Prancis, Sekularisme, dan Kehati-hatian Menangani Islam Radikal

Selasa, 3 November 2020 12:55 WIB

Logo Te.co Blank

TEMPO.CO, Jakarta - Prancis tengah menjadi sorotan. Salah satunya, karena aksi teror yang terjadi di sana dalam dua pekan terakhir. Teror pertama terjadi pada pertengahan Oktober lalu, pembunuhan guru asal Paris bernama Samuel Paty.

Samuel Paty dibunuh oleh seorang remaja asal Chechnya bernama Abdoullakh Abouyezidovitc. Gara-garanya, Samuel Paty mengajarkan kebebasan berpendapat kepada murid-muridnya menggunakan karikatur Nabi Muhammad dari majalah satir Charlie Hebdo. Sebagaimana diketahui, Agama Islam melarang Nabi Muhammad diilustrasikan dalam wujud apapun selain cahaya.

Aksi teror itu pada ujungnya memicu efek bola salju, menjadikan Prancis lebih disorot lagi. Satu aksi teror berkembang menjadi beberapa aksi teror lain. Setelah peristiwa di Paris, menyusul aksi serupa di Nice dan Lyon. Namun, puncaknya, adalah pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron soal Islam Radikal pada tanggapannya soal kasus Paty, 16 Oktober lalu.

Presiden Prancis Emmanuel Macron memberikan keterangan saat mengunjungi lokasi penikaman di Gereja Notre Dame, Nice, Prancis, 29 Oktober 2020. REUTERS/Eric Gaillard/Pool

Dalam pernyataannya, Emmanuel Macron menyinggung soal Islam radikal. Ia menyebut Samuel Paty sebagai sasaran kaum radikal yang kebingungan. Menurut Macron, Paty bukanlah musuh utama para kaum Islam radikal, ia hanya seorang guru. Namun, karena kelompok radikal digerakkan oleh kebencian, terutama terhadap keberagaman, ia pun tersasar.

"Ia korban konspirasi kegilaan, kebohongan, kebingungan, kebencian terhadap yang lain, kebencian terhadap esensi kita (sekularisme)," ujar Emmanuel Macron saat itu,

Emnanuel Macron mengakhiri pernyataannya dengan komtimen membela kebebasan dan sekularisme Prancis. Ia berjanji akan menindak tegas mereka yang melanggar hal tersebut, tak terkecuali menutup tempat-tempat ibadah yang dirasa mengajar paham radikal. Masjid Pantin, yang diduga mengajar paham radikal di utara Paris, sudah ditutup sebagai bukti nyata komitmennya.

Pernyataan Emmanuel Macron tersebut sejalan dengan pidatonya pada 2 Oktober 2020. Ia memaparkan rencana hukum penindakan separatisme yang salah satunya untuk mengawasi kelompok-kelompok radikal, tak terkecuali yang berkaitan dengan Islam. Beberapa isinya mulai dari pengawasan lebih ketat terhadap pendanaan tempat ibadah hingga pengawasan sekolah yang memiliki asosiasi dengan kelompok agama tertentu.

Lebih keras dibanding pidatonya soal Samuel Paty, Emmanuel Macron menyinggung Islam sebagai agama yang dalam krisis global. Hal itulah, menurut dia, yang kemudian memunculkan islam-islam radikal. Namun, lost in translation, plus dikaitkan dengan komtimennya soal sekularisme, pernyataannya dipahami berbeda-beda.

Suasana di depan Masjid Agung Pantin pasca peristiwa penikaman terhadap Samuel Paty, dekat Paris, Prancis, Selasa, 20 Oktober 2020. Peristiwa tersebut bermula saat guru sejarah tersebut menunjukkan gambar karikatur Nabi Muhammad dalam pelajaran kebebasan berekpresi. REUTERS/Antony Paone

Beberapa pihak menganggap Emmanuel Macron menggeneralisir Islam (berdasarkan kasus terorisme) serta mencoba memicu Islamophobia. Tanggapan itu kian buruk ketika majalah satir Charlie Hebdo tidak dilarang menerbitkan karikatur Nabi Muhammad dengan landasan kebebasan berpendapat.

Ada juga yang membela Emmanuel Macron. Salah satunya adalah Menteri Luar Negeri Uni Emirat Arab, Anwar Gargash, yang merasa ada kesalahpahaman. Menurutnya, Macron tidak mencoba memojokkan Islam, namun memperingatkan soal ancaman radikalisme dan tidak secara spesifik menyasar Islam.

Pro kontra, perbedaan pendapat itu pada akhirnya menimbulkan berbagai efek. Mereka yang merasa Macron memojokkan Islam menyorakkan pemboikotan atas barang-barang dari Prancis. Hal itu salah satunya terjadi di Indonesia. Sementara itu, mereka yang merasa Macron benar, berusaha membela.

Prancis merespon kegaduhan yang ada walaupun merasa tidak ada yang salah dengan pernyataan mereka. Mereka memberikan klarifikasi atas pernyataan Emmanuel Macron sekaligus memperkuat pesan bahwa apa yang ingin dilindungi Prancis adalah keberagaman dari paham-paham radikal, tak terkecuali Islam radikal.

"Di Prancis, istilah Islamisme radikal adalah radikalisme. Islamisme radikal adalah orang ekstrimis yang membajak agama untuk melakukan tindakan kekerasan dalam Islam," ujar Duta Besar Prancis di Indonesia, Olivier Chambard.

"Prancis merupakan negara yang memiliki jutaan warga negara beragama Muslim. Bukan mereka yang dilawan. Mereka warga negara penuh yang ingin hidup damai," ujar Chambard menambahkan.

Massa yang tergabung dalam Aliansi Umat Islam berunjuk rasa memprotes pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron di kawasan Sarinah, Jakarta, Senin, 2 November 2020. TEMPO/Hilman Fathurrahman W

Chambard, kepada Tempo, juga memaparkan rancangan regulasi soal separatisme yang akan digunakan untuk melawan radikalisme. Ia berkata, regulasi itu dibangun atas tiga pilar. Ketiganya adalah penindakan ideologi radikal, penegasan sekularisme, dan penolakan terhadap generalisme. Jadi, kata Chambard, tidak benar bahwa Prancis mencoba memerangi Islam.

"Tujuan strategi (regulasi) ini adalah memperkuat kerangka keberagaman, untuk melindungi kebebasan beragama dan beribadah dari radikalisme," ujar Olivier Chambard.

Walau klarifikasi sudah diberikan, Prancis belum banyak berubah dalam komunikasinya. Mereka masih mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang membuat Muslim mengerutkan dahi. Ada anggapan bahwa Prancis menginginkan keberagaman, tetapi kurang dalam mempelajari tradisi-tradisi atau hukum yang berlaku di agama tertentu. Dengan kata lain, kurang hati-hati dan malah menimbulkan tafsir Prancis sebagai otoritarian.

Menteri Dalam Negeri Gerald Darmanin, misalnya, pada Ahad lalu membuat pernyataan mengejutkan soal hukuman menolak perawat lawan jenis. Mereka yang menolak hal itu, kata Darmanin, akan dihukum penjara lima tahun plus denda sebesar 75 Ribu Euro (Rp1,2 miliar).

"Aturan itu akan berlaku untuk siapapun yang memberi tekanan terhadap pelayan publik," ujar Darmanin. Ia menambahkan bahwa mekanisme serupa akan berlaku untuk mereka yang menolak ajaran guru tertentu. Hal itu akan diatur dalam regulasi baru soal penindakan separatisme yang rencananya dipaparkan lengkap Desember nanti.

Pernyataan itu kembali menimbulkan tafsir berbeda-beda. Di media sosial, netizen mentertawakan pernyataan Darmanin, membayangkan apabila seseorang dipenjara hanya karena menolak diperiksa perawat lawan jenis. Akademisi pun menganggap bukannya Prancis menjadi sekuler, tetapi malah tampak otoriter.

"Prancis di bawah Macron dengan cepat berkembang menjadi rezim otoritarian yang kejam," ujar Philippe Marliere, Professor Politik Prancis dan Eropa di University College London.

"Ada beberapa perempuan (terlepas apapun keyakinan mereka) yang merasa lebih nyaman diperiksa oleh petugas medis yang sesama jenis. Hak itu dijamin dokter dalam kode etik medis. Mustahil regulasi baru itu akan dianggap konstitusional. Tapi, yah, siapa yang tahu?" ujar akademisi Prancis, Rim Sarah Alouane.

AL JAZEERA | REUTERS | CNN

https://www.aljazeera.com/news/2020/11/2/france-announces-new-measures-to-combat-separatism

Berita terkait

Legendaris! Nama Beyonce akan Masuk ke dalam Kamus Prancis Larousse

20 jam lalu

Legendaris! Nama Beyonce akan Masuk ke dalam Kamus Prancis Larousse

Nama Beyonce akan masuk ke dalam Kamus Prancis Le Petit Larousse edisi terbaru tahun ini dengan definisi sebagai penyanyi R&B dan pop Amerika.

Baca Selengkapnya

Universitas Sciences Po Prancis Tolak Tuntutan Mahasiswa untuk Putus Hubungan dengan Israel

1 hari lalu

Universitas Sciences Po Prancis Tolak Tuntutan Mahasiswa untuk Putus Hubungan dengan Israel

Universitas Sciences Po di Paris menolak tuntutan mahasiswa untuk memutus hubungan dengan universitas-universitas Israel.

Baca Selengkapnya

Champs-Elysees di Paris Bakal Disulap jadi Tempat Piknik Raksasa, Diikuti 4.000 Orang

2 hari lalu

Champs-Elysees di Paris Bakal Disulap jadi Tempat Piknik Raksasa, Diikuti 4.000 Orang

Setiap peserta akan diberikan keranjang piknik gratis yang dikemas sampai penuh oleh sejumlah pemilik restoran ikonik di jalanan Kota Paris itu.

Baca Selengkapnya

Polisi Prancis Bubarkan Unjuk Rasa Pro-Palestina di Universitas Sciences Po

8 hari lalu

Polisi Prancis Bubarkan Unjuk Rasa Pro-Palestina di Universitas Sciences Po

Polisi Prancis membubarkan unjuk rasa pro-Palestina di Paris ketika protes-protes serupa sedang marak di Amerika Serikat.

Baca Selengkapnya

Emmanuel Macron Minta Hizbullah Ditarik dari Perbatasan Israel-Lebanon

12 hari lalu

Emmanuel Macron Minta Hizbullah Ditarik dari Perbatasan Israel-Lebanon

Emmanuel Macron rapat dengan Perdana Menteri Lebanon untuk mendiskusikan kelompok Hizbullah.

Baca Selengkapnya

Israel Panggil Duta Besar Negara-negara Pendukung Keanggotaan Penuh Palestina di PBB

12 hari lalu

Israel Panggil Duta Besar Negara-negara Pendukung Keanggotaan Penuh Palestina di PBB

Israel akan memanggil duta besar negara-negara yang memilih keanggotaan penuh Palestina di PBB "untuk melakukan protes"

Baca Selengkapnya

Dunia Desak Tahan Diri, Panglima Militer Israel Berkukuh akan Balas Iran

18 hari lalu

Dunia Desak Tahan Diri, Panglima Militer Israel Berkukuh akan Balas Iran

Beberapa sekutu memperingatkan eskalasi setelah serangan Iran terhadap Israel meningkatkan kekhawatiran akan perang regional yang lebih luas.

Baca Selengkapnya

Rwanda Peringati 30 Tahun Genosida terhadap Ratusan Ribu Warga Suku Tutsi

26 hari lalu

Rwanda Peringati 30 Tahun Genosida terhadap Ratusan Ribu Warga Suku Tutsi

Rwanda pada Minggu memulai peringatan selama satu pekan untuk memperingati 30 tahun genosida terhadap ratusan ribu warga etnis Tutsi pada 1994.

Baca Selengkapnya

Hilang saat Menyusuri Bukit Sipiso-piso, Turis Asal Prancis Ditemukan Luka-luka

26 hari lalu

Hilang saat Menyusuri Bukit Sipiso-piso, Turis Asal Prancis Ditemukan Luka-luka

Basarnas Medan bersama tim SAR gabungan menemukan Adrea Zoe, 52 tahun, perempuan asal Prancis yang hilang di Bukit Sipiso-piso, Kabupaten Karo

Baca Selengkapnya

Sekutu Pertimbangkan Hentikan Penjualan Senjata ke Israel Setelah Kematian Relawan Asing di Gaza

26 hari lalu

Sekutu Pertimbangkan Hentikan Penjualan Senjata ke Israel Setelah Kematian Relawan Asing di Gaza

Beberapa negara Eropa sekutu Israel pertimbangkan hentikan penjualan senjata akibat pembunuhan tujuh relawan World Central Kitchen di Gaza

Baca Selengkapnya