Omnibus Law, Karpet Merah Tenaga Kerja Asing dari Pasal-pasal yang Rontok
Reporter
Francisca Christy Rosana
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Kamis, 8 Oktober 2020 20:11 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Suara serak orasi buruh silih berganti. Semangat mereka tetap berapi-api, menuntut pembatalan Undang-undang Cipta Kerja atau Omnibus Law. Ini hari ketiga para buruh dan pekerja mogok turun ke jalan, setelah beleid itu disahkan DPR pada 5 Oktober 2020.
Berpusat di kawasan-kawasan industri, buruh menyerukan pasal-pasal yang hanya menguntungkan investor dalam undang-undang sapu jagat. Aturan ini dinilai mengancam kesejahteran hak-hak pekerja. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dalam tuntutannya setidaknya menyoroti 12 klausul. Salah satu poin yang dipersoalkan adalah longgarnya izin tenaga kerja asing masuk Indonesia.
Klausul ini dikhawatirkan menggeser hak-hak pencari kerja memperoleh lapangan pekerjaan di negeri sendiri. “Jelas ini akan mempermudah TKA (tenaga kerja asing) masuk. Apalagi praktiknya, saat ini saja TKA unskill (tidak memiliki kemampuan) sudah banyak yang masuk,” tutur Presiden KSPI Said Iqbal dalam surat terbukanya yang dikutip pada 8 Oktober 2020.
Penolakan UU Cipta Kerja akibat pelonggaran perekrutan tenaga asing juga datang dari Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Syarief Hasan. Ia menilai keberadaan produk undang-undang ini hanya akan menimbulkan masalah baru di tengah pandemi Covid-19.
“RUU ini hanya akan menyebabkan karyawan kontrak susah diangkat menjadi karyawan tetap. Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) akan semakin besar,” ujar Syarief.
<!--more-->
Berdasarkan naskah undang-undang Cipta Kerja, pengaturan tentang tenaga kerja asing diatur pada bagian kedua klaster ketenagakerjaan. Dalam Pasal 81 termuat pengubahan, penghapusan, dan tambahan beberapa klausul dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Adapun pengubahan tampak pada Pasal 42 ayat 1. Di undang-undang sebelumnya, setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk. Sedangkan dalam beleid yang baru, izin tertulis hanya diganti dengan rencana penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh pemerintah pusat.
Kemudian pada ayat 3, pemerintah menambahkan pihak-pihak yang bebas dari persyaratan yang tercantum di ayat 1. Sebelumnya, pihak yang dikecualikan mengurus izin seperti yang tertera pada ayat 1 hanya berlaku bagi perwakilan negara asing yang mempergunakan tenaga kerja asing sebagai pegawai diplomatik dan konsuler.
Sedangkan di beleid anyar, pengecualian syarat pada ayat 1 diperlebar bukan hanya bagi pegawai diplomatik dan konsuler. Melainkan juga untuk direksi atau komisaris dengan kepemilikan saham tertentu atau pemegang saham serta tenaga kerja asing yang dibutuhkan oleh pemberi kerja pada jenis kegiatan produksi yang terhenti karena keadaan darurat, vokasi, perusahaan rintisan (start-up), kunjungan bisnis, dan penelitian untuk jangka waktu tertentu.
Pemerintah sejatinya tetap mengatur pekerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu pada ayat 4 pasal tersebut. Namun, ayat 5 yang berbunyi bahwa ketentuan di ayat 4 yang mesti disertai dengan Keputusan Menteri dihapus.
<!--more-->
Sebagai gantinya, pada ayat 5 UU Cipta Kerja, pemerintah hanya menambahkan klausul tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan yang mengurusi bidang personalia.
Selain itu, pemerintah juga mengubah ayat 6 yang berbunyi: “Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) yang masa kerjanya habis dan tidak dapat di perpanjang dapat digantikan oleh tenaga kerja asing lainnya,” menjadi: “Ketentuan mengenai jabatan tertentu dan waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
Selanjutnya, pemerintah juga mengubah bunyi pasal 45 dalam UU Nomor 13 Tahun 2003. Pada regulasi sebelumnya, pemerintah mengatur semua tenaga kerja asing yang dipekerjakan untuk alih teknologi dan alih keahlian wajib memiliki pendamping warga negara Indonesia. Namun di udnang-undang yang baru, aturan ini dikecualikan bagi tenaga kerja asing yang menduduki jabatan direksi dan/atau komisaris.
Meski demikian, pemerintah menambahkan aturan yang menyertai pasal itu, yakni pemberi kerja wajib memulangkan tenaga kerja asing ke negara asalnya setelah hubungan kerjanya berakhir. Ketentuan tersebut tidak berlaku bagi tenaga kerja asing yang menduduki jabatan tertentu.
Pasal lain yang diubah adalah Pasal 47. Pasal ini mengatur pembayaran kompensasi atas tenaga kerja asing yang dipekerjakan di Indonesia. Pada ayat 1, pasal tersebut berbunyi pemberi kerja wajib membayar kompensasi atas setiap tenaga kerja asing yang dipekerjakannya.
Kemudian ayat 2 berbunyi kewajiban membayar kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi instansi pemerintah, perwakilan negara asing, badan-badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan-jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
<!--more-->
Kedua ayat itu tidak dihilangkan. Namun, pemerintah mengganti bunyi ayat 3 dari semula “ketentuan mengenai jabatan-jabatan tertentu di lembaga pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri,” menjadi “ketentuan mengenai besaran dan penggunaan kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pemerintah pun menghapus ayat 4 yang berisi ketentuan mengenai besarnya kompensasi dan penggunaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Sebagai gantinya, pemerintah hanya menyertakan klausul yang menyebut bahwa besaran dan penggunaan kompensasi seperti yang diatur dalam ayat 1 ditetapkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Masih dalam Pasal 81 Undang-undang Cipta Kerja, pemerintah menghapus tiga pasal dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 yang mengatur tenaga kerja asing. Pasal yang dihapus di antaranya Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 46.
Pasal 43 mengatur tentang detail kewajiban pemberi kerja memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh menteri yang ditunjuk. Sedangkan Pasal 44 mengatur ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi pekerja asing. Adapun Pasal 46 mengatur soal larangan tenaga kerja asing menduduki jabatan yang mengurusi personalia dan/atau jabatan-jabatan tertentu.
Bercermin dari perubahan aturan tersebut, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara, menilai tenaga kerja asing terlampau memperoleh prioritas berlebihan dari pemerintah. Bhima menyoroti pengecualian bagi pekerja asing di perusahaan rintisan yang memperoleh pengecualian dokumen.
<!--more-->
Bhima mengatakan ketentuan ini mengancam potensi pekerja lokal. “Ini startup tempat talenta lokal menaruh harapan, tapi keran tenaga kerja asingnya dibuka lebar sekali. Artinya UU Cipta Kerja sedang mematikan kesempatan talenta lokal untuk berkarya di startup,” ucapnya.
Longgarnya izin tenaga kerja asing juga disebut bakal berefek pada repatriasi dana ke luar negeri. Musababnya, kata Bhima, gaji yang diterima tenaga kerja asing tiap bulan akan membuat devisa ke luar negeri mengalir deras. Kondisi ini ditengarai bakal merugikan stabilitas nilai tukar dalam jangka panjang.
Di samping itu, Bhima memandang UU Cipta Kerja sengaja menghilangkan kewajiban pemenuhan standar kompetensi tenaga kerja asing. “Artinya tenaga kerja yang unskilled pun bisa masuk. Kalau begitu apa ada yang namanya transfer of skill dan knowledge dari para TKA ke tenaga kerja lokal?” ucapnya.
Bhima pun menyebut satu-satunya jalan yang bisa dilakukan saat ini ialah mengajak elemen masyarakat dan pekerja yang merasa dirugikan untuk bergerak. Caranya, masyarakat bisa mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menampik Undang-undang Cipta Kerja memberi karpet merah bagi tenaga kerja asing. Ia berdalih, regulasi itu mengatur tenaga kerja yang bekerja di Indonesia mesti memiliki kompetensi dan memenuhi pelbagai dokumen persyaratan.
<!--more-->
"Kami tegaskan bahwa dalam UU Ciptaker diatur tenaga kerja asing yang dapat bekerja di Indonesia hanya untuk jabatan tertentu, waktu tertentu dan harus punya kompetensi tertentu. Perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja asing juga wajib memiliki RPTKA (rencana penggunaan tenaga kerja asing),” ucapnya.
Airlangga mengatakan, Undang-undang Cipta Kerja justru akan menarik investasi masuk, yang dampaknya akan memperluas kesempatan kerja bagi masyarakat. Senada dengan Airlangga, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia menjamin bahwa pemerintah akan memprioritaskan tenaga kerja Indonesia.
“Harus diprioritaskan maksimalkan ke tenaga kerja dalam negeri. Yang asing itu hanya yang kedudukannya tinggi dan menguasai teknologi,” ucapnya.
Berdasarkan izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) Kementerian Ketenagakerjaan pada 2018, jumlah tenaga kerja asing di Indonesia berjumlah 95.335 pekerja. Jumlah tersebut setara dengan 0,04 persen dari total penduduk Indonesia yang kala itu berjumlah 268 juta.
Sedangkan jumlah tenaga kerja asing secara akumulatif pada periode 2014-2018 tumbuh sebesar 38,6 persen. Jumlah tenaga kerja asing terbanyak berasal dari Cina untuk data per 2018. Kala itu, jumlah tenaga kerja Negeri Tirai Bambu sebesar 24.804 atau 3 persen dari total tenaga kerja asing.
Sedangkan data Mei 2020 menunjukkan jumlah tenaga kerja asing di Indonesia bertambah menjadi 98.902 orang. Cina masih menduduki posisi pertama dengan jumlah sumbangan tenaga asing terbanyak, yakni sebesar 35.781 orang.
Baca juga: Omnibus Law Sah, Bukti Investor Lebih Ditakuti Ketimbang Barisan Buruh?
FRANCISCA CHRISTY ROSANA