Upaya Meredam Massa Aksi Tolak Omnibus Law Cipta Kerja
Reporter
Budiarti Utami Putri
Editor
Syailendra Persada
Minggu, 11 Oktober 2020 11:56 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah menempuh berbagai cara untuk meredam aksi penolakan omnibus law Undang-undang Cipta Kerja. Presiden Joko Widodo malah menyebut aksi unjuk rasa menolak omnibus law disebabkan disinformasi dan hoaks di media sosial.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, yang menjadi perwakilan utama pemerintah dalam mengegolkan aturan ini, menuding aksi disponsori. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. menuduh ada aktor intelektual di balik aksi.
"Pemerintah dengan segala caranya untuk mencegah kemarahan publik punya segala kuasa untuk memutarbalikkan isu," kata Direktur Eksekutif Pusat Studi dan Konstitusi (Pusako), Universitas Andalas, Feri Amsari kepada Tempo, Ahad, 11 Oktober 2020.
Upaya pemerintah mengecilkan gerakan terlihat masif sejak awal bulan ini. Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Idham Azis mengeluarkan telegram bernomor STR/645/X/PAM.3.2./2020 tertanggal 2 Oktober 2020. Kapolri menginstruksikan jajarannya untuk meredam, melarang, dan menindak aksi unjuk rasa dan mogok nasional menolak RUU Cipta Kerja.
Personel intelijen juga dikerahkan untuk melobi pimpinan serikat buruh agar tak menggelar aksi. Dua pimpinan serikat buruh yang sempat didatangi intel ialah Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia Riden Hatam Aziz pada Ahad, 4 Oktober dan Panglima Koordinator Daerah Garda Metal Cilegon Ismail pada Jumat, 2 Oktober.
Juru bicara Badan Intelijen Negara Wawan Hari Purwanto membantah jika lembaganya disebut melobi koordinator pengunjuk rasa. Menurut dia, personel BIN selama menjalankan tugas operasi tak akan mengaku sebagai intelijen. "Jadi jika ada yang mengaku dari BIN perlu diverifikasi sebab hal itu tak lazim," kata Wawan, dikutip dari Majalah Tempo edisi Sabtu, 10 Oktober 2020.
Kamis, 8 Oktober, aksi digelar serentak di pelbagai daerah. Di Jakarta, protes yang sedianya berlangsung di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat bergeser ke arah Istana Negara. Sebab, DPR dan pemerintah mempercepat sidang paripurna mengesahkan RUU Cipta Kerja pada Senin, 5 Oktober.
Sejumlah koalisi masyarakat sipil menyebut kepolisian bertindak represif dalam menangani massa aksi pada Kamis lalu. Di Jakarta saja, lebih dari 1.000 peserta unjuk rasa ditangkap. Puluhan hingga ratusan lainnya ditangkap dalam aksi di berbagai daerah.
<!--more-->
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyebut lembaganya kesulitan memberikan pendampingan hukum. YLBHI juga masih mendesak polisi membuka data peserta aksi yang ditahan.
Belakangan, polisi mengancam mengenakan Undang-undang ITE untuk orang-orang yang dianggap menyebarkan hoaks di media sosial. Hoaks yang dimaksud ialah informasi ihwal beberapa pasal ketenagakerjaan di omnibus law yang dinilai tidak benar, seperti penghapusan cuti, pesangon, hingga Upah Minimum Provinsi.
Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Fraksi Rakyat Indonesia mengecam tindakan Kepolisian menggunakan pasal hoaks UU ITE. Sebab, hingga kini pun belum ada naskah final UU Cipta Kerja yang telah disahkan. Badan Legislasi DPR mengatakan naskah itu masih dirapikan dari kemungkinan salah ketik.
"Kami mendesak Kepolisian untuk berhenti mengintimidasi gerakan penolakan omnibus law," kata Fraksi Rakyat Indonesia dalam keterangan tertulis, Sabtu, 10 Oktober 2020.
Upaya meredam gerakan penolakan juga dilakukan dengan melibatkan pemerintah daerah. Jumat, 9 Oktober lalu, Presiden Jokowi mengundang para gubernur dan meminta mereka melakukan sosialisasi UU Cipta Kerja kepada masyarakat. Padahal, para gubernur sebelumnya tak pernah dilibatkan dalam pembahasan aturan yang akan mengamputasi kewenangan mereka tersebut.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga turun tangan. Melalui surat, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud, Nizam, mengimbau perguruan tinggi menggencarkan pendidikan jarak jauh dan meminta mahasiswa tak menggelar aksi.
Kemendikbud juga meminta para dosen tak memprovokasi mahasiswa melakukan demonstrasi. Kampus diminta melakukan kajian intelektual untuk diserahkan kepada pemerintah dan DPR secara santun.
Padahal, sejak Februari lalu, telah banyak aspirasi disampaikan para dosen dan guru besar terkait omnibus law. Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada misalnya, sebelumnya telah mengirim kertas kebijakan (policy paper) kepada pemerintah dan DPR.
Feri Amsari mengatakan cara-cara pemerintah ini sudah menjadi tabiat berulang seperti saat revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Feri tak memungkiri langkah pemerintah ini akan berdampak pada aksi. "Tapi saya pikir harus disadari serangan pasti ada. Tinggal sejauh mana sikap publik untuk bertahan," kata Feri.
<!--more-->
Ketua Forum Buruh Lintas Pabrik (FBLP) Jumisih mengatakan cara pemerintah yang kian represif justru akan memicu perlawanan lebih besar. Ia mengatakan tuntutan masyarakat adalah agar Presiden segera menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) untuk membatalkan UU Cipta Kerja.
"Pemerintah tidak bisa serta merta menyampaikan kalau tidak setuju dengan UU Cipta Kerja ya judicial review saja. Itu menunjukkan seolah-olah ya itulah yang sebenarnya sedang direncanakan pemerintah," kata Jumisih kepada Tempo, Ahad, 11 Oktober 2020.
Dalam konferensi pers Kamis malam lalu, Jumisih mengatakan buruh akan terus bersuara menolak omnibus law kendati direpresi. Menurut dia, buruh-buruh di daerah merasa tak puas dengan respons pemerintah atas aksi 8 Oktober.
"Terlepas apa pun situasinya tidak membuat teman-teman berhenti meskipun ada situasi represif," ujar Jumisih.
Hal senada disampaikan Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI). "Narasi perjuangan penolakan akan terus kami gaungkan sampai UU Cipta Kerja dicabut," ujar Koordinator Aliansi BEM SI Remy Hastian.