Kisruh Kenaikan Tunjangan DPRD DKI di Tengah Pandemi
Reporter
Imam Hamdi
Editor
Juli Hantoro
Jumat, 4 Desember 2020 17:55 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau DPRD DKI gaduh saat Partai Solidaritas Indonesia atau PSI mengungkap adanya rencana kenaikan tunjangan anggota dewan dalam Rancangan APBD 2021.
Ketua Dewan Pimpinan Wilayah PSI DKI Jakarta Michael Victor Sianipar mengatakan tak pantas gaji anggota DPRD naik di tengah pandemi Covid-19. "Kami dari pihak DPW PSI memutuskan menolak anggaran ini. Keadaan ekonomi sedang berat, pengangguran melonjak," ujar Michael.
Sontak pernyataan PSI ini menyengat anggota DPRD yang lain. Ketua Fraksi PDIP Gembong Warsono salah satunya. Ia mengatakan, PSI berselancar dalam kemunafikan ketika menyatakan menolak rencana tersebut.
Padahal Gembong mengungkapkan dalam rapat sebelumnya PSI sudah setuju mengenai hal ini. "Saya sudah perintahkan, semua anggota untuk menarik pembahasan APBD 2021 sebagai konsekuensi kami dipermalukan di tengah masyarakat," ujar Gembong dalam rapat DPRD, yang rekamannya diperoleh Tempo.
Gembong mengingatkan PSI untuk tak melakukan cara-cara yang tidak elegan. Sebab, kata dia, semua prosedur sudah disetujui oleh PSI. "Tidak ada prosedur yang tidak disetujui oleh PSI," kata Gembong.
Dalam dokumen rancangan anggaran rencana kegiatan tahunan atau RKT yang beredar luas, total anggaran yang diajukan untuk tahun 2021 mencapai Rp 8.383.791.000 per anggota. Jika ditotal secara keseluruhan 106 anggota maka untuk tahun depan anggota legislatif menghabiskan Rp 888.681.846.000 dalam setahun.
Anggaran tersebut naik tinggi jika dibandingkan APBD DKI 2020. Salah satu yang mengalami kenaikan adalah gaji anggota dewan.
<!--more-->
Pada 2020, 101 anggota DPRD DKI Jakarta mendapatkan total gaji dan tunjangan sebesar Rp 129 juta dipotong pajak penghasilan (PPh) Rp 18 juta sehingga gaji bersih Rp 111 juta, sedangkan dalam RKT DPRD DKI 2021, setiap anggota akan mendapatkan gaji bulanan Rp 173.249.250 sebelum dipotong pajak penghasilan (PPh).
Ketua Komisi A Bidang Pemerintahan DPRD DKI Mujiyono angkat suara soal gaduh kenaikan tunjangan DPRD pada RAPBD DKI 2021.
Menurut Mujiyono, besaran tunjangan yang naik dalam usulan kenaikan Rancangan Kerja Tahunan (RKT) pada KUA-PPAS hanya untuk perumahan dan komunikasi.
Dalam usulan RKT tersebut, tunjangan perumahan anggota DPRD DKI naik dari Rp 60 juta menjadi Rp 105 juta. Tunjangan komunikasi naik dari Rp 21 juta menjadi Rp 35 juta.
“Total kenaikan tunjangan Rp 59 juta. Dipotong pajak PPh, dikali 90 persen, jadinya Rp 53 juta. Tunjangan lain tidak naik. Sisanya anggaran yang lain buat kegiatan untuk masyarakat,” ujar dia saat dikonfirmasi wartawan pada Kamis, 3 Desember 2020.
Mujiyono menuturkan usul kenaikan tunjangan dewan pertama kali muncul dalam rapat pimpinan gabungan panitia khusus rencana kerja tahunan (RKT) dan revisi tata tertib dewan. Ketua DPRD DKI Prasetio Edi Marsudi, kata dia, saat itu menginformasikan bahwa akan diusulkan kenaikan tunjangan dewan karena sudah tiga tahun tidak naik.
Saat rapat, ujar Mujiyono seluruh fraksi termasuk Ketua Fraksi PSI Idris Ahmad setuju. Setelah disetujui semua legislator, pansus dibentuk membahas RKT itu. Politikus Partai Demokrat itu menuturkan dalam rapat pansus PSI mengirim dua anggotanya yaitu Anggara Wicitra dan Justin Adrian Utayana. Seluruh wakil fraksi dalam pansus RKT menyetujui usul tunjangan. PSI juga menandatangani notulensinya.
Sebagai ketua Komisi A, Mujiyono mengakselerasikan usulan itu dengan anggaran kegiatan yang ada di Sekretariat DPRD. Maka muncul angka Rp 580 miliar di Sekretariat DPRD DKI, untuk penambahan tunjangan dan kegiatan yang ada di dewan.
Saat disampaikan ada penambahan Rp 580 miliar, PSI menyetujui penambahan itu. Total tambahan di Sekretariat DPRD mencapai Rp 620 miliar. Sebesar Rp 580 miliar di antaranya untuk berbagai kegiatan dewan. "Kenapa di forum Badan Anggaran dan pansus tidak protes? Di ujung jalan mereka balik badan," ujarnya.
Michael Victor Sianipar mengatakan bahwa partainya telah memutuskan menolak rencana kenaikan gaji anggota DPRD DKI Jakarta. Pembahasan anggaran yang menyangkut hak anggota dewan sudah melalui rapat internal PSI antara anggota fraksinya di DPRD dengan Dewan Pimpinan Pusat.
Keputusan partai itu menjadi landasan pandangan umum fraksi yang telah disampaikan di rapat paripurna. “Jika tidak dilaksanakan, akan ada sanksi disiplin partai yang tegas,” kata Michael, dalam keterangan tertulisnya, Senin, 30 November 2020.
Menanggapi kisruh ini, Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi menilai kenaikan gaji hanya akan membebani rakyat, terutama di masa pandemi Covid-19.
"DPRD jangan terlalu nafsu minta kenaikan pendapatan saat pandemi Corona dan di saat transaksi ekonomi lagi anjlok," kata Ucok dalam pernyataannya di Jakarta, Ahad, 29 November 2020.
Uchok mengingatkan anggota legislatif seharusnya tidak terburu-buru menaikkan Rancangan Kerja Tahunan (RKT) yang di dalamnya antara lain terdapat gaji anggota legislatif tersebut. Uchok menilai rencana gaji naik tersebut malah akan memberatkan rakyat sehingga sebaiknya rencana tersebut ditunda terlebih dahulu.
"DPRD itu wakil rakyat, jadi jangan memaksa rakyat yang sedang sulit ekonomi untuk memaksa rakyat bayar pajak melalui menaikkan pendapatan," ujar Uchok.
<!--more-->
Pengurus Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Indonesia Anwar Razak juga mengkritik rencana kenaikan tunjangan reses dan sosialisasi peraturan daerah (perda) DPRD DKI Jakarta. Hal ini dinilai sebagai akal licik untuk menaikkan penghasilan anggota dewan.
"Ini akal licik anggota DPRD DKI Jakarta untuk menaikkan penghasilan saat tidak ada pantauan publik," katanya.
KOPEL curiga selama ini pembahasan anggaran dilaksanakan di luar Jakarta, yakni di Hotel Grand Cempaka Cisarua Bogor, untuk memuluskan rencana legislator Kebon Sirih menaikkan tunjangan. "Ternyata mereka punya rencana terselubung menaikkan tunjangan anggota DPRD," ujar Anwar.
Menurut Anwar, tunjangan dan gaji anggota DPRD DKI jelas hitungannya dalam PP 18 tahun 2017. Dasar hitungannya adalah gaji pokok gubernur. "Jadi bila tunjangan naik, berarti sudah tidak wajar."
Seharusnya, kata Anwar, Pemerintah DKI Jakarta bertahan tidak menaikkan dan Kemendagri mengoreksi. Bukan malah sama-sama berselingkuh mendukung kenaikan itu.
Menurut dia, tunjangan reses dan sosialisasi Perda memang tidak detail diatur besarannya dalam PP 18 tahun 2017 tentang Hak Keuangan Anggota DPRD. Tapi jelas disebutkan bahwa besarannya harus memperhatikan kemampuan keuangan daerah. "Saat Pendapatan Asli Daerah DKI Jakarta turun drastis dan bahkan berutang ke pusat untuk pemulihan ekonomi, kenaikan tunjangan itu akal licik menguras APBD," kata Anwar.
Dalam situasi saat ini seharusnya anggaran reses dan biaya-biaya sosialisasi dan perjalanan diturunkan karena lebih banyak dilakukan secara daring (online). "KOPEL Indonesia berharap rencana ini bisa dikoreksi Kemendagri dan meminta eksekutif tidak ikut dalam permainan anggaran DPRD DKI Jakarta ini karena hal ini akan sangat menyakitkan hati warga Jakarta," kata Anwar.
PSI pun berharap Gubernur Anies Baswedan membatalkan usulan anggaran tersebut. "Kami mohon Pak Anies tidak diam dan melakukan pembiaran terhadap persoalan ini," kata Michael Victor Sianipar.
Michael pun mengingatkan bahwa polemik anggaran antara DPRD dan Gubernur DKI Jakarta pernah terjadi sebelumnya. Misalnya, kata dia, pada 2015 saat Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menolak anggaran sebesar Rp 8,8 triliun. Pun pada akhir 2015 di mana Ahok menolak anggaran perjalanan dinas Rp 2 juta per orang. “Gubernur adalah pemilik otoritas tertinggi untuk urusan anggaran di Pemprov DKI. Jadi, nasib anggaran RKT ada di tangan Pak Anies,” ujar Michael.