Merunut Pasal Misterius di Omnibus Law UU Cipta Kerja

Rabu, 14 Oktober 2020 21:36 WIB

Logo Te.co Blank

TEMPO.CO, Jakarta - Draf Omnibus Law Undang-undang Law Cipta Kerja akhirnya mentok di 812 halaman setelah direvisi dan dirombak berulang kali. Sebelumnya draf dari berbagai versi beredar, mulai dari versi 1.028 halaman, 905 halaman, 1.058 halaman hingga 1.035 halaman. Tapi di saat terakhir, naskah sebanyak 812 halaman yang diserahkan oleh DPR ke Presiden Jokowi pada hari ini, Rabu, 14 Oktober 2020.

Tenaga Ahli Utama Kedeputian Komunikasi Politik Kantor Staf Presiden Donny Gahral Adian mengatakan bahwa pemerintah akan langsung bekerja membuat aturan turunan dari Omnibus Law ini. "Sesegera mungkin (akan dibahas) karena presiden kan bilang maksimal tiga bulan, jadi saya kira tim penyusun sudah mulai bekerja," kata Donny.

Pemerintah, menurut Donny, akan tetap melibatkan publik dalam pembahasan aturan turunan tersebut. Sebab, menurutnya, hal ini harus tetap bisa dipertanggungjawabkan kepada publik. "Tim penyusun pasti akan mengundang akademisi, tokoh masyarakat, ormas, semua yang bisa memberi masukan terhadap aturan turunan ini," kata Donny.

Berubah-ubahnya draf UU padahal telah disahkan di rapat paripurna Senin pekan lalu tersebut yang terus disorot berbagai kalangan. Penolakan dari banyak pihak ini yang kemudian berujung pada demonstrasi besar-besaran pada 8 Oktober 2020 lalu dan berakhir rusuh.

Advertising
Advertising

Salah satu kritik dilontarkan oleh ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri. "Padahal ini sudah diketok di sidang paripurna. Ini menunjukkan betapa terburu-buru dan dipaksakannya. Seolah-olah kiamat negeri ini kalau tidak ada Omnibus Law," ujar Faisal dalam sebuah webinar, Senin malam, 12 Oktober 2020.

Ia juga mempersoalkan pengesahan beleid sapu jagad padahal masih banyak kritik dari berbagai kalangan, misalnya organisasi keagamaan, guru besar, hingga buruh. Artinya, tidak banyak pihak yang disenangkan oleh adanya beleid ini.

"Pemerintah bilang UU tidak mungkin menyenangkan semua, tapi kalau yang merasa terganggu organisasi keagamaan, organisasi profesi keilmuan, guru besar hukum, buruh, mahasiswa, yang disenangkan siapa? Pengusaha. Berarti itu bukan UU yang bagus," ucap Faisal.

DPR juga dinilai sudah terlambat untuk menyerahkan draf UU Cipta Kerja ini ke presiden. Sidang paripurna ketuk palu pengesahan sudah digelar sejak Senin, 5 Oktober 2020. Sementara, Pasal 72 Undang-undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan memberi waktu tujuh hari setelah pengesahan, yaitu 12 Oktober 2020.

<!--more-->

"Omnibus Law cacat formil sehingga tidak memenuhi syarat untuk disahkan dan diundangkan," demikian keterangan resmi dari Fraksi Rakyat Indonesia yang beranggotakan sejumlah kelompok masyarakat sipil di Jakarta, Rabu, 14 Oktober 2020.

Ahli Hukum Tata Negara Bivitri Susanti juga mempersoalkan perubahan substansi yang terjadi setelah DPR menyetujui sebuah Undang-undang. "Mengubah isi (substansi) UU setelah UU disetujui adalah bentuk cacat formil," kata Bivitri saat dihubungi Tempo, Selasa, 13 Oktober 2020.

Di luar masalah prosedur, Tempo telah membandingkan perubahan pada substansi yang terjadi setelah UU ini disahkan. Adakah pasal misterius yang diduga tiba-tiba muncul atau malah hilang di Omnibus Law tersebut?

Hilangnya Klausul di Pesangon

Salah satu substansi yang dirombak terjadi pada aturan pesangon bagi pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Dalam Pasal 156 UU Ketenagakerjaan, pengaturan uang pesangon diberikan dengan klausul ‘paling sedikit’. Pasal ini berbunyi: "perhitungan uang pesangon paling sedikit sebagai berikut".

Lalu UU Omnibus Law disahkan DPR pada 5 Oktober 2020. Beberapa jam kemudian, beredarlah draf pertama versi 905 halaman. Dalam draf versi pertama ini, klausul "paling sedikit" di UU Ketenagakerjaan diubah menjadi "paling banyak".

Tapi beberapa hari kemudian kemudian, DPR mengunggah draf baru di laman resmi mereka dengan versi kedua yaitu 1028 halaman. Dalam draf versi kedua ini, klausul "paling banyak" direvisi menjadi "paling sedikit" seperti aturan semula di UU Ketenagakerjaan. Hanya saja, nasib draf versi kedua ini tak lama.

Senin, 12 Oktober 2020, DPR mengumumkan draf versi ketiga dengan jumlah 1035 halaman. Lagi-lagi umurnya tak panjang, karena ada penyesuaian ukuran kertas. Sehingga, jadilah draf versi keempat yang terakhir kalinya, dengan jumlah 812 halaman.

Perubahan krusial pun terjadi. Jika semula terjadi gonta-ganti klausul "paling banyak" dan "paling sedikit", maka kini tidak ada kedua klausul tersebut. Draf UU Omnibus Law versi keempat yang siap diserahkan ke presiden sama sekali tidak memuat klausul apapun.

<!--more-->

"Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada diberikan dengan ketentuan sebagai berikut," demikian bunyi akhir dan terakhir dari Pasal 156 baru UU Ketenagakerjaan yang diubah lewat Omnibus Law.

Tempo mengkonfirmasi hilangnya klausul ini kepada Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), tapi belum ada penjelasan lebih lanjut soal sikap mereka. "Masih kami pelajari," kata juru bicara KSPI Kahar Cahyono saat dihubungi.

Dari 32 Upah Menjadi 25 upah

Semula UU ini disahkan pada 5 Oktober 2020, perubahan juga telah terjadi dalam hal besaran pesangon. UU Ketenagakerjaan memberikan pesangon PHK 32 kali upah. Dalam pembahasan, pemerintah tetap mengusulkan besaran yang sama, tapi dibayarkan secara gotong royong.

Semula 32 kali upah ini ditanggung sepenuhnya oleh pengusaha. Namun dalam usulan pertama pemerintah, pembayaran tetap 32 kali upah. Hanya saja, 23 oleh perusahan dan 9 oleh pemerintah.

Usulan ini sebenarnya siap untuk disepakati. Tapi tiba-tiba terjadi perubahan dua hari sebelum Omnibus Law disahkan di sidang paripurna. Skema pesangon 32 kali upah dipangkas menjadi 25 kali saja.

Mekanisme pembayaran tetap dengan cara gotong royong, tapi kali ini 19 kali upah dibayarkan perusahaan dan 6 kali upah dibayar pemerintah. Sebanyak 6 kali upah dari pemerintah ini dibayarkan lewat BP Jamsostek lewat program baru bernama Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), atau yang di negara lain bernama Unemployment Insurance.

Pemangkasan ini disampaikan oleh Staf Ahli Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Elen Setiadi sebagai perwakilan pemerintah, dalam rapat bersama Badan Legislasi atau Baleg DPR pada Sabtu, 3 Oktober 2020. "Dalam perkembangan dan memperhitungkan kondisi pandemi saat ini maka beban tersebut diperhitungkan ulang," katanya.

<!--more-->

Usulan ini pun diterima dan akhirnya terjadilah pemangkasan besaran pesangon PHK ini. Beberapa jam kemudian, sebelum lewat tengah malam, Baleg DPR dan pemerintah memutuskan pembahasan ini dinyatakan rampung di tingkat I sehingga bisa dilanjutkan ke tingkat II di sidang paripurna.

Temuan Pemerintah soal Pesangon

Setelah Omnibus Law ketuk palu pada 5 Oktober 2020, tiga hari kemudian Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menjelaskan soal pemangkasan besaran pesangon ini. Ia mengatakan pemangkasan menjadi 25 kali upah ini terjadi karena pemerintah yang ingin memastikan pekerja atau buruh benar-benar mendapat pesangon yang menjadi haknya.

“Jadi kalau angkanya (pesangon) tinggi, tapi tidak dapat diterima sama juga dengan bohong,” katanya dalam sosialisasi tentang UU Cipta Kerja klaster Ketenagakerjaan yang disiarkan melalui YouTube.

Terlebih, kata Ida, selama ini data menunjukkan sedikit sekali pekerja yang menerima hak pesangon sesuai yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Data pembayaran pesangon bagi PHK yang tak sesuai ini sebenarnya juga jadi pertimbangan pemerintah, mengusulkan perubahan.

Data yang jadi rujukan yaitu rekap pembayaran pesangon dari 536 Persetujuan Bersama (PB) untuk PHK yang dihimpun Kementerian Ketenagakerjaan pada 2019. Dari total 536 ini, hanya 27 persen yang membayar pesangon UU Ketanagkerjaan. Sisanya yaitu 73 persen tidak sesuai ketentuan.

Walau demikian, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal tetap tidak setuju dengan argumen ini. "Pengurangan terhadap nilai pesangon jelas-jelas merugikan kaum buruh." kata dia.

Sebab, tidak ada penjelasan dalam Omnibus Law ini soal 6 kali upah yang dibayarkan pemerintah, apakah 6 kali atau 6 bulan. Sehingga, kata dia, bisa saja pesangon diberikan sekian ratus ribu saja, tapi sebanyak 6 kali pembayaran.

<!--more-->

Dana Idle

Sementara itu, Ketua Komite Tetap Ketenagakerjaan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bob Azam punya pandangan lain. Menurut dia, masalah yang lebih penting bukan pada persoalan besaran pesangon, tapi transformasi dari pengelolaan dana itu di perusahaan. "Jadi isunya transformasi, not just talking number," kata Bob saat dihubungi.

Bob bercerita bahwa sesuai dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan atau PSAK 24, uang pesangon dimasukkan dalam dana yang harus dicadangkan dalam laporan keuangan. Uang pesangon ini kemudian menjadi dana idle alias "dana yang harus dicadangkan". Sederhananya, dana ini tak terpakai.

Bob mengatakan jumlah dana idle yang tersedia di ribuan perusahaan di Indonesia sangatlah banyak. Tapi dalam kondisi bisnis sedang sulit di tengah Covid-19, sebagian perusahaan harus menggunakan dana idle ini untuk bertahan.

Ketika pesangon harus dibayarkan, dana cadangan malah tidak ada. Sehingga, inilah perlunya transformasi pengelolaan dana idle ini dalam Omnibus Law. Salah satunya dengan menempatkan dana ini di unit investasi yang berkembang.

Transformasi ini pun terjadi Omnibus Law. Besaran pesangon kini sudah menjadi 25 kali upah, di mana 6 kali upah ditanggung pemerintah lewat JKP di BP Jamsostek dan 19 kali upah dibayar perusahaan.

Tapi, Bob menyebut 19 kali upah ini belum jelas pengaturannya, apakah masih jadi dana idle seperti yang lama atau bakal ditempatkan di unit investasi tertentu. Ia mengatakan ketentuan ini harus dibicarakan bersama di level Peraturan Pemerintah. "Jadi UU ini belum sempurna," kata Bob.

Meski begitu, sejauh ini, Bob belum menerima undangan lagi dari pemerintah untuk melakukan pembahasan bersama. Sebelumnya, pembahasan soal JKP ini sudah pernah dilakukan di zaman Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri. Saat itu, kata dia, serikat pekerja pun juga diundang.

<!--more-->

Pembahasan dilakukan karena model pengelolaan dana pesangon seperti ini sudah dilakukan di negara-negara tetangga. Bob mencontohkan sebuah perusahaan taksi di Singapura. "Karyawan taksi di sana kaya, gak usah demo," ujarnya.

Tapi akhirnya, tak ada kejelasan sampai akhirnya benar-benar ditetapkan dalam Omnibus Law. Kini, Bob pun berharap uang hasil investasi dana idle inilah yang menjadi dana masa depan pekerja, tak hanya bergantung pada pesangon. Sehingga, Labor Management di Indonesia bisa berubah menjadi Wealth Management.

Tak Cuma Pesangon

Aturan pesangon ini hanya satu dari ketentuan yang berubah-ubah setelah ketuk palu DPR. Dalam pengamatan Tempo, perubahan juga sempat terjadi di UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup alias UU PPLH.

Dalam UU PPLH, dokumen analisis dampak lingkungan (Amdal) dinilai oleh Komisi Penilai Amdal. Dalam Omnibus Law draf pertama 905 halaman, penilaian dilakukan oleh tim uji kelayakan yang dibentuk oleh Lembaga Uji Kelayakan Pemerintah Pusat.

Tapi dalam draf versi kedua 1028 halaman, klausul "Lembaga Uji Kelayakan" ini hilang. Hanya tersisa penjelasan kalau uji kelayakan dilakukan oleh pemerintah pusat.

Menariknya, draf kedua ini juga menyelipkan perubahan pasal 23 UU PPLH. Padalah, dalam draf pertama yang 905 halaman, Pasal 23 ini tidak disentuh sama sekali alias tidak pernah ada.

Hingga akhirnya draf keempat yaitu 812 halaman disepakati. Draf terakhir ini kembali mengatur bahwa tim uji kelayakan dibentuk oleh lembaga uji kelayakan pemerintah pusat.

Soal ini, DPR akhirnya memperbaiki penulisannya. Dari semula huruf kapital yaitu "Lembaga Uji Kelayakan" menjadi huruf kecil "lembaga uji kelayakan". Dalam draf terakhir, Pasal 23 yang sempat nongol ini pun akhirnya tak lagi muncul di draf terakhir Omnibus Law 812 halaman, yang diserahkan ke Jokowi.

FAJAR PEBRIANTO | CAESAR AKBAR | GABRIEL ANIN | EGI ADYATAMA

Baca: Omnibus Law, Faisal Basri: Negara Gandeng Pengusaha Mengarah ke Raksasa Zalim

Berita terkait

Terpopuler: Tim Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Segera Dibentuk, AirAsia Tebar Promo Tiket 28 Rute Internasional Mulai Kemarin

5 hari lalu

Terpopuler: Tim Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Segera Dibentuk, AirAsia Tebar Promo Tiket 28 Rute Internasional Mulai Kemarin

Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan Indonesia dan Tiongkok telah sepakat untuk membentuk tim ihwal penggarapan proyek Kereta Cepat Jakarta-Surabaya.

Baca Selengkapnya

Kisruh Google Lakukan PHK yang Diprotes Tentang Kerjasama yang Dukung Israel, Pekerja Buka Suara

5 hari lalu

Kisruh Google Lakukan PHK yang Diprotes Tentang Kerjasama yang Dukung Israel, Pekerja Buka Suara

Salah satu karyawan Google pun buka suara terkait PHK yang dilakukan Google terhadap 28 karyawan.

Baca Selengkapnya

Perusahaan Lakukan PHK Karyawan, Simak Ketentuan Hak dan Kewajiban yang Harus Ditaati

5 hari lalu

Perusahaan Lakukan PHK Karyawan, Simak Ketentuan Hak dan Kewajiban yang Harus Ditaati

Perusahaan yang melakukan PHK perlu memperhatikan beberapa ketentuan mengenai hak dan kewajibannya terhadap karyawan.

Baca Selengkapnya

Google Kembali Melakukan PHK, Ini Alasannya

8 hari lalu

Google Kembali Melakukan PHK, Ini Alasannya

Dalam beberapa bulan terakhir Google telah melakukan PHK sebanyak 3 kali, kali ini berdampak pada 28 karyawan yang melakukan aksi protes.

Baca Selengkapnya

Alasan Tesla, Google, dan Amazon Kembali PHK Karyawan

8 hari lalu

Alasan Tesla, Google, dan Amazon Kembali PHK Karyawan

Raksasa teknologi Tesla, Google, dan Amazon melakukan PHK karyawan. Apa alasannya?

Baca Selengkapnya

Terkini Bisnis: Ekonom Sepakat dengan Kritik Faisal Basri terhadap Menteri yang Bersaksi di Sidang MK, Puncak Arus Balik Lebaran

12 hari lalu

Terkini Bisnis: Ekonom Sepakat dengan Kritik Faisal Basri terhadap Menteri yang Bersaksi di Sidang MK, Puncak Arus Balik Lebaran

Yusuf Wibisono turut mengkritik menteri Muhadjir Effendy yang mengklaim tidak ada pengaruh bansos terhadap perolehan suara Prabowo - Gibran.

Baca Selengkapnya

Ekonom Dukung Kritik Faisal Basri terhadap 3 Menteri yang Bersaksi soal Politisasi Bansos di MK

12 hari lalu

Ekonom Dukung Kritik Faisal Basri terhadap 3 Menteri yang Bersaksi soal Politisasi Bansos di MK

Yusuf Wibisono menilai pendapat ketiga menteri di hadapan majelis hakim MK mengecewakan publik.

Baca Selengkapnya

Faisal Basri Tanggapi Airlangga Hartarto soal Produksi Beras Anjlok 5,88 Juta Ton karena El Nino: Bluffing Luar Biasa

14 hari lalu

Faisal Basri Tanggapi Airlangga Hartarto soal Produksi Beras Anjlok 5,88 Juta Ton karena El Nino: Bluffing Luar Biasa

Faisal Basri mengkritik statment Airlangga Hartarto dalam sidang sengketa Mahkamah Konstitusi yang menyebut produksi beras di Indonesia turun karena El Nino.

Baca Selengkapnya

Faisal Basri Blak-blakan Kritik 3 Menteri Jokowi di Sidang Sengketa Pilpres: Mereka Hanya Baca Pidato Kenegaraan

14 hari lalu

Faisal Basri Blak-blakan Kritik 3 Menteri Jokowi di Sidang Sengketa Pilpres: Mereka Hanya Baca Pidato Kenegaraan

Faisal Basri menanggapi kesaksian empat menteri Presiden Jokowi dalam sidang sengketa Pilpres 2024. Tiga di antaranya disebut hanya membaca pidato.

Baca Selengkapnya

4 Pernyataan Faisal Basri Saat Sidang Sengketa Pilpres 2024 di MK, Termasuk Politik Gentong Babi ala Jokowi

24 hari lalu

4 Pernyataan Faisal Basri Saat Sidang Sengketa Pilpres 2024 di MK, Termasuk Politik Gentong Babi ala Jokowi

Ekonom senior UI Faisal Basri jadi ahli dalam sidang sengketa Pilpres di MK. Setidaknya ada 4 poin yang ia tegaska,. termasuk politik gentong babi.

Baca Selengkapnya