Catatan Hitam Pemerintahan Jokowi - Ma'ruf Soal Kebebasan Berpendapat

Reporter

Egi Adyatama

Senin, 26 Oktober 2020 13:39 WIB

Logo Te.co Blank

TEMPO.CO, Jakarta - Semangat kebebasan berpendapat di masa pemerintahan Jokowi - Ma'ruf Amin kembali mendapat ancaman. Penggunaan aparat sebagai kepanjangan tangan pemerintah menekan suara masyarakat, dinilai semakin masif. Caranya pun semakin kreatif. Tak hanya lewat kriminalisasi, tapi upaya dilakukan bahkan sebelum suara-suara dikeluarkan.

Merujuk pada hasil sigi Indikator Politik Indonesia pada Ahad, 25 Oktober 2020, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap aparat juga menunjukan kecenderungan semakin turun. Survei Indikator menunjukan adanya 57,7 persen masyarakat sepakat bahwa aparat semakin semena-mena dalam menangkap warga yang tak sejalan pandangan politiknya dengan pemerintah.

Adapun yang tak sepakat dengan hal ini, mencapai 36,5 persen dan yang tak menjawab 5,8 persen. Survei tersebut dilakukan pada 24 September hingga 30 September 2020 terhadap 1.200 responden, dengan menggunakan panggilan telepon karena pandemi Covid-19.

"Publik menilai bahwa Indonesia makin tidak demokratis, semakin takut warga menyatakan pendapat, semakin sulit warga berdemonstrasi, dan aparat dinilai semakin semena-mena, maka kepuasan atas kinerja demokrasi semakin tertekan," ujar Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi, saat mengumumkan hasil temuan lembaganya.

Elemen gabungan mahasiswa melakukan aksi demo di sekitar kawasan Patung Kuda, Monas, Jakarta, Selasa 20 Oktober 2020. Mahasiswa kembali menggelar aksi unjuk rasa menolak Undang-undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) pada 20, 21 dan 22 Oktober 2020. Tanggal itu dipilih karena bertepatan dengan setahun dilantiknya Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo atau Jokowi - Ma'ruf Amin. Jokowi dan Ma'ruf Amin dilantik sebagai presiden dan wapres periode 2019-2024 di Gedung MPR. Selain itu, pada tanggal yang sama pula Jokowi mengungkapkan keinginannya untuk menerbitkan omnibus law UU Ciptaker. TEMPO/Subekti.

Indikator dalam surveinya juga menanyakan soal setuju tidaknya warga makin sulit berdemonstrasi. Hasilnya sebanyak 20,8 persen menyatakan sangat setuju bahwa warga makin sulit berdemonstrasi, dan 53 persen responden menyatakan agak setuju warga makin sulit berdemonstrasi.

Advertising
Advertising

Sementara hanya 19,6 persen responden yang menyatakan kurang setuju bahwa warga makin sulit turun ke jalan. Kemudian hanya 1,5 persen responden tidak setuju sama sekali dengan pernyataan bahwa warga makin sulit berdemonstrasi.

Terkait kebebasan berpendapat, sebanyak 47,7 persen responden menyatakan agak setuju bahwa warga makin takut menyampaikan uneg-unegnya. Kemudian sebanyak 21,9 responden menyatakan bahwa warga sangat setuju makin takut menyatakan pendapat.

"Survei menunjukan meningkatnya ancaman terhadap kebebasan sipil. Mayoritas publik cenderung setuju atau sangat setuju bahwa saat ini warga makin takut menyuarakan pendapat," ujarnya.

Juru Bicara Fraksi Rakyat Indonesia, Asep Komarudin, mengatakan represi dari aparat ini semakin menunjukan bentuknya belakangan, usai pemerintah menyetujui omnibus law. Dalam aksi penolakan Undang-Undang atau UU Cipta Kerja yang dilakukan elemen buruh, masyarakat, hingga mahasiswa, upaya pembungkaman yang ditunjukan jelas terlihat. Hal ini terjadi sepanjang aksi yang dilakukan dari 6 Oktober hingga 22 Oktober kemarin.

"Dari beberapa kota dan laporan dari teman-teman aliansi nasional di berbagai daerah, kami melihat terdapat pola yang sama yang dilakukan terhadap masyarakat," kata Asep saat dihubungi Tempo, Senin, 26 Oktober 2020.

Kapolri pun sebenarnya telah melegitimasi langkah-langkah jajarannya dengan menerbitkan Surat Telegram bernomor STR/645/X/PAM.3.2./2020. Beberapa instruksi di antaranya melaksanakan giat fungsi intelijen dan deteksi dini; mencegah, meredam, dan mengalihkan aksi unjuk rasa dengan dalih mencegah penyebaran Covid-19; patroli siber pada media sosial dan manajemen media untuk membangun opini publik yang tak setuju dengan aksi unjuk rasa di tengah pandemi.

Kemudian ada juga arahan untuk kontra narasi isu-isu yang mendiskreditkan pemerintah; secara tegas tak memberikan izin kegiatan baik unjuk rasa maupun izin keramaian lainnya; melakukan upaya di hulu atau titik awal sebelum berkumpulnya massa; dan penegakan hukum menggunakan UU Kekarantinaan Kesehatan.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum untuk Semua (YLBHI) Asfinawati mengatakan upaya represi aparat terhadap kebebasan berpendapat sudah terlihat sejak 2015. Namun ia mengatakan dalam beberapa waktu belakangan, hal ini kemudian lebih sering dilakukan.
Asfin mengatakan termasuk terjadi pada saat aksi demonstrasi menolak omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja kemarin. YLBHI menemukan sejumlah modus yang digunakan aparat untuk menekan kebebasan berpendapat ini.

Mereka membaginya ke dalam 11 bagian, yakni melalui pendidikan, melalui serangan digital, penghalang-halangan aksi, kriminalisasi, mengubah pemberitahuan menjadi ijin menggunakan alasan Covid, framing dan fitnah pendemo sebagai perusuh, penggunaan ormas, intimidasi orang tua, menggunakan SKCK sebagai ancaman agar orang tidak berdemonstrasi, framing bahwa yang berhak aksi hanya buruh dan mahasiswa tepatnya buruh dan mahasiswa yang menggunakan seragam, dan menggunakan Perusahaan untuk menghalang-halangi aksi.

"Aksi-aksi penolakan Omnibus Law Cipta Kerja menunjukkan Surat Telegram Kapolri 2020 benar-benar dijalankan. Tujuan utama adalah menghambat, menghalang-halangi hingga menggagalkan demonstrasi," kata Asfin.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Awi Setiyono membantah tudingan adanya upaya sengaja dari Polri untuk menekan suara rakyat. Meski mengatakan tetap menghormati hasil survei Indikator Politik Indonesia, ia mengatakan selama ini Polri sudah bekerja sesuai prosedur yang ada.

"Dalam sistem peradilan pidana ada mekanisme kontrol kalau ada masyarakat tak setuju atas penangkapan polisi, ada mekanisme pra peradilan. Silakan ajukan praperadilan apabila polisi dianggap sewenang-wenang dalam penangkapan," kata Awi.

Kepala Staf Presiden Moeldoko ikut membantah adanya upaya pemerintah untuk menutup pintu kebebasan berpendapat. Pun halnya dalam berbagai aksi penolakan terhadap Omnibus Law selama ini, Moeldoko mengatakan pemerintah justru telah terbuka dan menerima aspirasi masyarakat.

"Pada dasarnya persoalan kebebasan berpendapat tak ada yang berubah. Tiap hari di depan Istana ada demonstrasi. Tak ada yang mengusik," kata Moeldoko seperti dikutip dari Koran Tempo edisi Senin 26 Oktober 2020.

Meski begitu, Asep Komarudin dari Fraksi Rakyat Indonesia mengatakan berbagai upaya pengekangan terjadi. Termasuk dalam rencana aksi demonstrasi yang akan mendatang. Hal ini, kata dia, terlihat dari mulai adanya sejumlah koordinator aksi di beberapa daerah yang dipanggil polisi. Dengan dalih pemeriksaan karena menimbulkan kerumunan, mereka diperingatkan.

Dalih protokol kesehatan selama pandemi Covid-19 memang dinilai menjadi salah satu cara baru aparat menekan upaya aksi. Selain menekan sebelum aksi, Asep mengatakan penghancuran kebebasan berpendapat juga dilakukan setelah aksi dilakukan. Para demonstran ditangkapi dan dilabeli sebagai perusuh.

Karena itu, Asep mengatakan sejak awal, koalisi masyarakat yang turun aksi ke jalan selalu menghimbau untuk menjaga protokol kesehatan dan tak terbawa aksi kerusuhan. Namun nyatanya, Asep mengatakan kekerasan tetap dilakukan polisi. Dalam beberapa kasus, bahkan terjadi penyiksaan.

"Kerusuhan itu perlu ditelisik lebih dalam, tak bisa ketika terjadi kerusuhan, otomatis melabeli yang ikut aksi itu terlibat (dalam kerusuhan). Jika terjadi kekerasan, polisi harusnya melakukan penyelidikan yang proper, tidak dilakukan secara serampangan," kata Asep.

EGI ADYATAMA | DEWI NURITA | KORAN TEMPO

Berita terkait

Jokowi Tambah Anggaran Perbaikan Jalan untuk Tahun Ini, Total jadi Rp 15 Triliun

1 jam lalu

Jokowi Tambah Anggaran Perbaikan Jalan untuk Tahun Ini, Total jadi Rp 15 Triliun

Jokowi meyakini pembangunan infrastruktur pada gilirannya akan mempengaruhi perekonomian lokal secara signifikan.

Baca Selengkapnya

Antara Program Dokter Spesialis Berbasis RS dan Kekagetan Jokowi

1 jam lalu

Antara Program Dokter Spesialis Berbasis RS dan Kekagetan Jokowi

Presiden Jokowi kaget melihat jumlah dokter spesialis sangat kurang, sehingga Indonesia peringkat ketiga terbawah dalam rasio dokter dan masyarakat

Baca Selengkapnya

Hari Ketiga di Sultra, Jokowi akan Resmikan Bendungan hingga Bagikan Bansos

1 jam lalu

Hari Ketiga di Sultra, Jokowi akan Resmikan Bendungan hingga Bagikan Bansos

Ini agenda kunjungan kerja hari terakhir Jokowi di Provinsi Sulawesi Tenggara.

Baca Selengkapnya

Kaesang Pangarep: Tanggapan Jokowi Soal Pilkada 2024 hingga Respons PSI

3 jam lalu

Kaesang Pangarep: Tanggapan Jokowi Soal Pilkada 2024 hingga Respons PSI

Belakangan nama Kaesang Pangarep disoroti, karena Relawan Nasional Pro Prabowo-Gibran mendorong anak bungsu Jokowi itu maju Pilkada Kota Bekasi

Baca Selengkapnya

Anggota Parlemen Korea Selatan Puji Jokowi: Sosok Revolusioner!

3 jam lalu

Anggota Parlemen Korea Selatan Puji Jokowi: Sosok Revolusioner!

Anggota Majelis Nasional Korea Selatan Kim Gi-Hyeon menilai Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) adalah sosok revolusioner

Baca Selengkapnya

Freeport Indonesia, Kritik Pengamat Ekonomi UGM hingga Perpanjangan Kontrak

4 jam lalu

Freeport Indonesia, Kritik Pengamat Ekonomi UGM hingga Perpanjangan Kontrak

Pengamat Ekonomi Energi UGM Fahmy Radhi mengkritik perpanjangan izin ekspor konsentrat tembaga PT Freeport Indonesia

Baca Selengkapnya

Terpopuler: Jokowi Berlakukan Kelas Standar BPJS Kesehatan, Muhammadiyah Tanggapi Bagi-bagi Izin Tambang Ala Bahlil

4 jam lalu

Terpopuler: Jokowi Berlakukan Kelas Standar BPJS Kesehatan, Muhammadiyah Tanggapi Bagi-bagi Izin Tambang Ala Bahlil

Terpopuler: Jokowi memberlakukan kelas standar untuk rawat inap pasien BPJS Kesehatan, Muhammadiyah tanggapi bagi-bagi izin tambang untuk Orman.

Baca Selengkapnya

Jokowi Berlakukan Kelas Rawat Inap Standar BPJS Kesehatan, Rumah Sakit Diklaim Sudah Siap

13 jam lalu

Jokowi Berlakukan Kelas Rawat Inap Standar BPJS Kesehatan, Rumah Sakit Diklaim Sudah Siap

Presiden Jokowi menerapkan kelas standar untuk rawat inap pasien BPJS Kesehatan. Dirut BPJS Kesehatan klaim pihak rumah sakit sudah siap.

Baca Selengkapnya

Profil Nahdlatul Wathan, Organisasi Massa Islam Pertama Bangun Ekosistem di IKN

14 jam lalu

Profil Nahdlatul Wathan, Organisasi Massa Islam Pertama Bangun Ekosistem di IKN

Nahdlatul Wathan (NW) menjadi organisasi massa Islam pertama yang membangun ekosistem di Ibu Kota Nusantara (IKN). Begini profilnya?

Baca Selengkapnya

Jokowi Beri Sinyal Bansos Beras Dilanjutkan sampai Desember 2024

16 jam lalu

Jokowi Beri Sinyal Bansos Beras Dilanjutkan sampai Desember 2024

Dalam Pilpres 2024, pemberian bansos beras oleh Jokowi dikritik lawan politik hingga kelompok sipil sebagai upaya cawe-cawe.

Baca Selengkapnya