Was-was Impor 1 Juta Ton Beras
Reporter
Fajar Pebrianto
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Kamis, 18 Maret 2021 20:02 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Rencana pemerintah membuka keran impor 1 juta ton beras menuai hujan protes dari anggota Komisi Pertanian DPR. Kali ini, sasarannya adalah Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, meskipun bukan dia yang mengumumkan langsung rencana impor tersebut.
Salah satunya disampaikan Renny Astuti, anggota komisi dari Fraksi Partai Gerindra. "Kami menyesalkan pernyataan Menteri Perdagangan (Muhammad Lutfi) mengenai impor 1 juta ton beras tidak akan mengganggu harga gabah," kata dia kepada Syahrul dalam rapat di Jakarta, Kamis, 18 Maret 2021.
Lutfi memang salah satu yang awalnya mengumumkan rencana impor ini. Menurut Renny, pernyataan menteri yang baru diangkat Presiden Jokowi pada akhir tahun lalu itu justru menunjukkan tidak ada koordinasi di pemerintah.
Sebab fakta di lapangan, kata dia, harga gabah di hampir di seluruh daerah yang sedang panen raya di bawah Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Ia khawatir kebijakan ini akan memukul para petani.
Kekhawatiran yang sama juga disampaikan oleh anggota komisi dari Fraksi Partai Nasdem, Julie Sutrisno Laiskota. "Kami menolak rencana impor beras," kata dia.
Ia meminta pemerintah menjamin produksi dalam negeri mampu memenuhi kebutuhan beras nasional. Caranya dengan mengutamakan penyerapan hasil panen petani di harga yang baik, di tengah musim panen yang berlangsung Maret-April 2021.
Di tengah rapat, anggota komisi dari Fraksi Golkar Ichsan Firdaus kemudian meminta pemerintah membeberkan data surplus defisit beras per provinsi. Dalam data Kementerian Pertanian, hanya ada 3 daerah yang mengalami defisit berwarna merah (stok di bawah 75 persen kebutuhan) per Maret 2021, yaitu Maluku Utara, Riau, dan Kepulauan Riau.
<!--more-->
Bangka Belitung juga mengalami defisit, tapi masih berwarna kuning (stok di bawah 90 sampai 75 persen kebutuhan). Lalu semua daerah lain mengalami surplus di atas 10 persen atau stok mereka sama dengan kebutuhan.
Rencana impor ini pertama kali disampaikan oleh Menteri Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pada Kamis, 4 Maret 2021. Menurut dia, impor ini adalah bagian dari rencana penyediaan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) sebesar 1-1,5 juta ton oleh pemerintah.
Di saat yang sama, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan impor beras tersebut akan digunakan sebagai iron stock atau cadangan. Ia mengatakan cadangan tersebut memang harus dipastikan selalu ada.
Oleh karena itu, menurut dia, impor beras tidak akan menghancurkan harga di tingkat petani. Dia memastikan bahwa kebijakan itu bertujuan menjaga stok dan menstabilkan harga beras.
"Ini (impor) bagian dari strategi memastikan harga stabil. Percayalah tidak ada niat pemerintah untuk hancurkan harga petani terutama saat sedang panen raya," katanya, , Senin, 15 Maret 2021.
Pemerintah, kata dia, memerlukan iron stock atau cadangan untuk memastikan pasokan terus terjaga. Menurutnya, sebagai cadangan, beras impor tersebut tak akan digelontorkan ke pasar saat periode panen raya, melainkan ketika ada kebutuhan mendesak seperti bansos ataupun operasi pasar untuk stabilisasi harga.
"Jadi, tidak bisa dipengaruhi oleh panen, atau apapun karena memang dipakai sebagai iron stock," ujar Lutfi. Ia pun menegaskan keputusan itu sudah sesuai dengan Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) pemerintah.
<!--more-->
Lalu pada 15 Maret 2021, dalam rapat bersama Komisi Pertanian DPR, Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso alias Buwas mengatakan pihaknya sudah mendapatkan penugasan untuk impor ini. Tapi, kata dia, Bulog masih akan memprioritaskan penyerapan stok dalam negeri terlebih dahulu karena Maret-April 2021 ada panen raya.
Sehari kemudian, Buwas justru memberi keterangan yang berbeda dengan Lutfi. Ia menyebut tidak ada sama sekali keputusan impor dalam Rakortas. Topik pembahasan hanya soal kemungkinan cuaca dan prediksi pasokan pangan.
"Hanya kebijakan dari Pak Menko (Perekonomian) dan Menteri Perdagangan yang pada akhirnya kita dikasih penugasan tiba-tiba untuk melaksanakan impor," kata Buwas dalam rapat bersama Badan Legislasi DPR, Selasa, 16 Maret 2021.
Berbeda pandangan dengan Airlangga dan Lutfi, Buwas khawatir kebijakan ini akan menyulitkan pihaknya untuk menyalurkan beras. Apalagi berkaca pada pengalaman pada keputusan pemerintah mengimpor pada 2018 silam, hingga kini masih ada beras impor yang belum tersalurkan dan saat ini kondisinya sudah turun.
Meski begitu, ia menyebutkan, Bulog siap jika tetap ditugaskan. "Kalau kami membeli sebanyak apapun kami siap, asalkan hilirnya dipakai," ujar Buwas.
Dalam rapat bersama DPR hari ini, Syahrul memang sempat dimintai sikapnya soal impor 1 juta ton beras. Ia lalu menampilkan data bahwa sampai Mei 2021, stok beras nasional diprediksi masih akan surplus 12,56 juta ton.
"Khusus beras, surplus terjadi karena pada Maret April 2021 ini memasuki panen raya," kata Syahrul dalam rapat bersama Komisi Pertanian DPR di Jakarta, Kamis, 18 Maret 2021.
Selain itu, tak ada proyeksi impor beras yang dimasukkan Syahrul dalam paparan prognosa 12 kebutuhan bahan pokok yang ditampilkannya. Tapi, hanya ada impor untuk kedelai, bawang putih, daging sapi atau kerbau, dan gula pasir.
<!--more-->
Saat diberi kesempatan di akhir, Syahrul tak mengomentari kesimpulan rapat. Salah satu keputusan rapat itu adalah Komisi IV menolak rencana importasi beras sebanyak 1 juta ton pada saat panen raya maupun saat stok negeri melimpah.
Sikap dari Komisi Pertanian DPR ini menambah panjang daftar penolakan dan kritikan terhadap impor 1 juta ton beras. Misalnya, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang meminta rencana impor beras diperhitungkan dengan matang. "Petani butuh perhatian agar hasil panennya betul-betul bisa terbeli, karena ongkos produksinya kemarin tidak murah," ujarnya pada Senin, 8 Maret 2021.
Ekonom senior Universitas Indonesia Faisal Basri juga mengkritik volume beras yang akan didatangkan tersebut cukup besar. "Tak ada halilintar, tak ada guruh, tiba-tiba pemerintah hendak mengimpor beras dalam jumlah cukup besar tahun ini. Satu juta ton, separuhnya untuk meningkatkan cadangan beras pemerintah (CBP) dan separuh lagi untuk memenuhi kebutuhan Bulog," ujar Faisal dalam laman pribadinya faisalbasri.com, Senin, 15 Maret 2021.
Ia lalu meminta pemerintah agar tidak mengulangi kesalahan pada tahun 2018. Kala itu, dengan tingkat produksi yang bisa dikatakan tidak buruk, lonjakan impor mengakibatkan stok yang dikuasai oleh pemerintah untuk PSO/CBP naik hampir 4 juta ton.
Sedangkan penyalurannya anjlok dari 2,7 juta ton menjadi 1,9 juta ton. Akibatnya, stok beras melonjak lebih dua kali lipat dari 0,9 juta ton pada akhir 2017 menjadi 2 juta ton pada akhir 2018.
Bulog pun, menurut dia, kewalahan mengelola stok sebanyak itu. Bahkan, hingga kini Bulog masih memiliki stok beras impor ratusan ribu ton sisa pengadaan tahun 2018. "Kualitas beras yang dikelolanya merosot, bahkan ada yang menjadi tidak layak konsumsi. Ongkos 'uang mati' pun tentu saja meningkat. Yang lebih mendasar lagi, kemampuan Bulog menyerap beras dari petani menjadi terbatas," tutur dia.
Ada juga suara penolakan dari Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Melalui akun resmi Twitter-nya @susipudjiastuti, bos Susi Air ini memohon kepada Presiden Jokowi untuk menyetop impor beras tersebut.
<!--more-->
Menurut Susi, impor tersebut tidak perlu dilakukan sebab masyarakat masih ada yang panen padi, bahkan hasil panennya melimpah. Susi Pudjiastuti juga meminta semua pihak termasuk Kementerian BUMN, Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan untuk memberikan dukungan kepada Badan Usaha Logistik atau Bulog untuk tidak melakukan impor beras.
“Pak Presiden yth. Mohon stop impor beras, masyarakat masih ada yg panen, panen juga berlimpah. Mohon berikan dukungan kpd Pak Kabulog untk tidak melakukan impor. Juga melarang yg lain. @jokowi, @KemenBUMN, @kementan, @Kemendag,” tulis Susi sembari menyertakan tautan berita media nasional tentang Dirut Perum Bulog Budi Waseso atau Buwas yang menyebut ratusan ton beras impor tak terpakai.
Saat dikonfirmasi, Sekretaris Perusahaan Perum Bulog Awaludin Iqbal mengatakan pemberitaan soal impor beras ini bisa berdampak pada para petani yang sedang panen raya. Untuk itu, Bulog memilih sikap untuk tidak terlibat terlebih dahulu dalam rencana impor ini.
Meski demikian, ada kabar kalau Kementerian Perdagangan menerbitkan Surat Persetujuan Impor (SPI) untuk Bulog. Tapi dari informasi yang dihimpun Tempo, sejauh ini belum ada permohonan SPI yang masuk dari Bulog ke Kemendag terkait importasi ini. Hal ini pun dipastikan oleh Direktur Perdagangan Luar Negeri Kemendag Didi Sumedi.
Awaludin juga enggan merinci apakah perusahaannya sudah mengantongi SPI untuk mendatangkan 1 juta ton beras ini. Ia mengatakan Bulog sekarang sedang berkonsentasi pada penyerapan gabah petani yang sekarang sedang panen raya. "Kami fokus pada itu dulu," kata dia.
Di luar masih belum satu suaranya pemerintah soal impor beras ini, Kepala Dinas Pertanian Poso, Sulawesi Tengah, Suratno menyebutkan saat ini ada sekitar 3.000 ton beras petani saat ini tertumpuk di gudang penggilingan karena tidak terserap pasar. Beras petani tertumpuk sejak awal Februari 2021 atau saat masa panen raya pada lahan petani seluas 1.400 hektare lebih.
Kepala Cabang Perum Bulog Poso Irfan Faisal mengatakan pihaknya telah turun lapangan meninjau menyosialisasikan pembelian beras kepada pengumpul dan distributor. Bulog akan membeli beras petani sesuai peraturan harga pembelian pemerintah (HPP) senilai Rp 8.300 per kilogram di gudang penyimpanan logistik dengan kualitas medium dan kerusakan di bawah 20 persen.
<!--more-->
"Meskipun begitu, tidak semua beras petani dapat dibeli, karena berbagai pertimbangan, di antaranya memperhatikan kualitas produksi sesuai standar medium, atau kerusakan di bawah 20 persen," ucap Irfan.
Hingga kini Bulog Sulteng, kata Irfan, sudah membeli sebanyak 100 ton lebih beras petani di Kecamatan Poso Pesisir dan telah berada di gudang logistik. Bulog juga membatasi pembelian beras yang kualitasnya tak memenuhi standar medium, karena tidak akan bertahan lama saat disimpan di gudang logistik.
"Justru kemudian beras dengan kualitas rendah tidak dapat disalurkan ke masyarakat karena sudah rusak," ujarnya. Apalagi gudang logistik Bulog setempat hanya mampu menampung beras sebanyak 1.700 ton.
Pemerintah diminta meninjau ulang rencana impor beras setelah panen raya berakhir. Volume dan waktu impor sebaiknya ditentukan pada Juli atau Agustus ketika potensi produksi sepanjang 2021 dapat diketahui.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa, menilai impor yang berlebihan bisa merusak harga beras di pasaran karena Bulog tidak bisa menyimpan beras dalam jumlah besar terlalu lama. Di sisi lain, potensi produksi beras yang naik seharusnya diiringi dengan peningkatan serapan beras lokal oleh perusahaan pelat merah tersebut, bukan penugasan impor.
“Wacana impor beras menjelang panen raya ini sangat menyakitkan bagi petani. Hal tersebut bisa makin menjatuhkan harga di tingkat usaha tani. Kami minta dibatalkan, kalau tetap impor harap ditinjau lagi volume dan waktunya,” kata Dwi ketika dihubungi.
FAJAR PEBRIANTO | CAESAR AKBAR | BISNIS | ANTARA
Baca: Ridwan Kamil Tolak Rencana Impor Beras 1 Juta Ton: Kebayang Harga Kebanting