Catatan Kelam Represi Polisi di Ujung Ricuh Demo Omnibus Law
Reporter
M Yusuf Manurung
Editor
Juli Hantoro
Jumat, 16 Oktober 2020 14:03 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Menjelang senja demonstrasi menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja yang digelar kelompok ANAK NKRI berakhir ricuh. Polisi mengejar massa hingga ke kawasan Kwitang, Jakarta Pusat.
Massa yang berlarian masuk ke perkampungan diberondong gas air mata. Warga perkampungan yang awalnya menonton massa akhirnya ikut kocar kacir karena melihat pasukan berseragam hitam terus merangsek.
"Mereka menembak bukan ke atas (udara) lagi, tapi ke arah rumah warga," ujar Ketua RT 02 RW 01 Kwitang Syahruddin ketika ditemui Tempo pada Rabu dini hari, 14 Oktober 2020.
Syahruddin mengatakan, beberapa perempuan dan anak-anak harus dibawa ke rumah sakit lantaran terpapar gas air mata. Ia berujar, tembakan-tembakan tersebut baru berhenti sekitar pukul 22.00 WIB. Menurut dia, penembakan serupa juga berlangsung di sekitar Masjid Al-Riyadh Kwitang yang lokasinya berdekatan dengan makam Habib Ali Alhabsyi. Di tempat itu, para demonstran sedang beristirahat.
Bukan cuma gas air mata, polisi juga diduga menembaki demonstran dan warga dengan peluru karet. Salah satu korban peluru karet itu adalah anak Syahruddin. Pemuda 26 tahun tersebut tertembak di bagian punggung saat hendak menutup portal ke Jalan Kwitang.
"Sakitnya sampai ke tulang," kata dia.
Pada Selasa lalu, Aliansi Nasional Anti Komunis (ANAK NKRI) yang terdiri dari organisasi seperti Persaudaraan Alumni 212, Front Pembela Islam, dan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama melakukan unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja di Jakarta. Aksi tersebut berakhir dengan kerusuhan sejak menjelang malam.
Kekerasan oleh aparat pun dialami oleh empat relawan Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC). Pada malam itu, para relawan ditugaskan di depan Apartemen Fresher Menteng, Jakarta Pusat yang bersebelahan dengan kantor PP Muhammadiyah untuk mengantisipasi jika ada korban jatuh dalam unjuk rasa.
"Selang beberapa saat, datanglah rombongan Resmob Polda Metro Jaya dari arah Hotel Treva, Cikini, langsung menyerang relawan dan beberapa warga yang ada di halaman Apartemen Fresher Menteng," ujar Ketua MDMC, Budi Setiawan dalam keterangan tertulisnya yang diterima Tempo pada Rabu, 14 Oktober 2020.
<!--more-->
Budi berujar, korban penganiayaan sudah mengenakan rompi bertuliskan Relawan Muhammadiyah, namun tetap dipukuli. Bahkan sebelum dipukuli, kata Budi, para relawan ditabrak polisi menggunakan sepeda motor.
"Setelah terjatuh, diseret ke mobil sambil dipukuli dengan tongkat dan ditendang," kata Budi.
Berselang lima hari sebelum aksi oleh ANAK NKRI, kelompok buruh dan Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) juga turun ke jalan. Di Ibu Kota, massa aksi mendatangi Istana Merdeka, kantor Presiden Joko Widodo atau Jokowi untuk menolak UU Cipta Kerja. Dalam aksi yang juga berujung kerusuhan tersebut, polisi pun diduga melakukan kekerasan terhadap masyarakat.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat total ada 28 kasus kekerasan oleh polisi terhadap wartawan saat meliput aksi penolakan omnibus law UU Cipta Kerja. Ketua Bidang Advokasi AJI, Sasmito Madrin mengatakan jenis kekerasan didominasi oleh pengerusakan alat dan perampasan data hasil liputan.
"Yakni ada 9 kasus. Lalu, intimidasi 7 kasus, kekerasan fisik 6 kasus, dan penahanan 6 kasus," ujar Sasmito melalui diskusi daring pada Sabtu, 10 Oktober 2020.
Salah satu wartawan korban kekerasan polisi adalah Peter Rotti dari Suara.com. Dia mengalami kekerasan saat meliput demonstrasi di kawasan Jalan MH. Thamrin, Jakarta Pusat pada Kamis, 8 Oktober 2020.
"Peristiwa terjadi sekitar pukul 18.00, saat Peter merekam video aksi sejumlah aparat kepolisian mengeroyok seorang peserta aksi di sekitar halte Transjakarta Bank Indonesia," kata Pemimpin Redaksi Suara.com Suwarjono, Jumat, 9 Oktober 2020.
Suwarjono menuturkan, penganiayaan diawali ketika Peter sedang melakukan live report di akun Youtube. Peter didampingi oleh rekannya seorang videografer, yakni Adit Rianto S. Seorang aparat berpakaian sipil serta hitam tiba-tiba menghampiri Peter. Aparat itu baru saja melihat Peter merekam aksi para polisi melakukan penganiayaan terhadap peserta aksi dari mahasiswa.
Setelah itu, kata Suwarjono, enam polisi dari kesatuan Brimob ikut nimbrung. Aparat meminta kamera Peter, tapi ditolak. Namun, polisi justru memaksa dan merampas kamera tersebut meski sudah dijelaskan dirinya seorang wartawan yang tengah meliput.
"Peter pun diseret sambil dipukul dan ditendang oleh segerombolan polisi tersebut," kata Suwarjono.
<!--more-->
Kepala Kepolisian Resor Metro Jakarta Pusat Komisaris Besar Heru Novianto berdalih petugas menembakkan gas air mata ke permukiman warga Kwitang karena massa aksi bersembunyi di sana. Massa sembunyi di Kwitang setelah dibubarkan di kawasan Tugu Tani.
Heru mengatakan, massa aksi sudah tiga kali bolak-balik masuk ke permukiman warga Kwitang. Saat keluar permukiman, kata dia, massa melakukan pembakaran. Karena itu, kata Heru, polisi akhirnya masuk ke dalam lingkungan tempat tinggal warga untuk membubarkan.
"Kalau tidak kita tuntaskan, mereka (massa aksi) akan keluar-keluar lagi (dari permukiman)," kata Heru.
Sementara itu, Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus enggan berkomentar banyak soal dugaan penganiayaan yang dilakukan polisi terhadap jurnalis. Jika ada yang merasa jadi korban, Yusri hanya menyarankan untuk melapor.
"Bikin laporan ke Propam Polda," ujar Yusri di Polda Metro Jaya pada Jumat, 9 Oktober 2020.
Polisi seolah tidak belajar dari kesalahan yang baru dilakukannya tahun lalu. Pada 2019, penanganan aparat dalam aksi 22 Mei dan gerakan Reformasi Dikorupsi menimbulkan banyak korban luka hingga korban jiwa. Bahkan, kasus tewasnya mahasiswa di Kendari, Sulawesi Tenggara karena penanganan unjuk rasa Reformasi Dikorupsi masih berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan hingga saat ini alias belum vonis.
"Sejauh pengamatan, baru tahun ini saja, yang kasus lama masih berjalan terus tiba-tiba muncul korban baru dan tipenya sama, penanganan aksi massa," ujar Peneliti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak kekerasan (KontraS), Rivanlee Anandar kepada Tempo, Jumat, 16 Oktober 2020.
Menurut Rivanlee, penanganan aksi massa oleh polisi setidaknya sejak 2019 sudah tidak lagi melihat aturan-aturan yang berlaku seperti Perkap Nomor 8 tahun 2009 mengenai implementasi HAM. Selain itu, polisi juga dinilai melakukan tindakan secara subyektif.
<!--more-->
Di saat pimpinan kepolisian belum melakukan evaluasi atas penanganan aksi massa tahun lalu, kata Rivanlee, mereka justru membuat satu pola baru di tahun ini. Pola tersebut adalah adanya legitimasi dari pimpinan polisi untuk melakukan tindakan-tindakan subyektif dalam penanganan aksi massa.
"Yaitu dengan adanya surat telegram Kapolri. Model surat telegram itu sebelumnya tidak ada," kata dia.
Dalam telegram bernomor STR/645/X/PAM.3.2./2020, Kapolri Jenderal Idham Aziz menginstruksikan beberapa hal untuk jajarannya terkait rencana aksi unjuk rasa dan mogok nasional kelompok buruh dan masyarakat sipil lainnya guna menolak UU Cipta Kerja.
Beberapa instruksi itu di antaranya melaksanakan giat fungsi intelijen dan deteksi dini; mencegah, meredam, dan mengalihkan aksi unjuk rasa dengan dalih mencegah penyebaran Covid-19; patroli siber pada media sosial dan manajemen media untuk membangun opini publik yang tak setuju dengan aksi unjuk rasa di tengah pandemi.
M YUSUF MANURUNG | BUDIARTI UTAMI PUTRI | LANI DIANA