Buruh Berteriak, RUU Cipta Kerja Berlalu
Reporter
Ahmad Faiz Ibnu Sani
Editor
Syailendra Persada
Minggu, 4 Oktober 2020 13:29 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Mendekati tengah malam, Sabtu, 3 Oktober 2020, Badan Legislasi DPR RI dan Pemerintah sepakat melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja ke sidang paripurna. Meski sejak jauh-jauh hari penolakan terhadap RUU ini kencang disuarakan, DPR dan pemerintah bergeming.
Cepatnya pembahasan RUU ini sejatinya sudah direncanakan sejak awal oleh pemerintah. Presiden Joko Widodo atau Jokowi pada 16 Januari lalu bahkan menargetkan pembahasannya bisa selesai maksimal 100 hari kerja sejak pemerintah menyerahkan draft RUU ke DPR.
Pemerintah tercatat baru menyerahkan draft RUU Cipta Kerja pada 12 Februari 2020. Dihitung dari tanggal tersebut, sesungguhnya target kelar 100 hari tak terpenuhi. Pemerintah dan DPR pun terus mengubah tenggat mereka untuk menyelesaikan RUU tersebut. Puncaknya, pemerintah berkukuh RUU Cipta Kerja bisa kelar bulan ini.
Hal tersebut diungkapkan oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia. "Kalau bisa di awal Oktober lebih baik, karena undang-undang ini di BKPM penting," katanya dalam konferensi pers daring, Selasa, 8 September 2020.
Alasan yang selalu pemerintah ungkapkan adalah RUU ini penting untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia lantaran menghapus berbagai regulai yang tumpang tindih.
Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin mengatakan selesainya RUU Cipta Kerja di pekan ini lantaran Masa Sidang I Tahun Sidang 2020-2021 akan berakhir pada 8 Oktober 2020. "Semua draf RUU jangan ditunda diselesaikan di Masa Sidang I tanpa terkecuali, bukan hanya Ciptaker (RUU Cipta Kerja)," kata Azis di Kompleks Parlemen, Jumat, 2 Oktober 2020.
Ketua Baleg, Supratman Andi Agtas mengatakan pembahasan di tingkat Panitia Kerja sudah rampung sehingga pihaknya dan pemerintah sudah bisa mengambil keputusan di tingkat pertama. Setelah ditetapkan di tingkat pertama, RUU Cipta Kerja ini tinggal diketok di rapat paripurna. "Mau ngapain lagi, kan udah selesai Panjanya. Bukan apa-apa, hanya karena sudah selesai di tingkat Panja," kata politikus Gerindra ini.
Ia tak menjelaskan secara rinci ihwal alasan Baleg dan pemerintah menggelar rapat di akhir pekan hingga larut malam bahkan hendak menetapkan Omnibus Law Cipta Kerja. Padahal, DPR sebenarnya melakukan pembatasan jumlah kehadiran dan jam rapat hingga pukul 18.00 WIB saja. "Kan kerja, kalau untuk rakyat kan enggak ada yang salah," kata Supratman.
<!--more-->
Cepatnya pembahasan RUU Cipta Kerja menuai reaksi dari komunitas-komunitas buruh. Mereka menyatakan penolakannya dan berencana menggelar mogok kerja nasional pada 6-8 Oktober 2020.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, mengatakan mogok nasional itu akan diikuti sekitar 2 juta buruh dari 10 ribu perusahaan dan berlangsung di 25 provinsi di Indonesia. "Setidaknya 32 federasi dan konfederasi di Indonesia telah memutuskan akan melaksanakan unjuk rasa serempak secara nasional yang diberi nama mogok nasional," kata Iqbal dalam keterangan tertulis, Ahad, 4 Oktober 2020.
Selain aksi mogok, buruh akan mengambil tindakan lain sesuai mekanisme konstitusi dan perundang-undangan yang berlaku. "Buruh tidak akan pernah berhenti melawan sepanjang masa penolakan RUU Cipta Kerja yang merugikan buruh dan rakyat kecil," tuturnya.
Ia menjelaskan mogok nasional ini sesuai dengan UU No 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan UU No 21 Tahun 2000 khususnya Pasal 4 yang menyebutkan, fungsi serikat pekerja salah satunya adalah merencanakan dan melaksanakan pemogokan. “Selain itu, dasar hukum mogok nasional yang akan kami lakukan adalah UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik,” ucap dia.
Said Iqbal mengatakan ada tujuh kesepakatan dalam RUU tersebut yang pihaknya tolak keras.
Pertama, dihapusnya regulasi tentang Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) bersayarat dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK). Said Iqbal menilai UMK bersyarat harus tetap ada lantaran setiap kabupaten/kota berbeda nilainya. Bila diambil rata-rata secara nasional, nilai UMK di Indonesia pun lebih kecil dari upah minimum di Vietnam.
“Tidak adil jika sektor otomotif seperti Toyota, Astra, dan lain-lain atau sektor pertambangan seperti Freeport, Nikel di Morowali, dan lain-lain nilai UMK-nya sama dengan perusahan baju atau perusahaan kerupuk. Karena itulah di seluruh dunia ada Upah Minimum Sektoral yang berlaku sesuai kontribusi nilai tambah tiap-tiap industri terhadap PDB negara,” katanya.
Begitu pun dengan keberadaan UMSK. Menurut Iqbal, jalan tengahnya adalah penetapan nilai kenaikan dan jenis industri yang mendapatkan UMSK dilakukan di tingkat nasional untuk beberapa daerah dan jenis industri tertentu saja. Sehingga UMSK tidak lagi diputuskan di tingkat daerah dan tidak semua industri mendapatkan UMSK agar ada keadilan.
Sedangkan perundingan nilai UMSK dilakukan oleh asosiasi jenis industri dengan serikat pekerja sektoral industri di tingkat nasional. Di mana keputusan penetapan tersebut hanya berlaku di beberapa daerah saja dan jenis sektor industri tertentu saja sesuai kemampuan sektor industri tersebut. “Jadi tidak harus sama rata sama rasa, karena faktanya setiap industri berbeda kemampuannya. Karena itu masih dibutuhkan UMSK,” ucap dia.
<!--more-->
Alasan kedua, kata Iqbal, buruh menolak pengurangan nilai pesangon dari 32 bulan upah menjadi 25 bulan yang mana 19 bulan dibayar pengusaha dan 6 bulan dibayar BPJS Ketenagakerjaan. Ia mempertanyakan dari mana BPJS mendapat sumber dana untuk membayar pesangon. "Karena tanpa membayar iuran tapi BPJS membayar pesangon buruh 6 bulan. Bisa dipastikan BPJS Ketenagakerjaan akan bangkrut atau tidak akan berkelanjutan program JKP Pesangon dengan mengikuti skema ini," tuturnya.
Hal ketiga adalah masih adanya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau kontrak seumur hidup yang tidak ada batas waktu kontrak. "Buruh menolak PKWT seumur hidup," ujar Iqbal.
Selain itu, adanya kesepakatan tentang outsourcing pekerja seumur hidup tanpa batas jenis pekerjaan yang boleh di outsourcing. "Padahal sebelumnya outsourcing dibatasi hanya untuk lima jenis pekerjaan," katanya.
Hal itu ia nilai bisa menjadi masalah serius bagi buruh. Alasannya pihak yang akan membayar Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) untuk karyawan kontrak dan outsourcing menjadi tidak jelas. Pengusaha bisa mengontrak buruh di bawah satu tahun untuk menghindari membayar kompensasi. Intinya, kata Iqbal, tidak ada kepastian kerja bagi buruh Indonesia.
“Sekarang saja jumlah karyawan kontrak dan outsourcing berkisar 70 persen sampai 80 persen dari total buruh yang bekerja di sektor formal. Dengan disahkannya omnibus law, apakah mau dibikin 5 persen hingga 15 persen saja jumlah karyawan tetap? No job security untuk buruh Indonesia, apa ini tujuan investasi?” katanya.
Hal kelima yang buruh tolak adalah waktu kerja yang eksploitatif. Sedangkan yang keenam, Iqbal mengatakan RUU Cipta Kerja menghapus hak cuti dan hak upah atas cuti. "Cuti haid dan melahirkan bagi pekerja perempuan hilang, karena hak upahnya atas cuti tersebut hilang. Cuti panjang dan hak cuti panjang juga hilang," tuturnya.
Terakhir, ucap Iqbal, karena karyawan kontrak dan outsourcing bisa seumur hidup, maka jaminan pensiun dan kesehatan bagi mereka hilang. “Dari tujuh isu hasil kesepakatan tersebut, buruh menolak keras," ujar dia.