lebih komplit
"Hasil uji pertama tidak menggembirakan untuk kelompok usia 60 hingga 65 tahun terkait AstraZeneca," ujar Emmanuel Macron pada 2 Februari lalu, dikutip dari Reuters.
Selang sebulan, AstraZeneca menghadapi masalah berbeda. Kali ini pembekuan darah. Pada 7 Maret, salah satu penerima vaksin AstraZeneca di Austria meninggal akibat pembekuan darah. Beberapa hari kemudian laporan-laporan serupa muncul di negara-negara Skandinavia seperti Norwegia dan Denmark.
Negara-negara Skandinavia memutuskan untuk menahan penggunaan vaksin COVID-19 AstraZeneca selama dua pekan per 11 Maret 2021. Mendengar laporan-laporan itu, negara-negara lain menjadi waspada. Khawatir kejadian itu benar karena vaksin, bukan faktor pasien, berbagai negara mengikuti jejak negara-negara Skandinavia. Spanyol, Italia, Jerman, dan Prancis ikut menahan penggunaan pada 15 Maret.
Di Asia, Thailand sempat membatalkan penggunaan vaksin AstraZeneca kepada Perdana Menteri Prayuth Chan-o-cha. Di Indonesia, problem status halal yang muncul. Dengan status halal saja, belum tentu warga mau divaksin. Kurang lebih 20 negara yang sempat menahan penggunaan vaksin AstraZeneca sampai WHO mengatakan vaksin aman dengan manfaat jauh melebihi resikonya.
"Walau kami mendapat laporan soal pembekuan darah terjadi usai vaksinasi COVID-19 dengan produk AstraZeneca dilakukan, tidak ada bukti pasti hal itu disebabkan vaksinasi. Dan, itu kasus yang sangat langka dan unik," ujar Ghebreyesus, Sabtu kemarin.
Suplai Terganggu, Uni Eropa Menahan Ekspor
Itu baru dari segi vaksin saja, belum menghitung masalah suplai yang terjadi pada Januari lalu. Sempat mengalami gangguan produksi, AstraZeneca menyampaikan bahwa suplai vaksin COVID-19 ke Eropa pada kuartal pertama tidak akan sesuai target. Pemangkasannya kurang lebih 50 persen. Sebagai catatan, total dosis yang dijanjikan AstraZeneca ke Eropa adalah 300 juta plus ekstra 100 juta.
Negara-negara Eropa gerang. Mereka menganggap AstraZeneca melanggar kontrak dan bisa diperkarakan. AstraZeneca membela diri dengan mengatakan kontrak tidak secara spesifik menyatakan suplai harus tepat waktu. Selama akhirnya suplai terpenuhi, AstraZeneca menganggap tidak ada pelanggaran dan AstraZeneca berkomitmen untuk itu.
Uni Eropa berpandangan berbeda. Mereka gerah melihat Inggris mendapat vaksin sesuai suplai yang tertolong jadwal vaksinasi yang lebih cepat. Uni Eropa akhirnya mengambil sikap akan mengecek ke mana saja AstraZeneca akan mengirim vaksin COVID-19 dari Eropa. Jika ke negara yang sudah memiliki cukup vaksin, Uni Eropa akan memblokir ekspornya. Inggris kena imbasnya.
"Jika situasi ini tidak berubah, kami harus mencari tahu bagaimana membuat ekspor ke negara-negara penghasil vaksin bergantung pada tingkat keterbukaan mereka. Kami akan mencari tahu apakah ekspor ke negara-negara dengan tingkat vaksinasi lebih tinggi dari kami masih proporsional," ujar Ketua Komisi Eropa Ursula von Der Leyen.
Segala masalah itu berujung pada tingkat kerpecayaan yang menurun. Perusahaan survei YouGov pada Februari menemukan warga Eropa lebih ragu terhadap vaksin AstraZeneca dibandingkan Pfizer atau Moderna.
Di Jerman, misalnya, sekitar 55% orang Jerman mengatakan vaksin AstraZeneca tidak aman. Sementara itu, kurang dari sepertiganya menganggapnya aman. Di Prancis, di mana vaksin Covid AstraZeneca sudah tidak populer, 61% orang yang disurvei mengatakan bahwa mereka sekarang melihatnya tidak aman.
Dengan ancaman varian baru COVID-19 masih nyata, keraguan pada vaksin AstraZeneca bisa menjadi masalah. Itulah kenapa WHO mati-matian menyakinkan manfaat dari AstraZeneca melebihi resikonya. Mereka tidak menyangkal resikonya, tetapi vaksinasi sulit untuk dihentikan.
Munculnya masalah-masalah itu tidak mengagetkan. Dengan pandemi COVID-19 mendadak datang, pengembangan vaksin COVID-19 dikebut. Beberapa hal berjalan dengan tidak semestinya. Pengembangan jadi lebih cepat, komunikasi pun jadi lebih menantang dengan banyaknya negara yang membutuhkan vaksin.
Peneliti senior Global Health Governance Programme, Ines Hassan, menyatakan solusinya adalah kooperasi dan perbaikan komunikasi. Pembagian data kieamanan secara real time dan transparan, menurutnya, akan mempercepat proses pengesahan vaksin AstraZeneca. Di sisi lain, akan mengharmoniskan pesan soal vaksin terkait, mencegah keraguan timbul.
"Meningkatkan transparansi proses pengesahan dan bekerjasama untuk mengharmoniskan pesan soal vaksinasi COVID-19 adalah penting agar semua jelas, singkat, dan berimbang," ujar Hassan soal polemik vaksin AstraZeneca, dikutip dari CNN.
Baca juga: Soal Vaksin AstraZeneca, Ma'ruf: Bukan Soal Halal-Haram, Tapi Boleh atau Tidak
ISTMAN MP | CNN | REUTERS | CHANNEL NEWS ASIA