Menimbang Urgensi Sertifikat Tanah Elektronik untuk Cegah Praktik Mafia
Reporter
Caesar Akbar
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Kamis, 11 Februari 2021 21:22 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Kisah Dino Patti Djalal mendadak menyeruak ke publik. Bekas Juru Bicara Presiden di era Susilo Bambang Yudhoyono itu blakblakan mengaku telah berkali-kali menjadi target komplotan pencuri sertifikat tanah rumah milik keluarganya.
Yang terakhir baru saja ia kabarkan lewat cuitan di Twitter pribadinya, @dinopattidjalal, Selasa, 9 Februari 2021. "Satu lagi rumah keluarga saya dijarah komplotan pencuri sertifikat rumah. Tahu-tahu sertifikat rumah milik Ibu saya telah beralih nama di BPN padahal tidak ada AJB (akta jual beli), tidak ada transaksi, bahkan tidak ada pertemuan apapun dengan Ibu saya," kata Dino dalam cuitannya.
Saat dikonfirmasi Tempo, Dino mengatakan kasus ini merupakan yang keempat kalinya. Sebelumnya, sudah ada tiga rumah milik keluarganya yang diincar oleh komplotan penyerobot sertifikat rumah tersebut. Rumah-rumah tersebut, kata Dino, adalah rumah milik keluarga ibunya yang memang sudah sejak 40 tahun berbisnis properti.
Ia mengatakan modus komplotan maling itu adalah dengan mengincar target, membuat KTP palsu, dan kemudian berkolusi dengan broker hitam alias notaris bodong. Mereka kemudian membayar orang untuk berperan sebagai pemilik KTP palsu dan menyatakan orang itu 'mirip foto di KTP'. "Komplotan ini sudah secara terencana menargetkan sejumlah rumah ibu saya yang sudah tua," kata Dino.
Ramainya kisah pencurian kepemilikan sertifikat tanah tersebut tak ayal langsung membuat Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil bergegas membuat konferensi pers selang dua hari kemudian, Kamis, 11 Februari 2021. Bersama jajarannya, Sofyan menjelaskan duduk perkara dari kasus yang dialami keluarga Dino.
Direktur Jenderal Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan Kementerian ATR/BPN Raden Bagus Agus Widjayanto menuturkan sedikitnya ada tiga sertifikat yang menjadi objek permasalahan dalam kasus tanah keluarga Dino Patti Djalal, antara lain sertifikat atas nama Jurni Hasyim Djalal dan sertifikat atas nama Yurnismawita.
Salah satu pengalihan kepemilikan terjadi pada 16 April 2020, yaitu dari atas nama Yurmisnawita kepada Freddy Kusnadi berdasarkan Akte Jual Beli tanggal 10 Januari 2020. Di dalam berkas pengalihan tersebut, kata Agus, ada tanda terima dokumen, fotocopy KTP, NPWP, surat permohonan kuasa, serta akta jual beli.
"Nah, dilihat dari sisi administrasi pertanahan sebetulnya proses penerbitan haknya sudah benar. Sertifikatnya sesuai dengan apa yg terdapat pada buku tanah dan kemudian dilakukan jual beli. Jadi prosesnya sudah sesuai dengan prosedur administrasi," tuturnya.
<!--more-->
Namun, Agus mengatakan dari sisi materil, perlu ada penyelidikan apakah benar terjadi jual beli oleh Yurmisnawita. "Menurut Pak Dino Patti Djalal, ibu Yurmisnawita tidak pernah menandatangani akta jual beli, tidak ada transaksi dalam hal ini dengan Freddy Kusnadi."
Karena itu, Agus mendukung Dino Patti Djalal untuk mengadukan perkara tanah keluarganya kepada kepolisian. "Karena ini murni pemalsuan dan penggelapan hak," ujarnya.
Nantinya, kata Agus, apabila nantinya terbukti ada pemalsuan data penjual dan akta jual beli, maka Kementerian ATR/BPN dapat membatalkannya dan status tanah bisa kembali ke pemilik sebelumnya.
Dalam kasus ini, Menteri Sofyan menduga para pelaku memalsukan KTP nonelektronik dan mengganti foto di dalam kartu tersebut. Oleh karena itu ia kemudian berpesan agar masyarakat tidak pernah memberikan sertifikat tanah ke orang lain. “Kalau misalnya Anda tidak yakin dengan siapa berhubungan, jangan pernah memberikan sertifikat," ujarnya.
Kejadian ini, menurut Sofyan, menjadi penguat langkah BPN untuk memperbaiki sistem pertanahan di Tanah Air. Ia semakin yakin bahwa data-data perlu disimpan dalam bentuk elektronik dan dapat sewaktu-waktu diperiksa langsung.
"Jadi kami menggagas sertifikat elektronik untuk mengatasi hal seperti ini. Supaya penjahat yang memiliki niat buruk itu akan kami kunci tidak bisa melakukan itu lagi," ujarnya. Ia mengatakan kebijakan tersebut masih akan diuji coba terbatas, yaitu di Jakarta dan Surabaya, serta kota-kota lain yang dinilai sudah siap.
Sertifikat tanah elektronik itu juga akan dicoba terbatas hanya untuk tanah pemerintah, tanah BUMN, dan Hak Guna Bangunan yang besar. Selanjutnya, baru akan diperluas audiensnya. Ia meyakini penggunaan sertifikat elektronik bisa mencegah terjadinya penyalahgunaan dokumen di masa mendatang.
Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2021 tentang Sertifikat Elektronik sejatinya telah terbit pada awal tahun ini. Beleid tersebut merupakan rangkaian dari transformasi digital yang sedang bergulir di Kementerian ATR/BPN, dimana tahun lalu telah di diberlakukan empat layanan elektronik yang meliputi Hak Tanggungan Elektronik, Pengecekan Sertifikat, Zona Nilai Tanah dan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah.
<!--more-->
Direktur Jenderal Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN Suyus Windayana mengatakan kasus mafia tanah tersebut menjadi salah satu pertimbangan pemerintah menerapkan layanan elektronik. Pasalnya, dokumen-dokumen fisik mudah sekali dipalsukan.
Dengan sistem elektronik, ia mengatakan petugas bisa mengecek tak hanya data yang terlampir di dokumen fisik, namun juga data lain seperti sidik jari, mata, dan lainnya. BPN pun akhirnya bisa memastikan bahwa tanah tersebut ditransaksikan oleh pemilik hak atas tanah tersebut.
Nantinya, sertifikat elektronik juga tidak perlu lagi dibawa ke kantor BPN untuk dilakukan pengecekan secara fisik. "Ke depan sertifikat elektronik bisa dicek saat itu juga. Apakah sertifikat itu sama dengan yang ada di database atau tidak jadi ini memang proses-proses yang akan kita minimalkan untuk ke depan apabila kita sudah menggunakan teknologi elektronik," ujar Suyus.
Kepala Pusat Data dan Informasi Pertanahan, Tata Ruang, Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Kementerian ATR/BPN, Virgo Eresta Jaya, menambahkan, keamanan sertifikat tanah digital juga dapat dijamin. Sebab, seluruh proses pengamanan informasi menggunakan teknologi persandian seperti kriptografi oleh Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
"Di dalam sertifikat elektronik akan dijamin keutuhan data yang berarti datanya akan selalu utuh, tidak dikurangi atau berubah dan untuk kerahasiaan kita sudah dilindungi oleh pengamanan dengan menggunakan teknologi persandian dari BSSN," ujarnya. Selain itu, sertifikat elektronik juga akan menggunakan hashcode, QR Code hingga single identity.
Anggota Komisi II DPR RI Guspardi Gaus mengingatkan agar kebijakan sertifikat tanah elektronik jangan menambah beban masyarakat, dan tidak serta merta diterapkan di seluruh wilayah Indonesia. Yang terpenting, kebijakan sertifikat elektronik harus transformatif, sehingga berdampak baik untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan meminimalisir kasus pertanahan serta jangan menimbulkan misinformasi di masyarakat.
“Penerapannya juga perlu kehati-hatian dan keseriusan karena menyangkut keamanan data dan membutuhkan dana yang besar. Prinsip akuntabilitas harus dijaga untuk menghindari kebijakan ini dijadikan lahan korupsi baru,” pesan Guspardi dalam keterangan tertulis.
Guru Besar Ilmu Hukum Agraria Fakultas Kehutanan Universitas Padjadjaran Bandung (Unpad) Ida Nurlinda menilai langkah pemerintah menggenjot sertifikasi tanah elektronik sejatinya tidak salah. Namun, ia menilai masih ada persoalan agraria yang perlu diprioritaskan, misalnya soal sengketa tanah dan konflik lahan.
<!--more-->
Soal aman atau tidaknya sertifikat tanah elektronik, menurut Ida, kembali kepada seberapa jauh teknologi dapat mendukung produk tersebut. Tetapi, dari perspektif hukum, masalahnya lebih dari sekadar aspek teknisnya, yaitu aspek perlindungan hukum pemegang sertifikat elektronik tersebut. "Sepanjang proses dan prosedur serta sistem publikasi dari pendaftaran tanah tsb belum dapat menjamin kepemilikan hak seseorang, maka aspek keamanan e-sertifikat cukup rawan," kata dia.
Pakar keamanan siber dari vaksincom, Alfons Tanujaya mengatakan digitalisasi sertifikat tanah adalah efisiensi yang sangat baik. Selain nanti sifatnya akan lebih efisien, sertifikat digital juga seiring tren digitalisasi yang dilakukan seluruh dunia.
Namun, ia mengingatkan digitalisasi adalah proses panjang yang tidak berkesudahan. Artinya, sekali pemerintah menaruh data publuk di dunia maya, maka layanan harus tersedia selama 1x24 jam dan selama 365 hari setahun. Alfons pun mengingatkan bahwa ada ancaman nyata dari digitalisasi, yaitu data bisa diakses semua pihak.
"Keamanan data bisa dilihat dari banyak kasus. Di mana Linkedin datanya pernah bocor, e-commerce juga. Itu jangan membuat takut digitalisasi. Tapi itu harus membuat kita belajar agar data ini tidak bocor," kata Alfons.
Untuk itu, dalam pengelolaan data publik, Alfon mengingatkan perlunya standar yang jelas. Ia mengusulkan pemerintah mengikuti ISO 270001 atau standar internasional penerapan sistem manajemen keamanan informasi (information security management systems/ISMS).
Selama ini, kata Alfon, ISO 27001 menjadi indikator suatu perusahaan memiliki standar keamanan digital yang mumpuni, salah satunya untuk mengamankan sertifikat tanah elektronik. "Jadi, siapapun yang mau mengelola data publik harus penuhi standar itu baru luncurkan layanannya," tutur dia.
CAESAR AKBAR | EGI ADYATAMA
Baca: 10 Fakta Penting soal Sertifikat Tanah Elektronik